ads ads ads ads

Thursday, April 25, 2013

Penyandang Cacat dan Pekerjaan

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 20 Agustus 2002 
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja penyandang cacat. Adapun kuota yang dimaksudkan adalah seperti yang tercantum dalam Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 tentang penempatan tenaga kerja penyandang cacat yang mengatakan bahwa setiap perusahaan yang memiliki jumlah karyawan 100 orang atau lebih, wajib mempekerjakan 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan atau kualifikasi pekerjaan atau kurang dari 100 orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Demikian berita yang dikutip dari www.nakertrans.go.id tanggal 30 April 2002 yang lalu.
 
Kenyataan di atas paling tidak menggambarkan bagaimana kondisi yang dialami oleh para penyandang cacat di Indonesia. Dalam gegap gempitanya kehidupan dunia bisnis seringkali para penyandang cacat tidak mendapatkan perhatian yang cukup bahkan cenderung terlupakan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang tentang Penyandang Cacat yang mengatur kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan, namun pelaksanaannya masih jauh dari yang diharapkan. Dari sekitar 20 juta penyandang cacat yang ada di Indonesia, 80% tidak memiliki pekerjaan (dalam www.nakertrans.go.id). Dengan kondisi demikian artinya para penyandang tersebut terpaksa harus menggantungkan hidupnya dari bantuan keluarga atau pun institusi tertentu, yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi produktivitas kerja secara nasional.
 
Mengapa begitu sulit bagi para penyandang cacat untuk bersaing dalam bursa tenaga kerja sekalipun sudah ada kuota yang tersedia? Jika memang harus bersaing dengan para pekerja biasa (tidak cacat) hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh para penyandang cacat untuk dapat menunjukkan bahwa mereka memiliki kualifikasi yang tepat untuk pekerjaan yang diinginkan? Dalam artikel ini penulis mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam artikel ini maka yang dimaksud penyandang cacat adalah semua individu yang mengalami cacat fisik maupun mental namun memiliki pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang dibutuhkan oleh suatu jabatan/pekerjaan serta dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya secara efektif. 

Undang-Undang
Di setiap negara, baik negara maju maupun negara miskin, selalu ada individu yang memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu yang dalam istilah umum sehari-hari disebut sebagai penyandang cacat. Demi menjaga hak-hak dan kewajiban para penyandang cacat maka pemerintah di setiap negara melindungi para penyandang cacat tersebut dengan perangkat hukum berupa peraturan pemerintah maupun undang-undang.

Perangkat hukum di Indonesia yang mengatur tentang kesempatan kerja bagi penyandang cacat sebenarnya sudah cukup memadai. Hal ini terbukti dengan adanya UU RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dalam beberapa pasal juga mengatur tentang kesamaan dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 13 &14) lengkap dengan sanksi pidana dan administratif (Pasal 28 & 29). Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 yang berisi tentang kuota pekerja penyandang cacat juga merupakan langkah nyata usaha pemerintah untuk melindungi para penyandang cacat. 

Menyikapi hal tersebut, tak dapat dipungkiri memang ada beberapa perusahaan atau lembaga yang memberikan tanggapan positif dengan segera melaksanakan aturan tersebut, namun sebagian lagi nampaknya tetap "cuek". Apalagi di tengah-tengah meningkatnya jumlah pengangguran akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sekarang ini, maka semakin sempit pula ruang bagi para pekerja penyandang cacat untuk mendapatkan pekerjaan. 

Sikap
Mengapa banyak penyandang cacat yang gagal memperoleh pekerjaan meski sudah diatur sedemikian rupa dalam perangkat perundang-undangan yang berlaku di suatu negara. Jawabannya tidak lain adalah bermula dari sikap si penyedia pekerjaan atau perusahaan/organisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia usaha/kerja sikaplah yang mendasari berbagai perilaku kerja. Dalam kenyataan, sekarang ini masih banyak orang yang menganggap atau memberi stigma bahwa para penyandang cacat tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan dan menambah pengeluaran perusahaan (karena harus menyediakan akomodasi atau fasilitas khusus) jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak cacat. Hal-hal inilah yang seringkali membuat para pelamar yang kebetulan penyandang cacat gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat menunjukkan kualifikasinya (cth: lamaran tidak ditanggapi, tidak dipanggil untuk test atau wawancara padahal sudah memenuhi ketentuan persyaratan jabatan). Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak cacat meskipun secara akademis sang penyandang cacat ternyata lebih unggul dari rekan tersebut.

