ads ads ads ads

Tuesday, April 30, 2013

Dasar Hukum Pemotongan Gaji

Oleh : Ralph Tehupuring 
 
Menurut peraturan perundang-undangan hal itu memang diperolehkan walaupun harus melihat pada banyak faktor lain.
Dasar hukumnya UU No. 13 Pasal 93 (1): “Upah tidak dibayar apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan”. (download UU No 13 di sini)
Adapun rumusan potongan Gaji Pokoknya dapat berdasarkan Kepmen 102 tahun 2004 Pasal 9 (2): “Cara menghitung Upah sejam adalah 1/173 X Upah sebulan” (download Kepmen 102 tahun 2004 di sini).
Setahun 52 minggu. Seminggu 40 jam. Setahun 2,080 jam sehingga sebulan = 2040/12 = 173,33.
Apabila pekerja enggak masuk katakanlah 5 hari maka Gaji Pokok nya dipotong sebesar:
(5 X 8)/173 atau 40/173 X Gaji Pokok.


Salam;
Ralph

Membuat Penilaian Karyawan Sebagai Dasar Kenaikan Gaji

 Oleh : Josephine Regina

 
1. Pertanyaan dan bagaimana cara penilaiannya?

Umumnya suatu Penilaian kinerja karyawan harus berdasarkan atas suatu target yang telah disepakati bersama antara atasan dan bawahannya pada awal tahun kinerja.
Hal ini untuk menjaga fairness dan transparancy di dalam proses penilaian kinerja tersebut.
Target tersebut dituangkan di dalam suatu format di dalam proses yang sering disebut sebagai penetapan sasaran (objective setting).
Format tersebut dapat dibuat berdasarkan kebutuhan perusahaan, sebagai contoh: Format balance scorecard. Dan secara umum dalam membuat sasaran harus spesifik, dapat diukur, relevan dan memiliki target penyelesaian yang jelas di dalam periode kinerja yang terkait.
Setelah objective setting telah ditetapkan maka atasan mulai dapat melakukan proses monitoring  hasil pencapaian atas target yang tekah disepakati dan kemudian melakukan kalibrasi atas keseluruhan hasil yang dicapai oleh seluruh karyawan yang ada untuk dapat menjaga fairness atas hasil yang telah dicapai oleh seluruh karyawan sebagai kontribusi karyawan terhadap keseluruhan target perusahaan.
Disarankan juga bagi perusahaan untuk menetapkan definisi atas kriteria rating atas penilaian hasil kinerja agar dapat menjaga konsistensi standar atas proses penilaian kinerja.

2. Bagaimana cara menentukan kenaikan gaji dari hasil penilaian tsb?
Umumnya penilaian kinerja lebih memiliki kaitan di dalam reward adalah terhadap pembagian Variable Pay (Performance Bonus). Dan kenaikan gaji adalah lebih memiliki kaitannya terhadap suatu posisi  (peranan) dibandingkan dengan kondisi posisi (peranan) tersebut terhadap external market maupun internal relativity.
Sedangkan adanya kaitan terhadap Penilaian kinerja terhadap gaji adalah dimaksud sebagai salah satu alat untuk dapat memberikan pembedaan dalam pemberian penghargaan kepada karyawan dan adanya keterbatasan budget perusahaan, dimana pada akhirnya perusahaan akan lebih memberikan prioritas biaya tenaga kerja kepada karyawan yang berprestasi dan memberikan kontribusi terhadap perusahaan, untuk memotivasi karyawan untuk terus memberikan kinerja yang terbaik dan memastikan bahwa gaji karyawan yang berkinerja baik tersebut tetap kompetitif di dalam market.

*) Josephine Regina adalah HR Performance and Reward Head di industri perbankan lokal.

Penghitungan Upah Lembur

Oleh : Ralph Tehupuring 
Kalau Jadwal Kerjanya adalah 5-2 (Senin s/d Jumat), 40 Jam seminggu, dan Jam Kerja nya, misalnya,

Jam 7.00 Pagi s/d 4.00 sore, maka Jam Lemburnya (setelah ditarip) adalah sebagai berikut :

1. Jam 4.00 sd Jam 12.00 (8 Jam): 1 X 1.5 = 1.5 PLUS 7 X 2 = 14. Total: 15.5

2. Jam 12.00 sd Jam 05.00 (5 JAM): 1 X 1.5 = 1.5 PLUS 4 X 2 = 8. Total 9.5.

Total Jam Lembur (setelah ditarip) = 25 sedangkan Upah Lemburnya adalah 25/173 X Gaji Pokok = X Rp.

Dengan asumsi lembur dilakukan pada hari kerja biasa.

Semoga membantu.


Salam;
Ralph
 

Monday, April 29, 2013

Permainan Atasan

 Oleh : NN
  Jakarta, 23 Januari 2004 
 
Dalam hubungan kerja antara atasan dengan bawahan tidak jarang terjadi permainan manipulasi dan intimidasi yang dari hari ke hari berkembang semakin rumit. Untuk menjaga kelangsungan karir Anda, maka ada baiknya Anda belajar bagaimana memainkan peran dalam menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan office politic dari pimpinan.
Kasus A:
Anda berada dalam pertemuan mingguan dan sedang menyeruput kopi ketika mendadak semua mata memandang Anda. Ternyata Direktur Operasional bertanya mengenai gudang baru yang sangat penting yang ternyata belum kunjung dibuka, dan manajer Anda (yang menyuruh Anda mengesampingkan proyek tersebut) menunjuk Anda sebagai kambing hitamnya.
Pelajaran:
Menurut Alan Weiss, didalam bukunya Our Emperors Have No Clothes, pimpinan yang tidak bisa mengakui kesalahannya disebabkan oleh perasaan tidak aman (insecure) yang membuatnya tidak bisa menerima ketidaksempurnaan atas segala sesuatu yang dikerjakannya. Pimpinan yang demikian akan cenderung mencari kambing hitam jika terdesak.
Hadapi situasi tersebut dengan cara:
Terima saja. Karena kalau Anda balas menuding manajer Anda maka hanya akan menambah masalah. Langkah pertama: akui masalah tersebut dengan tenang. Selalu gunakan kata KAMI (mis. "Yaah, kami benar-benar ceroboh kali ini"), untuk menyatakan bahwa bukan Anda yang gagal tapi departemen Anda. Dan yang bertanggung jawab atas departemen Anda adalah sang manajer!
Pecahkan masalah. Kemukakan semua tindakan yang akan ANDA (Jangan gunakan "Kami" lagi!) lakukan untuk mengatasi masalah tersebut.
Kumpulkan piutang. Begitu selesai pertemuan, katakan pada manajer Anda, mis. "Pak, senang sekali sudah bisa menolong Bapak." Dengan demikian, Anda mengingatkan bahwa Anda telah menjadi bempernya dan mengharapkan balas budi.
Hitam diatas putih. Buat secara tertulis setiap perintah pimpinan, hal ini untuk menghindarkan Anda menjadi kambing hitam dan menjaga kelangsungan pekerjaan Anda.
Kasus B:
Dengan senyum penuh optimistik, pimpinan Anda memberitahukan bahwa dalam waktu dekat Anda akan dipromosi. Untuk itu Anda harus membuktikan bahwa Anda mampu menangani tanggung jawab pekerjaan Anda yang sekarang. Setelah beberapa lama Anda menunggu, ternyata semua itu hanya "angin surga".
Pelajaran:
Banyak pimpinan yang berpikir bahwa anak buahnya akan bekerja dengan giat jika diberi iming-iming kenaikan pangkat. Pimpinan yang seperti ini menganggap memberi umpan dengan cara demikian adalah sah-sah saja.
Hadapi situasi tersebut dengan cara:
Spesifik.  Begitu sang pimpinan mengatakan bahwa Anda akan dipromosi, arahkan pembicaraan pada persyaratannya dan usahakan membuatnya secara formal (tertulis).
Argumentasi.  Bila terlambat membuat perjanjian tertulis, argumentasikan bahwa dengan promosi Anda akan bisa bekerja lebih efektif. Jika tidak dipromosi yang disertai dengan peningkatan kekuasaan dan anggaran, Anda akan menemui kendala-kendala, mis. tidak dianggap oleh bawahan. Fokuskan argumentasi pada produktivitas dan laba, jangan gaji atau jabatan.
Belajar dari pengalaman. Bila Anda pernah mendengar sang pimpinan memberi "angin surga" kepada rekan kerja Anda yang lain, jangan pernah menganggap serius bila Anda yang mengalaminya. (ls)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 23 Januari 2004 
 
Jakarta, 29 Oktober 2002
Beberapa faktor yang dapat mempngaruhi motivasi kelompok (teamwork) dalam bekerja dapat dikategorikan sebagai berikut:
 
Tujuan 

Visi, misi dan tujuan yang jelas akan membantu team dalam bekerja. Namun hal tersebut belum cukup jika visi., misi dan tujuan yang ditetapkan tidak sejalan dengan kebutuhan dan tujuan para anggota..

Tantangan 

Manusia dikarunia mekanisme pertahanan diri yang di sebut "fight atau flight syndrome". Ketika dihadapkan pada suatu tantangan, secara naluri manusia akan melakukan suatu tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut (fight) atau menghindar (flight). Dalam banyak kasus tantangan yang ada merupakan suatu rangsangan untuk mencapai kesuksesan. Dengan kata lain tantangan tersebut justru merupakan motivator.

Namun demikian tidak semua pekerjaan selalu menghadirkan tantangan. Sebuah team tidak selamanya akan menghadapi suatu tantangan. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya memberikan suatu tugas atau pekerjaan yang menantang dalam interval. Salah satu criteria yang dapat dipakai sebagai acuan apakah suatu tugas memiliki tantangan adalah tingkat kesulitan dari tugas tersebut. Jika terlalu sulit, mungkin dapat dianggap sebagai hal yang mustahil dilaksanakan, maka team bisa saja menyerah sebelum mulai mengerjakannya. Sebaliknya, jika terlalu mudah maka team juga akan malas untuk mengerjakannya karena dianggap tidak akan menimbulkan kebanggaan bagi yang melakukannya.