Beberapa pandangan atau sikap yang ada dalam perusahaan atau si pemberi pekerjaan terhadap penyandang cacat mungkin ada yang benar namun sebagian besar mungkin hanya didasarkan pada mitos atau stigma yang cenderung memojokkan para penyandang cacat. Untuk itu kita perlu membandingkan antara mitos dengan fakta, sebagai berikut:

Mitos dan Fakta Tentang Penyandang Cacat
MITOS
FAKTA
Pekerja penyandang cacat lebih sering absen dibandingkan dengan pekerja tidak cacat sehingga bisa mempengaruhi iklim kerja dalam perusahaan
Hasil study yang dilakukan di DuPont Corporation menunjukkan bahwa tingkat kehadiran para pekerja penyandang cacat rata-rata 85% atau lebih. Survey lainnya yang dilakukan di perusahaan telepon dan telegraph dengan jumlah karyawan sekitar 2.000 pekerja menunjukkan bahwa para pekerja penyandang cacat lebih kecil tingkat absensinya dibandingkan rekan mereka yang tidak cacat (monster.com). Artinya adalah bahwa para pekerja penyandang cacat tidaklah lebih sering absen dibandingkan pekerja tidak cacat.   
Para pekerja penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan pekerjaan. Untuk melatih mereka dibutuhkan waktu lama dan biaya yang tinggi.
Setiap pekerja, baik penyandang cacat maupun tidak, akan membutuhkan waktu yang berbeda satu sama lain dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan tanggungjawab baru. Penyandang cacat (asalkan direkrut dengan cara yang benar) tidak membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pekerja tidak cacat untuk mempelajari suatu tugas tertentu.
Mempekerjakan penyandang cacat berarti harus menyediakan fasilitas khusus agar dapat membuat mereka mampu bekerja optimal.
Tidak harus. Para penyandang cacat biasanya mampu menyediakan fasilitas, seperti transportasi atau akomodasi lainnya untuk diri mereka sendiri. 
Pekerja penyandang cacat sulit disupervisi
Kemampuan supervisi sangatlah tergantung pada kemampuan sang supervisor sendiri. Supervisor yang mampu mensupervisi para pekerja tidak cacat akan mampu juga mensupervisi para pekerja penyandang cacat.
Kinerja pekerja penyandang cacat tidak sebaik pekerja tidak cacat
Hasil penelitian di DuPont Corporation menunjukkan bahwa hampir 90% pekerja penyandang cacat mendapatkan predikat "good" atau "excellenct" dalam evaluasi kinerja dari para manajer mereka. Para manajer juga merasa bahwa pekerja penyandang cacat melakukan pekerjaan mereka sama baiknya dengan para pekerja tidak cacat.
Merekrut penyandang cacat berarti memperbesar biaya medical insurance
Setiap perusahaan tentu memiliki standard tersendiri untuk medical insurance. Medical insurance seharusnya tidak didasarkan pada apakah pekerja merupakan penyandang cacat atau bukan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan hal tersebut seharusnya adalah apakah lingkungan kerja penuh dengan risiko kecelakaan atau hal-hal yang dapat membahayakan jiwa. Selain itu, penyandang cacat tidaklah selalu indentik dengan kunjungan ke dokter dan rumah sakit. Oleh sebab itu tidaklah beralasan jika perusahaan menetapkan standard penentuan medical insurance yang berbeda antara pekerja tidak cacat dengan rekan mereka para pekerja penyandang cacat. 
Sangatlah sulit menetapkan rentangan gaji yang "fair" untuk pekerja penyandang cacat
Penetapan gaji atau pun kompensasi yang diterima pekerja adalah didasarkan pada kinerja dan produktivitas pekerja tersebut. Hal inipun harus diberlakukan sama bagi pekerja penyandang cacat.  
Tidak ada yang bisa dilakukan jika ternyata pekerja penyandang cacat yang direkrut tidak dapat memberikan kontribusi bagi perusahaan. Dengan kata lain perusahaan tidak bisa memecat pekerja penyandang cacat yang tidak produktif
Pada dasarnya setiap orang, baik cacat maupun normal, ingin dihargai atas hasil karya yang diberikannya. Tidak ada yang ingin terus-menerus hidup menjadi "benalu" bagi perusahaan. Para pekerja penyandang cacat tentu tidak ingin memperoleh pekerjaan  hanya semata-mata karena rasa belas kasihan dari si pemberi pekerjaan tersebut (perusahaan). Oleh sebab itu perusahaan tidak harus membuat kemudahan atau pun dispensasi khusus bagi mereka. Mereka harus memenuhi kriteria jabatan yang dibutuhkan dan mau menjalankan disiplin yang ditetapkan perusahaan sama seperti pekerja lain yang tidak cacat. Jika memang mereka tidak dapat menjalankan tugas/pekerjaan sebagaimana mestinya atau melanggar disiplin maka mereka juga harus diberikan bimbingan, pelatihanan atau teguran dan hukuman, bahkan jika perlu mereka bisa saja di PHK sama seperti semua pekerja lain yang ada dalam perusahaan. 

Makna Suatu Pekerjaan
Diantara para pembaca mungkin ada yang bertanya-tanya; mengapa masalah pekerjaan begitu penting bagi para penyandang cacat? Bukankah sudah menjadi kewajiban dari anggota keluarga untuk menanggung semua biaya dan kebutuhan mereka? Pertanyaan seperti itu sangatlah beralasan mengingat bahwa tidak sedikit dari para penyandang cacat juga berasal dari keluarga yang berkecukupan secara finansial sehingga si penyandang cacat hidup cukup terjamin. 

Kebutuhan
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kita harus melihat bahwa kebutuhan individu (baik yang cacat maupun tidak cacat) tidak hanya bersifat fisik, namun lebih jauh dari itu. Abraham Maslow, seorang pakar aliran Humanisme, membagi kebutuhan manusia menjadi 5 bagian yang menurutnya merupakan suatu hirarki dari yang paling rendah (kebutuhan fisiologis dasar) sampai ke paling tinggi (kebutuhan aktualisasi diri).
 
Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow
Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Kebutuhan untuk dihargai
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
Kebutuhan fisiologis dasar

Hirarki kebutuhan tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
  • Kebutuhan fisiologis dasar: mencakup makanan, pakaian, perumahan dan fasilitas-fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup individu
  • Kebutuhan akan rasa aman:
  • mencakup lingkungan yang bebas dari segala bentuk ancaman, pekerjaan yang jelas, keamanan atas alat atau instrumen yang dipergunakan dalam beraktivitas.
  • Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi:
  • mencakup interaksi dengan anggota keluarga atau teman, kebebasan melakukan aktivitas sosial, kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang akrab dengan orang lain
  • Kebutuhan untuk dihargai:
  • mencakup pemberian penghargaan atau reward atas prestasi yang dicapai, mengakui hasil karya individu, mendaptkan status sosial dalam masyarakat
  • Kebutuhan aktualisasi diri:
  • mencakup kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita atau harapan individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat atau talenta yang dimiliki.
Dari hirarki kebutuhan tersebut dapat terlihat bahwa prioritas pemenuhan kebutuhan sangat ditentukan oleh tingkatan kebutuhan yang ada. Artinya individu yang sudah terpenuhi kebutuhan fisiologis dasar secara otomatis akan berusaha untuk memenuhi kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi dan begitu seterusnya.
 
Pekerjaan
Seiring dengan adanya berbagai kebutuhan individu, maka alasan individu untuk bekerja pun menjadi beragam mengikuti kebutuhan tersebut sehingga pekerjaan memiliki makna tertentu bagi individu. Makna suatu pekerjaan bukan lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, maka suatu pekerjaan memiliki beberapa makna sebagai berikut: 

1. Instrumen (instrumental)
Dalam memahami bahwa bekerja adalah suatu alat atau instrumen, maka dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu sebagai alat untuk mendapatkan penghasilan dan sebagai alat untuk melakukan aktivitas. Bahwa bekerja merupakan alat untuk memperoleh penghasilan mungkin tidak perlu saya jelaskan lagi karena hal tersebut sudah merupakan hal yang umum dan sangat terkait dengan kebutuhan fisiologis dasar.