Keakraban 

Team yang sukses biasanya ditandai dengan sikap akraban satu sama lain, setia kawan, dan merasa senasib sepenanggungan. Para anggota team saling menyukai dan berusaha keras untuk mengembangankan dan memelihara hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal menjadi sangat penting karena hal ini akan merupakan dasar terciptanya keterbukaan dan komunikasi langsung serta dukungan antara sesama anggota team.

Tanggungjawab 

Secara umum, setiap orang akan terstimulasi ketika diberi suatu tanggungjawab. Tanggungjawab mengimplikasikan adanya suatu otoritas untuk membuat perubahan atau mengambil suatu keputusan. Team yang diberi tanggungjawab dan otoritas yang proporsional cenderung akan memiliki motivasi kerja yag tinggi.

Kesempatan untuk maju 

Setiap orang akan melakukan banyak cara untuk dapat mengembangkan diri, mempelajari konsep dan ketrampilan baru, serta melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Jika dalam sebuah team setiap anggota merasa bahwa team tersebut dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melakukan hal-hal tersebut di atas maka akan tercipta motivasi dan komitment yang tinggi. Hal ini penting mengingat bahwa perkembangan pribadi memberikan nilai tambah bagi individu dalam meningkatkan harga diri.

Kepemimpinan 

Tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan faktor yang berperan penting dalam mendapatkan komitment dari anggota team. Leader berperan dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi team untuk bekerja dengan tenang dan harmonis. Seorang leader yang baik juga dapat memahami 6 faktor yang dapat menimbulkan motivasi seperti yang disebutkan diatas. (Dari berbagai sumber)
 

EQ dan Kesuksesan Kerja

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 23 Januari 2004 
 
Daniel Goleman dalam bukunya "Emotional Intelligence: Why it Can Matter More than IQ" (Bantam, 1995) mengatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan dalam pekerjaan dibutuhkan bukan hanya "cognitive intelligence" tetapi juga "emotional intellegence". Emotional intellegence atau disingkat EQ adalah kemampuan untuk untuk mengendalikan hal-hal negatif seperti kemarahan dan keragu-raguan atau rasa kurang percaya diri dan juga kemampuan untuk memusatkan perhatian pada hal-hal positif seperti rasa percaya diri dan keharmonisan dengan orang-orang disekeliling. Dalam buku berikutnya, "Working With Emotional Intelligence", Goleman menekankan perlunya emotional intelligence dalam dunia kerja, suatu bidang yag seringkali dianggap lebih banyak menggunakan "cara berpikir analitis" daripada melibatkan perasaan atau emosi. Menurutnya setiap orang dalam perusahaan atau organisasi dituntut untuk memiliki EQ yang tinggi. Selain itu Goleman berpendapat bahwa IQ bersifat relatif tetap, sementara EQ dapat berubah sehingga bisa dibentuk dan dipelajari.

Pro dan Kontra

Pendapat Goleman mendapatkan banyak tanggapan pro dan kontra di kalangan para Psikolog. Beberapa Psikolog memandang pendapat Goleman sangat penting bagi bagi pengembangan ketrampilan atau keahlian dalam suatu pekerjaan, sementara yang lain menganggap bahwa validitas EQ yang menunjang terbentuknya suatu ketrampilan dan keahlian belum terbukti. Ada juga yang tidak sependapat bahwa EQ dapat diajarkan. Bagi mereka hanya kemampuan kognitif dan ketrampilan teknis yang merupakan hal utama yang dapat membuat seseorang menjadi sukses dalam pekerjaan.
John Mayer, seorang psikolog dari University of New Hampshire, mendefinisikan EQ secara lebih sederhana. Menurut Mayer, EQ adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi diri sendiri. Sementara Goleman mendefinisikan EQ secara lebih luas, termasuk optimisme, kesadaran, motivasi, empati dan kompetensi dalam melakukan hubungan sosial. Bagi Mayer, traits (kecenderungan) tersebut lebih merupakan kecenderungan kepribadian. Hal tersebut juga didukung oleh Edward Gordon, yang mengatakan bahwa EQ lebih banyak berhubungan dengan kepribadian dan "mood" (suasana hati) yang tidak dapat diubah. Menurut Gordon, perbaikan kemampuan analisis dan kemampuan kognitif, adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja para pekerja. Menanggapi kritikan tersebut, Goleman mengatakan bahwa kemampuan kognitif mengantarkan seseorang ke "pintu gerbang suatu perusahaan", tetapi kemampuan emosional membantu seseorang untuk mengembangkan diri setelah diterima bekerja dalam sebuah perusahaan. EQ merupakan faktor yang sama pentingnya dengan kombinasi kemampuan teknis dan analisis untuk menghasilkan kinerja optimal. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam suatu perusahaan, semakin crucial peran EQ.
EQ dalam Dunia Kerja
Secara khusus, para pemimpin perusahaan membutuhkan EQ tinggi karena mereka mewakili organisasi, berinteraksi dengan banyak orang baik di dalam maupun di luar organisasi dan berperan penting dalam membentuk moral dan disiplin para pekerja. Pemimpin yang memiliki empati akan dapat memahami kebutuhan para pegawainya dan dapat memberikan feedback yang konstruktif . Jenis pekerjaan juga berpengaruh terhadap jenis EQ. Menurut Goleman, untuk dapat sukses dibidang sales dituntut kemampuan berempati guna mengetahui "mood" pelanggan dan kemampuan interpersonal guna memutuskan kapan saat yang paling tepat untuk menawarkan suatu produk dan kapan harus diam. Di lain pihak, untuk dapat sukses menjadi seorang pelukis atau petenis professional individu dituntut untuk memiliki disiplin diri dan motivasi yang tinggi.

Mengajarkan EQ

Nilai mendasar yang mau dikembangkan dengan menampilkan EQ dalam dunia kerja adalah implikasinya terhadap penyelenggaraan pelatihan-pelatihan. Dengan memperhatikan bahwa EQ berperan aktif bagi kesuksesan seseorang dalam bekerja maka organisasi perlu melakukan pelatihan-pelatihan EQ. Pada area ini para psikolog dapat mengambil peran besar untuk membantu individu dalam membangun kompetensi emosional yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. "EQ mempengaruhi semua aspek yang berhubungan dengan pekerjaan. Bahkan ketika anda bekerja seorang diri, keberhasilan anda akan sangat tergantung pada seberapa besar tingkat kedisiplinan dan motivasi anda sendiri". (jp)
 

Friday, April 26, 2013

Usia Muda dan Gangguan Karir

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 30 Agustus 2003

 

Jeff bekerja sebagai seorang konsultan IT di sebuah perusahaan yang sangat ternama di Jakarta. Jeff adalah seorang professional berusia muda berotak cemerlang dan menyandang gelar Magister dari sebuah Universitas terkenal di USA. Setelah lulus ia langsung diterima bekerja di perusahaan konsultan tersebut dan sudah dijalaninya selama 1 tahun. Hampir tidak ada hambatan internal yang dialami Jeff dalam bekerja, kecuali masih adanya sikap dari klien (terutama klien yang baru bertemu Jeff) yang seringkali menganggap remeh dan selalu bertanya tentang usia Jeff. Hampir setiap kali ia bertemu dengan para Top Manager (kebanyakan dari mereka sudah berusia senior) maka kesan pertama yang diperoleh Jeff adalah bahwa mereka menganggap remeh dirinya karena dinilai terlalu muda untuk bisa menjadi konsultan. Sikap yang menganggap remeh tersebut baru berangsur-angsur hilang manakala mereka sudah mengetahui siapa Jeff, bagaimana cara ia bekerja dan bagaimana hasil kerjanya. Kenyataan ini tentu saja sangat menggangu Jeff, apalagi jika ia mengingat bahwa dalam bekerja dirinya tidak pernah memandang usia karena baginya hanya ada dua kategori yaitu orang yang tahu dan mampu bekerja dan orang yang tidak memiliki pengetahuan dan tidak mampu bekerja. Selain itu ia merasa memiliki kemampuan akademik yang sangat bagus, apalagi ia adalah lulusan dari sebuah universitas terkenal di luar negeri. 

Kejadian diatas mungkin sering dialami oleh para professional muda, termasuk anda. Dalam kasus yang berbeda seringkali juga para professional muda dianggap remeh oleh para rekan kerja mereka yang senior. Meski usia bukanlah suatu faktor yang cukup relevan untuk menilai kemampuan seseorang, namun budaya senioritas yang masih sangat melekat dalam masyarakat kita menyebabkan hal ini sulit untuk dihilangkan. 

Penilaian oleh para senior yang seringkali menganggap remeh professional berusia muda akan bisa memberikan dampak yang sangat merugikan bagi sang professional muda tersebut jika ia tidak menanganinya secara elegan. Kesalahan dalam menyikapi dan menangani kondisi tersebut dapat berakibat gagalnya sang professional muda memperoleh proyek yang diinginkan, tidak mendapat promosi, bahkan bisa justru menjadi rival (lawan) bagi rekan kerjanya sendiri. Oleh karena itu, demi menjaga kelanggengan karir anda, maka anda perlu melakukan beberapa usaha untuk mengubah penilaian para professional senior atau pun rekan kerja anda sehingga mereka menjadi "respect" (hormat) dan kagum karena di usia yang masih muda anda telah mempelajari banyak hal dan kemampuan atau ketrampilan anda sudah tidak kalah dengan mereka.