Dalam hal bekerja merupakan instrumen untuk beraktivitas, sangatlah jelas bagi kita bahwa dengan bekerja seseorang akan memiliki serangkaian aktivitas yang pasti dan jelas. Dengan bekerja maka semua kegiatan seolah-olah menjadi terprogram. Contoh: orang yang memiliki pekerjaan pasti akan bangun tidur pada jam tertentu, mandi dan sarapan dalam waktu tertentu, lalu berangkat kerja pada jam tertentu, bekerja dengan rentang waktu yang sudah jelas, dan kemudian pulang ke rumahnya pada jam tertentu pula. Semua waktu terlihat diisi dengan optimal dan bermanfaat, sehingga hampir tidak ada ruang untuk meratapi kemalangan hidup atau hal-hal negatif dalam diri individu. Semua itu membuat individu yang bekerja menjadi berbeda dengan individu yang tidak memiliki pekerjaan. Dalam beberapa kasus aktivitas-aktivitas kerja sangat dinikmati dan terasa begitu penting oleh si pekerja sehingga ia rela bekerja (melakukan aktivitas kerja) mesti tidak mendapatkan gaji (bayaran). Dalam hal ini aktivitas tersebutlah yang dianggap sebagai bayaran.
 
2. Kesenangan (enjoyment)
Sejalan dengan aktivitas yang dilakukan sebagai konsekuensi logis dari bekerja, maka tidak jarang individu menemukan berbagai kesenangan dalam bekerja. Pada pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakat serta cita-citanya maka aktivitas kerja merupakan hiburan dan pendorong semangat hidup. Dengan kesenangan yang dimilikinya tersebut maka individu akan dapat berfungsi secara optimal sehingga bermanfaat bagi perkembangan jiwanya dan juga memudahkannya dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. 

3. Pemenuhan diri (self-fulfillment)
Setiap orang ingin mengaplikasikan semua talenta yang dimiliki. Dengan bekerja maka individu memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan semua kemampuan yang dimilikinya atau dengan kata lain bekerja memungkinkan seseorang untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan bekerja individu akan terus-menerus meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan diri untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Lewat pekerjaan ia menghasilkan suatu karya cipta dan akan memperoleh pengakuan atau hasil karya tersebut. Dengan demikian maka ia akan semakin memiliki konsep diri yang positif dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
 
4. Institusi Sosial (social institution)
Tak dapat dipungkiri bahwa pekerjaan menciptakan suatu institusi sosial. Dengan bekerja mau tidak mau individu terikat dalam suatu institusi sosial yang memiliki aturan main tersendiri yang seringkali berbeda antara institusi yang satu dengan yang lain. Dengan bekerja maka relasi sosial akan terbuka lebar dan akan terjalin hubungan interpersonal. Hubungan tersebut memungkinkan individu untuk bisa berbagi pengalamanan, tukar-menukar informasi, bertanya, bahkan memperoleh bimbingan dari orang lain, sehingga memperluas wawasan individu tersebut. Dalam interaksi sosial dalam dunia kerja, sang individu mungkin akan menemukan teman akrab bahkan mungkin juga teman hidup. Selain itu dengan bekerja individu memiliki status sosial yang jelas dan diakui oleh masyarakat, sehingga ia merasa diterima dan menjadi bagian masyarakat. 

Dengan melihat makna suatu pekerjaan bagi individu dan mengingat asas kesamaan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak, maka kita semua tentu dapat lebih memahami jika Lembaga Bantuan Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja penyandang cacat seperti disebutkan di atas. Pentingnya suatu pekerjaan bagi individu juga tidak memandang apakah seorang penyandang cacat berasal dari keluarga yang mampu atau keluarga tidak mampu, mengingat bahwa bekerja justru memiliki makna yang jauh lebih mendalam dari sekedar masalah finansial.
 