Bagaimana cara membuat mereka kagum dan menghormati anda? Beberapa cara di bawah ini mungkin patut anda pertimbangkan: 

Kenali Karir
Dalam memilih karir anda tentu harus yakin dengan pilihan tersebut. Oleh karena itu anda harus mampu menyusun rencana karir yang jelas bagi anda sendiri. Kenali berbagai hal yang bisa membantu anda dalam pengembangan karir. Namun demikian anda perlu bersikap realistis dan tidak memasang target yang muluk- muluk. Untuk memperoleh kredibilitas tidaklah berarti bahwa anda harus menjadi seorang yang sempurna (perfect); karena tidak ada manusia yang sempurna. Kredibilitas anda akan dinilai berdasarkan pada apa yang anda ketahui dan apa yang tidak ada ketahui dan bagaimana anda menyikapi hal tersebut. Dengan kata lain ada harus bersikap realistis untuk mau mengakui apa yang tidak bisa anda kerjakan dan apa yang bisa anda kerjakan. Jika anda dapat melakukannya maka orang lain (termasuk klien dan rekan kerja senior) pasti akan menaruh "respect" dan percaya pada anda. 

Ikuti Aturan
Dalam dunia kerja selalu ada aturan-aturan main yang berlaku baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Sebagai contoh sederhana adalah cara berpakaian dan cara-cara berkomunikasi dengan sopan. Sehebat apapun anda atau seberapa banyak pun gelar yang anda sandang, aturan atau norma-norma tersebut tidak boleh anda abaikan. Anda harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan budaya yang ada dalam perusahaan. Jika anda yang kebetulan berusia muda mau mengikuti aturan (cth: bisa berkomunikasi dengan baik dan memiliki cara berpakaian yang pantas) maka gap antara senior dan junior akan dapat diminimalisasikan dengan cepat.
 
Terus Belajar
Satu cara paling efektif menghilangkan kritik atau pun pandangan negatif dari orang lain adalah dengan menunjukkan kinerja. Intinya adalah orang lain jarang peduli bagaimana anda mengerjakan tugas atau pekerjaan yang diberikan, tetapi yang menjadi pokok perhatian adalah apakah anda mampu mengerjakan tugas dengan baik. Sekali orang yang mengkritik anda melihat bahwa anda melakukan suatu pekerjaan atau tugas dengan sukses maka ia akan berhenti menganggap remeh dan mengkritik anda. Oleh karena itu lakukan berbagai upaya untuk dapat menunjukkan performa yang optimal. Lakukan semua pekerjaan sekecil apapun tugas yang diberikan dan jangan takut untuk bertanya atau berbagi pengalaman atau pengetahuan dengan orang lain. Teruslah membuka diri untuk menerima informasi atau pengetahuan baru. Gunakan berbagai sarana ada untuk belajar dan meningkatkan kemampuan anda. 

Hargai Perbedaan
Tak bisa dipungkiri bahwa meskipun anda telah melakukan berbagai upaya untuk menghilangkan gap antara senior dan junior, namun tetap saja masih ada perbedaan-perbedaan. Dalam hal ini anda tidak perlu berkecil hati, sebab bisa saja hal tersebut mungkin bukan disebabkan oleh anda melainkan memang sudah menjadi karakteristik dari senior anda. Satu-satunya cara untuk membuat anda tidak frustrasi adalah dengan mengakui adanya perbedaan tersebut dan menunjukkan bahwa memang ada perbedaan cara dan gaya kerja antara anda yang berusia muda dengan para senior anda yang berusia lebih tua. Sejauh tidak menyalahi aturan yang berlaku maka kerjakan tugas-tugas yang menurut gaya anda meskipun para senior anda tidak melakukannya. Hal ini kadang-kadang dipandang perlu untuk memberikan penyegaran bagi perusahaan, terutama jika perusahaan tersebut lebih banyak mempekerjakan pegawai yang berusia terbilang senior dan masih memakai pola kerja lama. Selain itu anda pun wajib menghargai senior yang memiliki perbedaan cara dan gaya kerja dengan anda karena hal ini akan turut memperkaya wawasan anda. 

Bersikap Rendah Hati
Dalam bekerja ada banyak kesempatan dimana kita dituntut untuk bersikap rendah hati dengan mau berbagi atau mendelegasikan tugas-tugas kepada orang lain, terutama untuk hal-hal yang bukan menjadi kompetensi kita. Pada saat anda tahu bahwa ada orang lain yang lebih kompeten untuk mempresentasikan suatu materi pada klien anda atau kepada atasan anda, maka tidak ada salahnya jika anda memberikan kesempatan kepada rekan anda tersebut. Selain itu, anda pun harus berani untuk menolak suatu tugas-tugas yang bukan menjadi kompetensi anda.
Selain beberapa cara di atas, saya yakin masih ada cara-cara lain yang bisa anda lakukan untuk menjaga kelanggengan karir anda. Akhir kata, usia hanya akan menjadi hambatan karir jika anda membiarkannya. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan keberhasilan anda dalam menunjukkan kompetensi yang anda miliki maka usia berapapun bukan masalah untuk meraih kesuksesan karir. Selamat mencoba dan semoga bermanfaat. (jp)

Manajemen Diri Pasca PHK

Oleh : Ubaydillah, AN
 Jakarta, 26 Januari 2006 
Untuk sebagian besar wilayah Indonesia, gelombang PHK ini konon diperkirakan akan terus bertambah. Asumsi ini didasari oleh perhitungan-perhitungan logis di lapangan, misalnya saja: biaya operasional usaha yang semakin meningkat akibat kenaikan BBM, iklim investasi yang belum menjanjikan karena faktor keamanan, hukum, bencan alam, dan lain-lain. 

Meski pemerintah sudah menetapkan beberapa anjuran moral agar pihak industri jangan sedikit-sedikit menggunakan jurus PHK, tetapi toh kenyataannya masih sulit dihindari. Ini mungkin terjadi karena faktor kemampuan finansial yang kurang mendukung, bukan murni faktor moral para pengelola perusahaan.

Dalam kamus dunia industri atau dunia kerja, PHK ini termasuk salah satu yang dirasakan sebagai musibah (bad surprise) bagi sebagian besar orang. Musibah di sini adalah adanya kenyataan buruk yang tidak bisa diterima kedatangannya secara langsung dan seketika. Sebagian besar orang akan menolak apabila terkena PHK. Penolakan batin itu ada yang dilampiaskan dalam bentuk bingung, sedih, pusing, setengah tidak percaya, down, dan lain-lain.

Dipikir-pikir memang sangat manusiawi jika PHK itu sama artinya dengan musibah bagi sebagian besar orang. Why? Karena yang hilang akibat keputusan PHK itu bukan hanya sumber penghasilan saja. Sumber harga diri juga hilang, minimalnya status sosial. Ada yang sengaja pindah rumah karena tidak kuat menghadapi bisik-bisik tetangga di kompleknya. Pendeknya, PHK tidak saja mengakibatkan berkurangnya isi rekening bank finansial, tetapi juga dapat mengurangi / menguras isi rekening bank emosional. Gelombang alur rekening bank emosi paska PHK itu tidak stabil. Gerakannya mirip seperti gelombang yang turun-naik, bergejolak antara: harapan dan ketakutan, kesedihan dan biasa-biasa, keyakinan dan keraguan, kehati-hatian dan rasa malu, optimisme dan pesimisme, frustrasi dan termotivasi kembali.

Resep untuk dijalankan
 
Di bawah ini bukan obat untuk diminum lantas kita yakini akan menjamin kesembuhan begitu kita bangun tidur. Kenyataan hidup ini sepertinya tidak bisa dihadapi dengan rumusan yang cara kerjanya seperti obat sakit kepala. Kenyataan hidup ini menuntut resep yang isinya adalah apa saja yang harus kita lakukan dan apa saja yang harus kita hindari, terlepas itu enak atau tidak enak. Di bawah ini adalah resep untuk dijalankan. Beberapa resep yang perlu dijalankan paska PHK itu antara lain:
 
1. Memperjuangkan Tujuan
Tujuan di sini adalah sasaran yang kita inginkan untuk terjadi dari apa yang kita usahakan hari ini. Silahkan memilih tujuan yang cocok sesuai dengan keadaan-personal anda. Anda boleh memilih mencari pekerjaan lain, memilih usaha sendiri, menjadi "self-employer", dan lain-lain. Tentukan tujuan yang jelas lalu perjuangkan tujuan itu.

Mengapa tujuan di sini menjadi penting? Setidaknya ada dua alasan yang perlu kita sadari. Pertama, tujuan adalah manajemen pikiran. Kalau kita sudah menetapkan tujuan dan itu kita perjuangkan hari demi hari paska PHK, maka pikiran kita tidak terbebani oleh ingatan pada hal-hal buruk yang menimpa kita.

Disadari atau tidak, sebenarnya yang membuat kita malas, berat melangkah, dan semisalnya, kerapkali bukan karena tidak mampu melangkah, tetapi karena pikiran ini kita gunakan untuk mengingat-ingat peristiwa yang tidak memotivasi kita. Karena itu kita sering mendengar nasehat bahwa fokus mengandung kekuatan.

Kedua, tujuan bertindak sebagai "pengontrol nasib". Saya ingin menjelaskan istilah ini dengan meminjam ungkapan lama yang mengatakan bahwa nasib kita tidak ditentukan oleh apa yang menimpa kita hari ini. Nasib kita akan ditentukan oleh kemana langkah ini akan kita gerakkan. Tujuan adalah sasaran di mana langkah ini akan kita gerakkan untuk mencapainya. Kita semua tahu bahwa tujuan apapun yang kita tetapkan, apalagi mendapatkan pekerjaan baru atau membangun usaha baru, tentunya tidak dapat kita capai semudah membalik tangan. Tetapi harus kita sadari bahwa dengan memiliki tujuan yang jelas dan jelas-jelas kita perjuangkan, akan membuat kita termotivasi dan terbentengi. Bahwa nantinya harus ada tujuan jangka pendek, tujuan perantara, tujuan jangka panjang, atau tujuan ideal, ini semua masalah tehnis yang harus kita sesuaikan dengan keadaan.

2. Menyadari Tanggung Jawab Personal Yang membuat kita menderita, kehilangan sumber penghasilan, kehilangan status dan lain-lain (dalam kasus PHK ini) boleh jadi bukan ulah kita. Namun, karena kita yang menderita dan karena kita yang menginginkan solusi, maka kitalah yang harus menjadi penanggung jawab utama atas nasib kita. Kitalah yang harus bertanggung jawab untuk menyembuhkan atau memperbaiki diri kita dari "luka batin" yang diakibatkan keputusan PHK.

Dengan kata lain, kita tidak bisa mengandalkan solusi bagi hidup kita pada orang lain atau pada manajemen perusahaan. Soal bahwa ada persoalan hukum yang harus kita selesaikan dengan pihak lain, seperti pada kasus IPTN, ini urusan hubungan kita dengan pihak lain yang sudah ada mekanismenya. Kita bisa menempuh cara melalui hukum, melalui kekeluargaan dan lain-lain.

Tanggung jawab yang tidak bisa dilemparkan kepada pihak lain adalah tanggung jawab untuk memperbaiki diri dalam wilayah hubungan kita dengan diri kita (intrapersonal). Tanggung jawab di wilayah ini tidak ada mekanismenya kecuali harus diciptakan sendiri. Intinya, kita perlu mengangkat diri sendiri sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas perbaikan diri kita.

3. Mempertegas "positioning" PHK memang PHK. Diotak-atik dengan menggunakan teori apapun, PHK itu rasanya sama: pahit! Meski begitu, tapi pelajaran yang bisa dipetik bisa bermacam-macam. Dari sekian orang yang saya tahu, pelajaran positif yang bisa diambil dari peristiwa sedih ini adalah memperjelas positioning. Maksudnya di sini adalah memperdalam pengetahuan tentang diri (self-understanding).

Saya yakin anda pun tidak kesulitan menemukan contoh yang bagus tentang hal ini dari orang-orang di sekitar anda. Ada banyak orang yang akhirnya menyadari keunggulan, kelemahan, kelebihan, kekurangan,dan lain-lain, meski awalnya mereka menolak (secara batin). Bahkan tidak sedikit yang menemukan profesi baru yang lebih pas dan lebih bagus. Mungkin bisa diistilahkan dengan kalimat blessing in disguise.

Saya melihat bahwa mempertegas positioning pada saat kita menghadapi masa-masa sulit ini tidak saja berkaitan dengan soal itu penting atau tidak. Tetapi ini berkaitan dengan kalkulasi logika yang sehat. Kita gunakan untuk mempertegas positioning atau tidak, toh kenyataan yang kita hadapi memang begitu. Daripada waktu berlalu tanpa guna, lebih baik kita gunakan untuk melakukan hal-hal yang positif.

4. Menambah jumlah orang Salah satu hukum yang perlu ditaati oleh orang yang sedang mencari sesuatu yang berharga bagi dirinya adalah Hukum Kemungkinan (the law of possibility). Pasal dalam Hukum ini mengatakan bahwa semakin banyak orang yang kita kenal maka semakin besar pula peluang keberhasilan kita. People, people and people.
 
Semua yang kita cari pada dasarnya sudah sedang berada di tangan orang. Semua rejeki yang datang kepada kita, termasuk peluang, datangnya "melalui" proses atau pun "melalui" tangan orang lain. Tidak ada yang jatuh dari langit atau muncul dari tengah-tengah halaman buku yang kita baca atau muncul dari teori yang kita hafal.

Praktek hidup membuktikan, orang yang kita kenal berperan sangat besar bagi keberhasilan kita. Tujuan apapun yang kita pilih, entah itu mau mencari pekerjaan baru, membangun usaha baru, atau menjalani profesi baru, atau apapun, tak akan lepas dari peranan orang yang kita kenal. Terlepas anda setuju atau tidak, tetapi di sini Dale Carnegie ingin menyadarkan betapa pentingnya orang lain itu bagi kita. "Satu – satunya rumus paling penting bagi kesuksesan adalah mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain", katanya begitu. Tentu saja bukan sembarang orang yang punya arti penting bagi kita.

5. Keimanan-kreatif Iman yang saya maksudkan di sini bukan iman pernyataan (ucapan mulut). Pada level ini semua orang pasti beriman. Iman yang saya maksudkan adalah iman dalam level pembuktian. Lantas, apa hubungannya dengan PHK? Semua doktrin keimanan akan mengajarkan bahwa kita ini dimiliki (being owned) oleh Tuhan, bukan kita yang memiliki Tuhan. Dan, Tuhan itu punya sifat yang antara lain adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dengan doktrin itu, orang beriman diperintahkan untuk meyakini seyakin-yakinnya bahwa solusi (rahmat atau kasih sayang Tuhan) itu pasti ada. Soal teknisnya bagaimana dan seperti apa, itu soal lain. Yang penting, selama masih ada usaha, solusi pasti ada. Karena itu, pencarian harus selalu dilakukan. Bila ada satu tempat yang belum memberi solui, berarti solusi yang kita cari berada di tempat lain atau dengan menggunakan cara lain. Dan begitu seterusnya. Inilah kreatif itu.

Muatan keimanan demikian sangat kita butuhkan sebagai dorongan untuk berusaha secara terus menerus, bukan sebagai pembenar untuk pasrah-kalah terhadap kenyataan. Bayangkan apa yang terjadi ketika kita sudah berkesimpulan ditinggalkan Tuhan atau sudah tidak dimiliki lagi? Bayangkan apa yang terjadi ketika kita sudah berkesimpulan bahwa Tuhan telah menjegal langkah kita sampai di sini? 

Meski kesimpulan negatif demikian tidak ber-efek apapun pada "Diri Tuhan", tetapi usaha kita, dengan kesimpulan seperti itu, sudah lebih dulu dikalahkan oleh keputusasaan (baca: kalah oleh perintah setan) atau sudah dikalahkan oleh opini kita sendiri. Kita semua diajarkan untuk menaati perintah Tuhan dan dilarang menaati perintah setan. Tuhan menyuruh kita mencari terus, sementara setan menyuruh kita berhenti mencari. Bukti keimanan adalah ketika kita terus mencari karena kita yakin bahwa apa yang kita cari itu ada atau sudah disediakan. Selamat berusaha!!

Mengendalikan Amarah

 Oleh : Johanes Papu
  Jakarta, 23 Juni 2003 
Kemarahan pada dasarnya merupakan suatu hal yang normal dan pasti pernah dialami oleh semua individu. Di satu sisi manusia memang harus melepaskan semua amarah yang ada di dalam dirinya agar diperoleh suatu kelegaan atau terlepas dari adanya suatu beban berat. Namun di sisi lain tentu saja dituntut cara-cara yang tepat untuk mengungkapkan kemarahan tersebut sebab jika tidak maka hal itu bisa merusak sendi-sendi kehidupan yang mungkin sudah tertata dengan baik. Dengan kata lain individu harus mampu mengendalikan kemarahan tersebut sebelum kemarahan itu justru yang mengendalikan hidupnya. Dalam ruang konseling di website ini banyak sekali para member yang sudah mengalami bagaimana kemarahan sudah mengambil kendali dalam hidup mereka. Beberapa diantaranya menjadi sangat frustrasi karena menyadari bahwa dirinya begitu gampang terpancing untuk marah baik di kantor maupun di rumah sehingga tidak lagi mampu berinteraksi secara baik dengan orang lain (pacar, istri-anak, rekan kerja, maupun atasan-bawahan). 

Dengan kondisi yang demikian tentu saja si "pemarah" tersebut harus mendapatkan pertolongan dari para profesional sebab ketidakberdayaan untuk mengendalikan amarah sudah menimbulkan masalah baru. Hal seperti ini tentu amat disayangkan mengingat bahwa rasa marah (amarah) sebenarnya bisa dikendalikan ataupun dicarikan cara yang tepat untuk mengeluarkannya. Inilah yang akan dicoba untuk dibahas dalam artikel singkat ini dengan suatu harapan bahwa para pembaca dapat mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Amarah
Amarah adalah salahsatu bentuk emosi manusia yang sepenuhnya bersifat normal dan sehat. Setiap individu pasti pernah marah dengan berbagai alasan. Meski merupakan suatu hal yang wajar dan sehat, namun jika tidak dikendalikan dengan tepat dan bersifat destruktif maka amarah akan berpotensi besar untuk menimbulkan masalah baru, seperti masalah di tempat kerja, di keluarga, atau pun hubungan interpersonal. 

Faktor penyebab mengapa seseorang menjadi marah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: external dan internal. Faktor external adalah hal-hal yang datang dari luar diri sang individu. Contoh: Anda marah kepada atasan atau bawahan anda; anda juga bisa menjadi marah karena terjebak macet atau tertundanya jadwal penerbangan. Di samping hal-hal external tersebut, kemarahan juga dapat disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang ada di dalam diri anda. Dengan kata lain ada unfinished business yang bisa memicu anda untuk marah. Contoh: ketakutan atau kekuatiran terhadap suatu hal tertentu, ketidakmampuan dalam berinteraksi, adanya pengalaman traumatik atau pun kenangan pahit di masa lalu. 

Pemberang vs Kalem
Sehubungan dengan kemarahan, dalam kehidupan sehari-hari seringkali dijumpai bahwa ada individu-individu tertentu yang sangat gampang marah. Mereka bisa marah terhadap hal apa saja, dengan siapa saja dan kapan saja. Singkat kata mereka ini lebih banyak menunjukkan kemarahan dibandingkan dengan individu-individu lainnya. Individu-individu seperti inilah yang biasa di sebut "Pemberang" atau sering pula disebut sebagai orang yang "emosional" (meski istilah ini menurut saya kurang tepat). Individu-individu ini amat sering terlihat mengomel, menggerutu, memboikot atau menarik diri dari pergaulan, berteriak, bahkan sampai melemparkan barang-barang atau mengeluarkan kata-kata tidak senonoh.
 