Kesiapan dan Kemampuan
Untuk dapat bersaing dengan para pekerja tidak cacat maka para penyandang cacat tentu harus mempersiapkan segala hal untuk dapat menampilkan potensi yang dimilikinya. Hal tersebut harus dilakukan mengingat bahwa keberhasilan seseorang dalam mendapatkan pekerjaan akan sangat ditentukan oleh kemampuan yang bersangkutan dalam meyakinkan si pemberi pekerjaan (perusahaan) bahwa dialah yang terbaik untuk mengisi jabatan yang tersedia. Hal inipun berlaku untuk semua pencari kerja, termasuk penyandang cacat. Oleh sebab itu penyandang cacat yang mau bekerja harus mempersiapkan hal-hal sebagai berikut:
  • Tingkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan anda melalui pelatihan-pelatihan atau pun kursus-kursus yang sesuai.
  • Aktif mencari lowongan pekerjaan yang sesuai. Gunakan berbagai jalur dan teknik mencari pekerjaan, misalnya lewat institusi penyandang cacat, relasi, media massa, dll.
  • Cari tahu dan kenali perusahaan-perusahaan yang berpotensi mempekerjakan para penyandang cacat.
  • Manfaatkan teknologi secara maksimal untuk membantu anda. Satu hal yang sangat membantu saat ini adalah adanya komputer. Dengan keahlian menggunakan komputer maka akan terbuka banyak peluang bagi penyandang cacat untuk bersaing bahkan bisa menjadi lebih ahli dibandingkan orang yang tidak cacat.
  • Jika dipanggil wawancara kerja maka buatlah wawancara tersebut menjadi mudah bagi interviewer (perusahaan) dengan memberitahukan hal-hal apa saja yang harus mereka siapkan untuk anda.
  • Berpakaianlah secara pantas sesuai dengan jabatan atau pekerjaan yang dilamar.
  • Bawalah surat lamaran beserta resume dan bahkan contoh hasil karya yang telah anda buat (jika ada) pada saat wawancara.
  • Antisipasi sikap-sikap negatif terhadap anda. Seperti yang telah disebutkan di atas, maka tidak dapat diingkari bahwa masih ada orang yang memiliki prasangka buruk atau menganggap remeh para penyandang cacat. Menghadapi hal tersebut maka anda harus mempersiapkan mental secara baik sehingga tidak terpancing atau menjadi emosional menanggapi hal tersebut. Fokuskan diri anda hanya pada hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan. Dengan cara ini perusahaan akan lebih dapat mengenali potensi anda.
  • Atasi pertanyaan-pertanyaan yang "memojokkan" secara elegan. Dalam wawancara kerja tidak tertutup kemungkinan bahwa si interviewer akan bertanya sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. Contoh: berapa kali dalam sebulan anda harus ke dokter? (maksudnya: mungkin jika sering ke dokter maka jika itu menjadi tanggungan perusahaan tentu akan berat selain itu pekerja pasti akan sering absen). Jika pertanyaan semacam ini diajukan pada anda yang kebetulan penyandang cacat maka pahami terlebih dahulu maksud pertanyaan tersebut dan kemudian jawablah pertanyaan tersebut sejujurnya dan tambahkan dengan kata-kata: "Pak/Bu, saya menjamin bahwa tidak ada hal-hal dalam kehidupan pribadi saya yang akan dapat mengganggu saya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan perusahaan".
Mengingat bahwa para penyandang cacat tidak dapat mempersiapkan diri sendiri tanpa dukungan dari pemerintah dan perusahaan/institusi penyedia lapangan kerja maka sangat perlu kiranya kedua pihak tersebut memberikan dukungan yang maksimal. Bagi pemerintah dukungan untuk memberdayakan para penyandang cacat melalui pelatihan-pelatihan atau pun kursus-kursus amat sangat dibutuhkan. Oleh karena itu pemerintah diharapkan menyediakan dana dan sarana yang memadai.

Bagi perusahaan, melalui artikel ini penulis ingin mengetuk hati para pembuat keputusan atau pemegang kebijakan di perusahaan untuk bisa memberikan kesempatan kepada para penyandang untuk dapat bekerja sesuai dengan kualifikasi yang ada. Jangan merekrut pekerja penyandang cacat berdasarkan rasa belas kasihan dan tanpa prosedur yang semestinya, tetapi hendaklah dilakukan sesuai dengan prosedur rekrutmen dan seleksi yang semestinya sehingga hak-hak dan kewajiban antara perusahaan dan pekerja (penyandang cacat) menjadi terjamin. Selain itu bagi perusahaan yang terpaksa harus menerima kenyataan bahwa ada pekerjanya yang mengalami kecelakaan kerja dan berakhir dengan cacat, maka perlakukan mereka dengan sepantasnya sesuai dengan jasa dan pengabdian yang telah mereka berikan. Dalam kasus seperti ini hendaknya perusahaan tidak serta merta melakukan PHK dan menggantikan kedudukan pekerja tersebut dengan orang lain yang tidak cacat. Selamat membaca dan semoga berguna. (jp)
 

No comments:

Post a Comment