Sementara itu kita juga menjumpai bahwa ada individu yang jarang sekali terlihat marah bahkan seolah-olah tidak pernah marah. Mereka tidak meluapkan kemarahan dengan cara meledak-ledak tetapi lebih terlihat tenang-tenang saja (kalem) atau paling-paling hanya sebatas menggerutu atau mengeluh.
 
Individu yang mudah sekali menjadi marah biasanya adalah mereka yang memiliki tingkat toleransi yang rendah terhadap suatu tekanan atau hal-hal yang menyebabkan rasa frustrasi (low tolerance for frustration). Individu seperti ini menganggap bahwa mereka tidak selayaknya menerima kondisi yang tidak menyenangkan. Mereka sangat sulit mengambil hikmah dari situasi yang tidak menyenangkan dan menjadi marah ketika situasi "tidak berpihak" mereka seperti ketika sedang dikritik atau ditegur karena melakukan suatu kesalahan.
 
Adapun faktor yang bisa menjadi penyebab mengapa individu tertentu gampang sekali menjadi marah dapat dibagi dalam beberapa faktor sebagai berikut:
 
1. Genetik
Fakta genetik menunjukkan bahwa beberapa anak memang terlahir dengan karakteristik mudah marah. Hal ini bisa dilihat pada awal-awal tahun kehidupan sang anak. 

2. Sosial-Budaya
Dalam budaya masyarakat tertentu amarah atau marah sering dianggap sebagai suatu hal yang negatif. Individu seringkali diajarkan bahwa mengungkapkan atau melepaskan kecemasan, depresi atau emosi yang lain adalah baik kecuali kemarahan. Akibatnya individu menjadi tidak pernah belajar bagaimana mengatasi rasa marah ataupun mengekpresikan kemarahan secara konstruktif. 

3. Latarbelakang Keluarga
Tak bisa dipungkiri bahwa faktor keluarga memainkan peranan yang signifikan terhadap gampang atau tidaknya seseorang menjadi marah. Nampaknya pepatah kuno yang mengatakan bahwa "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya" masih berlaku. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu-individu yang gampang marah seringkali berasal dari keluarga yang berantakan dan tidak trampil dalam mengungkapkan emosi ataupun berkomunikasi. Selain itu dijumpai pula bahwa orangtua yang "pemberang" cenderung menghasilkan anak yang pemberang pula (workplaceblue.com). 

Beberapa Pendekatan
Anda tidak mungkin menghilangkan atau menghindari sesuatu yang menjadi penyebab kemarahan. Andapun akan sangat sulit (bahkan tidak mungkin) untuk bisa mengubah orang lain agar tidak membuat anda marah. Satu hal yang bisa ada lakukan adalah mnegndalikan emosi anda sendiri. Dalam rangka menyalurkan dan mengendalikan kemarahan, maka ada tiga pendekatan yang bisa dipilih: 

1. Mengekspresikan Kemarahan secara Asertif
Mengekspresikan kemarahan anda dengan cara assertif - tidak agresif - merupakan cara yang paling sehat dalam mengungkapkan kemarahan. Untuk bisa melakukan hal ini maka anda harus belajar menentukan kebutuhan-kebutuhan anda dan bagaimana cara mencapainya tanpa harus menyakiti orang lain. Dengan bertindak asertif berarti anda menghormati diri anda sendiri dan orang lain. (baca artikel: Asertivitas) 

2. Menahan Amarah dan Mengalihkannya
Hal ini terjadi ketika anda menahan rasa marah, berhenti memikirkannya dan mencoba memfokuskan diri pada sesuatu hal yang positif. Tujuannya adalah agar dapat mengurangi rasa marah yang sedang meluap dan mengubahnya menjadi tindakan yang konstruktif. Contoh: ketika sedang marah maka anda justru bekerja lebih lama dan produktif. Sayangnya cara ini bisa merugikan diri sendiri. Artinya jika kemarahan yang ditekan tersebut sudah sangat banyak dan tidak pernah dikeluarkan maka dapat mengakibatkan hipertensi, depresi atau pun tekanan darah tinggi. 

3. Menenangkan Diri
Cara lain yang bisa ditempuh dalam mengendalikan kemarahan adalah dengan cara menenangkan diri, menarik nafas dalam-dalam dan mencoba meredakan emosi.. Dalam hal ini ketika amarah datang maka anda segera mengambil jarak dari sumber penyebab kemarahan dan mencoba untuk mengendalikan emosi yang sedang bergejolak di dalam diri anda sendiri. Dengan demikian diharapkan bahwa amarah yang ada di dalam diri anda berangsur-angsur mereda. 

Mengendalikan Amarah
Beberapa hal berikut ini mungkin layak anda pertimbangkan untuk mengendalikan amarah: 

1. Relaksasi
Melakukan relaksasi terbukti dapat membuat seseroang menjadi tenang dalam menghadapi berbagai situasi yang kurang menyenangkan atau penuh tekanan. Relaksasi dapat dilakukan dengan berbagai variasi, misalnya menarik nafas dalam-dalam, melakukan latihan-latihan ringan untuk mengendurkan otot-otot, atau pun dengan kata-kata: "relaks; tenang aja; take it easy; gak apa-apa kok". 

2. Humor
Meskipun amarah merupakan suatu hal yang serius tetapi jika anda mau merenungkan atau mencermatinya secara mendalam maka tidak jarang di dalam kemarahan seringkali tersimpan hal-hal yang bisa membuat anda tertawa. Bahkan seringkali anda menemukan bahwa hal-hal yang menjadi penyebab kemarahan adalah suatu hal yang lucu dan sangat sepele. Namun demikian dalam penggunaan humor hendaklah perlu diperhatikan 2 hal: 1) jangan menggunakan humor hanya untuk mentertawakan masalah yang sedang anda hadapi tetapi gunakan humor sebagai suatu cara yang konstruktif untuk menyelesaikan masalah; 2) jangan menggunakan humor-humor yang bersifat kasar atau sarkastik sebab hal itu merupakan bentuk ekspresi kemarahan yang tidak sehat. 

3. Mengubah Cara Pandang
Individu yang sedang marah cenderung mengumpat, mengutuk, menyumpah dan mengucapkan berbagai macam kata-kata yang menggambarkan perasaan di dalam hatinya. Ketika sedang marah maka pikiran anda dan tindakan bisa menjadi berlebih-lebihan dan dramatis. Oleh karena itu cobalah mengubah pikiran-pikiran yang berlebih-lebihan tersebut dengan suatu yang rasional. Contoh: daripada anda mengatakan: "ah, ini sangat mengerikan, hancur semuanya, ini adalah mimpi buruk bagi saya", cobalah mengubahnya dengan : "ya memang hal ini membuat saya frustrasi, dan saya bisa memahami mengapa saya menjadi marah, tetapi ini bukanlah akhir dari segala-galanya bagi saya dan kemarahan tidak akan mengubah apa-apa". 

Mengingat bahwa amarah seringkali berubah menjadi irasional maka untuk mengendalikannya dibutuhkan pemikiran yang logis. Semakin anda bisa berpikir logis (bisa mempertimbangkan akibatnya dan berpikir jauh ke depan, dsb) maka akan semakin mudah anda mengendalikan amarah dalam diri. Ingatkan diri anda bahwa apa yang sedang terjadi pasti tidak hanya dialami oleh anda seorang diri dan dunia tidak pernah berpaling dari anda. Apa yang sedang terjadi hanyalah merupakan suatu "tinta merah" dalam kehidupan anda. Ingat-ingat akan hal ini setiap kali anda merasa marah supaya anda bisa mendapat pandangan yang lebih seimbang. 

4. Selesaikan Masalah secara Tuntas
Mengingat bahwa kemarahan bisa dipicu oleh hal-hal yang datang dari dalam diri seperti adanya masalah yang belum terselesaikan, maka akan sangat baik jika anda menyelesaikan setiap masalah yang muncul sesegara mungkin dan tuntas. Meskipun dalam hidup mungkin ada masalah yang bisa terselesaikan tanpa campurtangan anda secara signifikan, namun alangkah baiknya jika anda membiasakan diri menyelesaikan setiap permasalahan yang berhubungan dengan diri anda. Dengan berkurangnya beban psikologis dalam diri anda maka kemungkinan menjadi marahpun akan berkurang. 

5. Melatih cara Berkomunikasi
Dalam banyak kasus orang menjadi marah karena kegagalan dalam berkomunikasi. Contoh: ketidaksiapan dalam menghadapi perbedaan pendapat, tidak bersedia menjadi pendengar atau pun selalu berusaha memaksakan kehendak pada orang lain. Hal-hal seperti inilah yang biasanya membuat orang yang marah cenderung mengambil kesimpulan secara cepat dan kesimpulan tersebut seringkali aneh dan tak terduga. 

Meskipun setiap individu berhak untuk membela diri ketika dikritik atau diajak adu argumentasi, namun untuk itu diperlukan ketenangan dan sikap untuk tidak merespon secara terburu-buru. Ada baiknya anda mendengarkan secara cermat apa yang ingin disampaikan oleh orang lain, bahkan ketika orang tersebut mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan anda. Hal ini memang memerlukan kesabaran dan sikap rendah hati dari anda, tetapi dampaknya akan sangat bermanfaat sebab ketika tidak timbul amarah dalam diri anda maka situasi yang ada pasti dapat dikendalikan. Hasil positifnya anda menjadi lebih matang dalam berkomunikasi. 

6. Mengubah Lingkungan
Apa yang dimaksudkan dengan mengubah lingkungan dapat berupa penataan kembali tempat tinggal ataupun tempat kerja anda. Mengubah lingkungan dapat juga berarti merubah aturan main yang berlaku di lingkungan tersebut dan juga termasuk mengubah kebiasaan diri anda sendiri untuk menghindari lingkungan yang tidak menyenangkan atau keluar dari lingkungan tersebut untuk sementara waktu. Contoh: daripada anda menjadi marah-marah kepada rekan kerja karena jenuh dengan kondisi kerja yang ada, maka ada baiknya anda mengambil cuti kerja dan pergi ke suatu tempat untuk menenangkan diri. Dengan cara ini maka pikiran anda akan menjadi fresh kembali dan siap bekerja tanpa marah-marah. 

7. Melakukan Konseling
Mengingat bahwa setiap individu memiliki sumber daya yang berbeda dalam menghadapi suatu situasi yang penuh tekanan maka ketika anda merasa bahwa anda tidak lagi mampu mengendalikan amarah maka ada baiknya jika anda melakukan konseling dengan psikolog atau para profesional lainnya. Melalui bantuan para profesional ini anda mungkin akan diberikan bimbingan bagaimana cara-cara yang tepat dalam mengendalikan amarah agar tidak merusak aspek kehidupan yang lain. Tentu saja hasilnya tidak akan instant tetapi setidaknya hal itu akan membantu anda menjadi lebih baik. 

Disamping hal-hal yang telah disebutkan diatas, mungkin masih banyak cara yang dapat dilakukan oleh anda untuk mengendali amarah di dalam diri. Salahsatu yang patut dicatat adalah dengan semakin mendekatkan diri pada TUHAN. Dengan kata lain ketika anda berada dalam situasi tidak menyenangkan dan anda ingat bahwa hal tersebut adalah dari TUHAN maka saya yakin anda pasti akan berpikir panjang untuk benar-benar menjadi marah. Akhir kata: anda tidak akan pernah bisa menghilangkan amarah tetapi anda bisa mengendalikannya. Hidup pasti akan selalu diwarnai oleh suka dan duka, frustrasi, kepahitan dan kehilangan, serta tindakan yang tak terduga dari orang lain atau lingkungan. Anda tidak bisa menghindari hal tersebut tetapi anda bisa mengubah cara bagaimana hal itu bisa mempengaruhi diri anda. Mengendalikan amarah akan membuat anda menjadi lebih tenang dan mampu menikmati hidup selamanya. Semoga berguna.....(jp)
 

Thursday, April 25, 2013

Teamwork

 Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 23 Januari 2004 
 Jakarta, 28 Oktober 2003
Dalam dunia usaha, penggunaan teamwork seringkali merupakan solusi terbaik untuk mencapai suatu kesuksesan. Teamwork yang solid akan memudahkan manajemen dalam mendelegasikan tugas-tugas organisasi. Namun demikian untuk membentuk sebuah team yang solid dibutuhkan komitment tinggi dari manajemen. Hal terpenting adalah bahwa teamwork harus dilihat sebagai suatu sumber daya yang harus dikembangkan dan dibina sama seperti sumber daya lain yang ada dalam perusahaan. Proses pembentukan, pemeliharaan dan pembinaan teamwork harus dilakukan atas dasar kesadaran penuh dari team tersebut sehingga segala sesuatu berjalan secara normal sebagai suatu aktivitas sebuah teamwork, meskipun pada kondisi tertentu manajemen dapat melakukan intervensi.

Definisi Teamwork?

Secara umum teamwork dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu yang bekerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Kumpulan individu-individu tersebut memiliki aturan dan mekanisme kerja yang jelas serta saling tergantung antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu sekumpulan orang yang bekerja dalam satu ruangan, bahkan didalam satu proyek, belum tentu merupakan sebuah teamwork. Terlebih lagi jika kelompok tersebut dikelola secara otoriter, timbul faksi-faksi di dalamnya, dan minimnya interaksi antar anggota kelompok. 

Ketika seseorang bekerja didalam kelompok (team), akan ada dua isu yang muncul. Pertama adalah adanya tugas-tugas (task) dan masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan. Hal ini seringkali merupakan topik utama yang menjadi perhatian team. Kedua adalah proses yang terjadi di dalam teamwork itu sendiri, misalnya bagaimana mekanisme kerja atau aturan main sebuah team sebagai suatu unit kerja dari perusahaan, proses interaksi di dalam team, dan lain-lain. Dengan kata lain proses menunjuk pada semangat kerjasama, koordinasi, prosedur yang harus dilakukan dan disepakati seluruh anggota, dan hal-hal lain yang berguna untuk menjaga keharmonisan hubungan antar individu dalam kelompok itu. Tanpa memperhatikan proses maka sebuah teamwork tidak akan memiliki nilai apa-apa bagi perusahaan dan hanya akan menjadi sumber masalah bagi perusahaan dalam pembentukan sebuah teamwork. Sebaliknya jika proses tersebut ada dalam sekumpulan orang yang bekerjasama, maka performance mereka akan meningkat karena akan mendapat dukungan secara teknis maupun moral. 

Mengapa Teamwork Diperlukan?

Teamwork merupakan sarana yang sangat baik dalam menggabungkan berbagai talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu pendekatan yang mapan. selain itu ketrampilan dan pengetahuan yang beranekaragam yang dimiliki oleh anggota kelompok juga merupakan nilai tambah yang membuat teamwork lebih menguntungkan jika dibandingkan seorang individu yang brilian sekalipun. 

Sebuah team dapat dilihat sebagai suatu unit yang mengatur dirinya sendiri. Rentangan ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki anggota dan self monitoring" yang ditunjukkan oleh masing-masing team memungkinkannya untuk diberikan suatu tugas dan tanggungjawab. Bahkan ketika suatu masalah tersebut dapat diputuskan oleh satu orang saja, melibatkan teamwork akan memberikan beberapa keuntungan. Keuntungan tersebut adalah: pertama keputusan yang dibuat secara bersama-sama akan meningkatkan motivasi team dalam pelaksanaanya. Kedua, keputusan bersama akan lebih mudah dipahami oleh team dibandingkan jika hanya mengandalkan keputusan dari satu orang saja.

Bila dilihat dari perspektif individu, dengan masuknya ia kedalam suatu kelompok (team) maka hal tersebut akan menambah semangat juang/motivasi untuk mencapai suatu prestasi yang mungkin tidak akan pernah dapat dicapai seorang diri oleh individu tersebut. Hal ini dapat terjadi karena team mendorong setiap anggotanya untuk memiliki wewenang dan tanggungjawab sehingga meningkatkan harga diri setiap orang.

Siklus Hidup Sebuah Teamwork

Secara umum perkembangan suatu team dapat dibagi dalam 4 tahap:
Forming, adalah tahapan dimana para anggota setuju untuk bergabung dalam suatu team. Karena kelompok baru dibentuk maka setiap orang membawa nilai-nilai, pendapat dan cara kerja sendiri-sendiri. Konflik sangat jarang terjadi, setiap orang masih sungkan, malu-malu, bahkan seringkali ada anggota yang merasa gugup. Kelompok cenderung belum dapat memilih pemimpin (kecuali team yang sudah dipilih ketua kelompoknya terlebih dahulu).
 
Storming, adalah tahapan dimana kekacauan mulai timbul di dalam team. Pemimpin yang telah dipilih seringkali dipertanyakan kemampuannya dan anggota kelompok tidak ragu-ragu untuk mengganti pemimpin yang dinilai tidak mampu. Faksi-faksi mulai terbentuk, terjadi pertentangan karena masalah-masalah pribadi, semua ngotot dengan pendapat masing-masing. Komunikasi yang terjadi sangat sedikit karena masing-masing orang tidak mau lagi menjadi pendengar dan sebagian lagi tidak mau berbicara secara terbuka.
 
Norming, adalah tahapan dimana individu-individu dan sub-group yang ada dalam team mulai merasakan keuntungan bekerja bersama dan berjuang untuk menghindari team tersebut dari kehancuran (bubar). Karena semangat kerjasama sudah mulai timbul, setiap anggota mulai merasa bebas untuk mengungkapkan perasaan dan pendapatnya kepada seluruh anggota team. Selain itu semua orang mulai mau menjadi pendengar yang baik. Mekanisme kerja dan aturan-aturan main ditetapkan dan ditaati seluruh anggota.
 
Performing. Tahapan ini merupakan titik kulminasi dimana team sudah berhasil membangun system yang memungkinkannya untuk dapat bekerja secara produktif dan efisien. Pada tahap ini keberhasilan team akan terlihat dari prestasi yang ditunjukkan.
Ketrampilan yang Diperlukan
Ada dua ketrampilan utama yang seharusnya dimiliki oleh anggota sebuah teamwork, yaitu:
  • Ketrampilan managerial (Managerial Skills), termasuk kemampuan dalam membuat rencana kerja, menentukan tujuan, memantau kinerja, memonitor perkembangan dan memastikan pekerjaan telah dilakukan secara benar, dan lain-lain.
  • Ketrampilan interpersonal (Interpersonal Skills), termasuk kemampuan berkomunikasi, saling menghargai pendapat orang lain dan kemampuan menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.
Dengan menjadi anggota suatu organisasi atau perusahaan maka secara tidak langsung Anda sudah menempatkan diri menjadi anggota sebuah teamwork. Nah, sudahkah Anda mempersiapkan diri dengan memiliki ketrampilan-ketrampilan seperti yang disebutkan diatas? (jp)
 

Penyandang Cacat dan Pekerjaan

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 20 Agustus 2002 
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja penyandang cacat. Adapun kuota yang dimaksudkan adalah seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 tentang penempatan tenaga kerja penyandang cacat yang mengatakan bahwa setiap perusahaan yang memiliki jumlah karyawan 100 orang atau lebih, wajib mempekerjakan 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan atau kualifikasi pekerjaan atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Demikian berita yang dikutip dari www.nakertrans.go.id tanggal 30 April 2002 yang lalu.
 
Kenyataan di atas paling tidak menggambarkan bagaimana kondisi yang dialami oleh para penyandang cacat di Indonesia. Dalam gegap gempitanya kehidupan dunia bisnis seringkali para penyandang cacat tidak mendapatkan perhatian yang cukup bahkan cenderung terlupakan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Penyandang Cacat yang mengatur kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan, namun pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Dari sekitar 20 juta penyandang cacat yang ada di Indonesia, 80% tidak memiliki pekerjaan (dalam www.nakertrans.go.id). Dengan kondisi demikian artinya para penyandang tersebut terpaksa harus menggantungkan hidupnya dari bantuan keluarga atau pun institusi tertentu, yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi produktivitas kerja secara nasional.
 
Mengapa begitu sulit bagi para penyandang cacat untuk bersaing dalam bursa tenaga kerja sekalipun sudah ada kuota yang tersedia? Jika memang harus bersaing dengan para pekerja biasa (tidak cacat) hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh para penyandang cacat untuk dapat menunjukkan bahwa mereka memiliki kualifikasi yang tepat untuk pekerjaan yang diinginkan? Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam artikel ini maka yang dimaksud penyandang cacat adalah semua individu yang mengalami cacat fisik maupun mental namun memiliki pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh suatu jabatan/pekerjaan serta dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya secara efektif. 

Undang-Undang
Di setiap negara, baik negara maju maupun negara miskin, selalu ada individu yang memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu yang dalam istilah umum sehari-hari disebut sebagai penyandang cacat. Demi menjaga hak-hak dan kewajiban para penyandang cacat maka pemerintah di setiap negara melindungi para penyandang cacat tersebut dengan perangkat hukum berupa peraturan pemerintah maupun undang-undang.

Perangkat hukum di Indonesia yang mengatur tentang kesempatan kerja bagi penyandang cacat sebenarnya sudah cukup memadai. Hal ini terbukti dengan adanya UU RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dalam beberapa pasal juga mengatur tentang kesamaan dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 13 &14) lengkap dengan sanksi pidana dan administratif (Pasal 28 & 29). Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 yang berisi tentang kuota pekerja penyandang cacat juga merupakan langkah nyata usaha pemerintah untuk melindungi para penyandang cacat. 

Menyikapi hal tersebut, tak dapat dipungkiri memang ada beberapa perusahaan atau lembaga yang memberikan tanggapan positif dengan segera melaksanakan aturan tersebut, namun sebagian lagi nampaknya tetap "cuek". Apalagi di tengah-tengah meningkatnya jumlah pengangguran akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sekarang ini, maka semakin sempit pula ruang bagi para pekerja penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan. 

Sikap
Mengapa banyak penyandang cacat yang gagal memperoleh pekerjaan meski sudah diatur sedemikian rupa dalam perangkat perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Jawabannya tidak lain adalah bermula dari sikap si penyedia pekerjaan atau perusahaan/organisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia usaha/kerja sikaplah yang mendasari berbagai perilaku kerja. Dalam kenyataan, sekarang ini masih banyak orang yang menganggap atau memberi stigma bahwa para penyandang cacat tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan dan menambah pengeluaran perusahaan (karena harus menyediakan akomodasi atau fasilitas khusus) jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak cacat. Hal-hal inilah yang seringkali membuat para pelamar yang kebetulan penyandang cacat gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya (cth: lamaran tidak ditanggapi, tidak dipanggil untuk test atau wawancara padahal sudah memenuhi ketentuan persyaratan jabatan). Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak cacat meskipun secara akademis sang penyandang cacat ternyata lebih unggul dari rekan tersebut.

Beberapa pandangan atau sikap yang ada dalam perusahaan atau si pemberi pekerjaan terhadap penyandang cacat mungkin ada yang benar namun sebagian besar mungkin hanya didasarkan pada mitos atau stigma yang cenderung memojokkan para penyandang cacat. Untuk itu kita perlu membandingkan antara mitos dengan fakta, sebagai berikut:

Mitos dan Fakta Tentang Penyandang Cacat
MITOS
FAKTA
Pekerja penyandang cacat lebih sering absen dibandingkan dengan pekerja tidak cacat sehingga bisa mempengaruhi iklim kerja dalam perusahaan
Hasil study yang dilakukan di DuPont Corporation menunjukkan bahwa tingkat kehadiran para pekerja penyandang cacat rata-rata 85% atau lebih. Survey lainnya yang dilakukan di perusahaan telepon dan telegraph dengan jumlah karyawan sekitar 2.000 pekerja menunjukkan bahwa para pekerja penyandang cacat lebih kecil tingkat absensinya dibandingkan rekan mereka yang tidak cacat (monster.com). Artinya adalah bahwa para pekerja penyandang cacat tidaklah lebih sering absen dibandingkan pekerja tidak cacat.   
Para pekerja penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan. Untuk melatih mereka dibutuhkan waktu lama dan biaya yang tinggi.
Setiap pekerja, baik penyandang cacat maupun tidak, akan membutuhkan waktu yang berbeda satu sama lain dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan tanggungjawab baru. Penyandang cacat (asalkan direkrut dengan cara yang benar) tidak membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pekerja tidak cacat untuk mempelajari suatu tugas tertentu.
Mempekerjakan penyandang cacat berarti harus menyediakan fasilitas khusus agar dapat membuat mereka mampu bekerja optimal.
Tidak harus. Para penyandang cacat biasanya mampu menyediakan fasilitas, seperti transportasi atau akomodasi lainnya untuk diri mereka sendiri. 
Pekerja penyandang cacat sulit disupervisi
Kemampuan supervisi sangatlah tergantung pada kemampuan sang supervisor sendiri. Supervisor yang mampu mensupervisi para pekerja tidak cacat akan mampu juga mensupervisi para pekerja penyandang cacat.
Kinerja pekerja penyandang cacat tidak sebaik pekerja tidak cacat
Hasil penelitian di DuPont Corporation menunjukkan bahwa hampir 90% pekerja penyandang cacat mendapatkan predikat "good" atau "excellenct" dalam evaluasi kinerja dari para manajer mereka. Para manajer juga merasa bahwa pekerja penyandang cacat melakukan pekerjaan mereka sama baiknya dengan para pekerja tidak cacat.
Merekrut penyandang cacat berarti memperbesar biaya medical insurance
Setiap perusahaan tentu memiliki standard tersendiri untuk medical insurance. Medical insurance seharusnya tidak didasarkan pada apakah pekerja merupakan penyandang cacat atau bukan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan hal tersebut seharusnya adalah apakah lingkungan kerja penuh dengan risiko kecelakaan atau hal-hal yang dapat membahayakan jiwa. Selain itu, penyandang cacat tidaklah selalu indentik dengan kunjungan ke dokter dan rumah sakit. Oleh sebab itu tidaklah beralasan jika perusahaan menetapkan standard penentuan medical insurance yang berbeda antara pekerja tidak cacat dengan rekan mereka para pekerja penyandang cacat. 
Sangatlah sulit menetapkan rentangan gaji yang "fair" untuk pekerja penyandang cacat
Penetapan gaji atau pun kompensasi yang diterima pekerja adalah didasarkan pada kinerja dan produktivitas pekerja tersebut. Hal inipun harus diberlakukan sama bagi pekerja penyandang cacat.  
Tidak ada yang bisa dilakukan jika ternyata pekerja penyandang cacat yang direkrut tidak dapat memberikan kontribusi bagi perusahaan. Dengan kata lain perusahaan tidak bisa memecat pekerja penyandang cacat yang tidak produktif
Pada dasarnya setiap orang, baik cacat maupun normal, ingin dihargai atas hasil karya yang diberikannya. Tidak ada yang ingin terus-menerus hidup menjadi "benalu" bagi perusahaan. Para pekerja penyandang cacat tentu tidak ingin memperoleh pekerjaan  hanya semata-mata karena rasa belas kasihan dari si pemberi pekerjaan tersebut (perusahaan). Oleh sebab itu perusahaan tidak harus membuat kemudahan atau pun dispensasi khusus bagi mereka. Mereka harus memenuhi kriteria jabatan yang dibutuhkan dan mau menjalankan disiplin yang ditetapkan perusahaan sama seperti pekerja lain yang tidak cacat. Jika memang mereka tidak dapat menjalankan tugas/pekerjaan sebagaimana mestinya atau melanggar disiplin maka mereka juga harus diberikan bimbingan, pelatihanan atau teguran dan hukuman, bahkan jika perlu mereka bisa saja di PHK sama seperti semua pekerja lain yang ada dalam perusahaan. 

Makna Suatu Pekerjaan
Diantara para pembaca mungkin ada yang bertanya-tanya; mengapa masalah pekerjaan begitu penting bagi para penyandang cacat? Bukankah sudah menjadi kewajiban dari anggota keluarga untuk menanggung semua biaya dan kebutuhan mereka? Pertanyaan seperti itu sangatlah beralasan mengingat bahwa tidak sedikit dari para penyandang cacat juga berasal dari keluarga yang berkecukupan secara finansial sehingga si penyandang cacat hidup cukup terjamin. 

Kebutuhan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kita harus melihat bahwa kebutuhan individu (baik yang cacat maupun tidak cacat) tidak hanya bersifat fisik, namun lebih jauh dari itu. Abraham Maslow, seorang pakar aliran Humanisme, membagi kebutuhan manusia menjadi 5 bagian yang menurutnya merupakan suatu hirarki dari yang paling rendah (kebutuhan fisiologis dasar) sampai ke paling tinggi (kebutuhan aktualisasi diri).
 
Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow
Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Kebutuhan untuk dihargai
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
Kebutuhan fisiologis dasar

Hirarki kebutuhan tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Kebutuhan fisiologis dasar: mencakup makanan, pakaian, perumahan dan fasilitas-fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup individu
  • Kebutuhan akan rasa aman:
  • mencakup lingkungan yang bebas dari segala bentuk ancaman, pekerjaan yang jelas, keamanan atas alat atau instrumen yang dipergunakan dalam beraktivitas.
  • Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi:
  • mencakup interaksi dengan anggota keluarga atau teman, kebebasan melakukan aktivitas sosial, kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang akrab dengan orang lain
  • Kebutuhan untuk dihargai:
  • mencakup pemberian penghargaan atau reward atas prestasi yang dicapai, mengakui hasil karya individu, mendaptkan status sosial dalam masyarakat
  • Kebutuhan aktualisasi diri:
  • mencakup kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat atau talenta yang dimiliki.
Dari hirarki kebutuhan tersebut dapat terlihat bahwa prioritas pemenuhan kebutuhan sangat ditentukan oleh tingkatan kebutuhan yang ada. Artinya individu yang sudah terpenuhi kebutuhan fisiologis dasar secara otomatis akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi dan begitu seterusnya.
 
Pekerjaan
Seiring dengan adanya berbagai kebutuhan individu, maka alasan individu untuk bekerja pun menjadi beragam mengikuti kebutuhan tersebut sehingga pekerjaan memiliki makna tertentu bagi individu. Makna suatu pekerjaan bukan lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, maka suatu pekerjaan memiliki beberapa makna sebagai berikut: 

1. Instrumen (instrumental)
Dalam memahami bahwa bekerja adalah suatu alat atau instrumen, maka dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu sebagai alat untuk mendapatkan penghasilan dan sebagai alat untuk melakukan aktivitas. Bahwa bekerja merupakan alat untuk memperoleh penghasilan mungkin tidak perlu saya jelaskan lagi karena hal tersebut sudah merupakan hal yang umum dan sangat terkait dengan kebutuhan fisiologis dasar.

Dalam hal bekerja merupakan instrumen untuk beraktivitas, sangatlah jelas bagi kita bahwa dengan bekerja seseorang akan memiliki serangkaian aktivitas yang pasti dan jelas. Dengan bekerja maka semua kegiatan seolah-olah menjadi terprogram. Contoh: orang yang memiliki pekerjaan pasti akan bangun tidur pada jam tertentu, mandi dan sarapan dalam waktu tertentu, lalu berangkat kerja pada jam tertentu, bekerja dengan rentang waktu yang sudah jelas, dan kemudian pulang ke rumahnya pada jam tertentu pula. Semua waktu terlihat diisi dengan optimal dan bermanfaat, sehingga hampir tidak ada ruang untuk meratapi kemalangan hidup atau hal-hal negatif dalam diri individu. Semua itu membuat individu yang bekerja menjadi berbeda dengan individu yang tidak memiliki pekerjaan. Dalam beberapa kasus aktivitas-aktivitas kerja sangat dinikmati dan terasa begitu penting oleh si pekerja sehingga ia rela bekerja (melakukan aktivitas kerja) mesti tidak mendapatkan gaji (bayaran). Dalam hal ini aktivitas tersebutlah yang dianggap sebagai bayaran.
 
2. Kesenangan (enjoyment)
Sejalan dengan aktivitas yang dilakukan sebagai konsekuensi logis dari bekerja, maka tidak jarang individu menemukan berbagai kesenangan dalam bekerja. Pada pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakat serta cita-citanya maka aktivitas kerja merupakan hiburan dan pendorong semangat hidup. Dengan kesenangan yang dimilikinya tersebut maka individu akan dapat berfungsi secara optimal sehingga bermanfaat bagi perkembangan jiwanya dan juga memudahkannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. 

3. Pemenuhan diri (self-fulfillment)
Setiap orang ingin mengaplikasikan semua talenta yang dimiliki. Dengan bekerja maka individu memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan semua kemampuan yang dimilikinya atau dengan kata lain bekerja memungkinkan seseorang untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan bekerja individu akan terus-menerus meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan diri untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Lewat pekerjaan ia menghasilkan suatu karya cipta dan akan memperoleh pengakuan atau hasil karya tersebut. Dengan demikian maka ia akan semakin memiliki konsep diri yang positif dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
 
4. Institusi Sosial (social institution)
Tak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan menciptakan suatu institusi sosial. Dengan bekerja mau tidak mau individu terikat dalam suatu institusi sosial yang memiliki aturan main tersendiri yang seringkali berbeda antara institusi yang satu dengan yang lain. Dengan bekerja maka relasi sosial akan terbuka lebar dan akan terjalin hubungan interpersonal. Hubungan tersebut memungkinkan individu untuk bisa berbagi pengalamanan, tukar-menukar informasi, bertanya, bahkan memperoleh bimbingan dari orang lain, sehingga memperluas wawasan individu tersebut. Dalam interaksi sosial dalam dunia kerja, sang individu mungkin akan menemukan teman akrab bahkan mungkin juga teman hidup. Selain itu dengan bekerja individu memiliki status sosial yang jelas dan diakui oleh masyarakat, sehingga ia merasa diterima dan menjadi bagian masyarakat. 

Dengan melihat makna suatu pekerjaan bagi individu dan mengingat asas kesamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak, maka kita semua tentu dapat lebih memahami jika Lembaga Bantuan Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja penyandang cacat seperti disebutkan di atas. Pentingnya suatu pekerjaan bagi individu juga tidak memandang apakah seorang penyandang cacat berasal dari keluarga yang mampu atau keluarga tidak mampu, mengingat bahwa bekerja justru memiliki makna yang jauh lebih mendalam dari sekedar masalah finansial.
 
Kesiapan dan Kemampuan
Untuk dapat bersaing dengan para pekerja tidak cacat maka para penyandang cacat tentu harus mempersiapkan segala hal untuk dapat menampilkan potensi yang dimilikinya. Hal tersebut harus dilakukan mengingat bahwa keberhasilan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan akan sangat ditentukan oleh kemampuan yang bersangkutan dalam meyakinkan si pemberi pekerjaan (perusahaan) bahwa dialah yang terbaik untuk mengisi jabatan yang tersedia. Hal inipun berlaku untuk semua pencari kerja, termasuk penyandang cacat. Oleh sebab itu penyandang cacat yang mau bekerja harus mempersiapkan hal-hal sebagai berikut:
  • Tingkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan anda melalui pelatihan-pelatihan atau pun kursus-kursus yang sesuai.
  • Aktif mencari lowongan pekerjaan yang sesuai. Gunakan berbagai jalur dan teknik mencari pekerjaan, misalnya lewat institusi penyandang cacat, relasi, media massa, dll.
  • Cari tahu dan kenali perusahaan-perusahaan yang berpotensi mempekerjakan para penyandang cacat.
  • Manfaatkan teknologi secara maksimal untuk membantu anda. Satu hal yang sangat membantu saat ini adalah adanya komputer. Dengan keahlian menggunakan komputer maka akan terbuka banyak peluang bagi penyandang cacat untuk bersaing bahkan bisa menjadi lebih ahli dibandingkan orang yang tidak cacat.
  • Jika dipanggil wawancara kerja maka buatlah wawancara tersebut menjadi mudah bagi interviewer (perusahaan) dengan memberitahukan hal-hal apa saja yang harus mereka siapkan untuk anda.
  • Berpakaianlah secara pantas sesuai dengan jabatan atau pekerjaan yang dilamar.
  • Bawalah surat lamaran beserta resume dan bahkan contoh hasil karya yang telah anda buat (jika ada) pada saat wawancara.
  • Antisipasi sikap-sikap negatif terhadap anda. Seperti yang telah disebutkan di atas, maka tidak dapat diingkari bahwa masih ada orang yang memiliki prasangka buruk atau menganggap remeh para penyandang cacat. Menghadapi hal tersebut maka anda harus mempersiapkan mental secara baik sehingga tidak terpancing atau menjadi emosional menanggapi hal tersebut. Fokuskan diri anda hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Dengan cara ini perusahaan akan lebih dapat mengenali potensi anda.
  • Atasi pertanyaan-pertanyaan yang "memojokkan" secara elegan. Dalam wawancara kerja tidak tertutup kemungkinan bahwa si interviewer akan bertanya sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. Contoh: berapa kali dalam sebulan anda harus ke dokter? (maksudnya: mungkin jika sering ke dokter maka jika itu menjadi tanggungan perusahaan tentu akan berat selain itu pekerja pasti akan sering absen). Jika pertanyaan semacam ini diajukan pada anda yang kebetulan penyandang cacat maka pahami terlebih dahulu maksud pertanyaan tersebut dan kemudian jawablah pertanyaan tersebut sejujurnya dan tambahkan dengan kata-kata: "Pak/Bu, saya menjamin bahwa tidak ada hal-hal dalam kehidupan pribadi saya yang akan dapat mengganggu saya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan perusahaan".
Mengingat bahwa para penyandang cacat tidak dapat mempersiapkan diri sendiri tanpa dukungan dari pemerintah dan perusahaan/institusi penyedia lapangan kerja maka sangat perlu kiranya kedua pihak tersebut memberikan dukungan yang maksimal. Bagi pemerintah dukungan untuk memberdayakan para penyandang cacat melalui pelatihan-pelatihan atau pun kursus-kursus amat sangat dibutuhkan. Oleh karena itu pemerintah diharapkan menyediakan dana dan sarana yang memadai.

Bagi perusahaan, melalui artikel ini penulis ingin mengetuk hati para pembuat keputusan atau pemegang kebijakan di perusahaan untuk bisa memberikan kesempatan kepada para penyandang untuk dapat bekerja sesuai dengan kualifikasi yang ada. Jangan merekrut pekerja penyandang cacat berdasarkan rasa belas kasihan dan tanpa prosedur yang semestinya, tetapi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur rekrutmen dan seleksi yang semestinya sehingga hak-hak dan kewajiban antara perusahaan dan pekerja (penyandang cacat) menjadi terjamin. Selain itu bagi perusahaan yang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ada pekerjanya yang mengalami kecelakaan kerja dan berakhir dengan cacat, maka perlakukan mereka dengan sepantasnya sesuai dengan jasa dan pengabdian yang telah mereka berikan. Dalam kasus seperti ini hendaknya perusahaan tidak serta merta melakukan PHK dan menggantikan kedudukan pekerja tersebut dengan orang lain yang tidak cacat. Selamat membaca dan semoga berguna. (jp)