Oleh : Johanes Papu
Jakarta, 20 Agustus 2002
Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia mendesak kepada semua perusahaan
yang beroperasi di Indonesia untuk melaksanakan kewajiban kuota tenaga
kerja penyandang cacat. Adapun kuota yang dimaksudkan adalah seperti
yang tercantum dalam Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002
tentang penempatan tenaga kerja penyandang cacat yang mengatakan bahwa
setiap perusahaan yang memiliki jumlah karyawan 100 orang atau lebih,
wajib mempekerjakan 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi
persyaratan jabatan atau kualifikasi pekerjaan atau kurang dari 100
orang jika perusahaan tersebut menggunakan teknologi tinggi. Demikian
berita yang dikutip dari www.nakertrans.go.id tanggal 30 April 2002 yang lalu.
Kenyataan di atas paling tidak
menggambarkan bagaimana kondisi yang dialami oleh para penyandang cacat
di Indonesia. Dalam gegap gempitanya kehidupan dunia bisnis seringkali
para penyandang cacat tidak mendapatkan perhatian yang cukup bahkan
cenderung terlupakan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan
Undang-Undang tentang Penyandang Cacat yang mengatur kesamaan kesempatan
bagi penyandang cacat untuk memperoleh pekerjaan, namun pelaksanaannya
masih jauh dari yang diharapkan. Dari sekitar 20 juta penyandang cacat
yang ada di Indonesia, 80% tidak memiliki pekerjaan (dalam www.nakertrans.go.id).
Dengan kondisi demikian artinya para penyandang tersebut terpaksa harus
menggantungkan hidupnya dari bantuan keluarga atau pun institusi
tertentu, yang secara tidak langsung juga akan mempengaruhi
produktivitas kerja secara nasional.
Mengapa begitu sulit bagi para penyandang cacat untuk
bersaing dalam bursa tenaga kerja sekalipun sudah ada kuota yang
tersedia? Jika memang harus bersaing dengan para pekerja biasa (tidak
cacat) hal-hal apa saja yang harus dilakukan oleh para penyandang cacat
untuk dapat menunjukkan bahwa mereka memiliki kualifikasi yang tepat
untuk pekerjaan yang diinginkan? Dalam artikel ini penulis mencoba untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dalam artikel ini maka yang
dimaksud penyandang cacat adalah semua individu yang mengalami cacat
fisik maupun mental namun memiliki pengetahuan, kemampuan dan
ketrampilan yang dibutuhkan oleh suatu jabatan/pekerjaan serta dapat
menjalin hubungan sosial dengan orang lain di sekitarnya secara efektif.
Undang-Undang
Di setiap negara, baik negara maju maupun negara
miskin, selalu ada individu yang memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu yang dalam istilah umum sehari-hari disebut sebagai penyandang
cacat. Demi menjaga hak-hak dan kewajiban para penyandang cacat maka
pemerintah di setiap negara melindungi para penyandang cacat tersebut
dengan perangkat hukum berupa peraturan pemerintah maupun undang-undang.
Perangkat hukum di Indonesia yang mengatur tentang
kesempatan kerja bagi penyandang cacat sebenarnya sudah cukup memadai.
Hal ini terbukti dengan adanya UU RI No. 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, yang dalam beberapa pasal juga mengatur tentang
kesamaan dan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 13 &14)
lengkap dengan sanksi pidana dan administratif (Pasal 28 & 29).
Surat Edaran Menakertrans No. 01.KP.01.15/2002 yang berisi
tentang kuota pekerja penyandang cacat juga merupakan langkah nyata
usaha pemerintah untuk melindungi para penyandang cacat.
Menyikapi hal tersebut, tak dapat dipungkiri memang
ada beberapa perusahaan atau lembaga yang memberikan tanggapan positif
dengan segera melaksanakan aturan tersebut, namun sebagian lagi
nampaknya tetap "cuek". Apalagi di tengah-tengah meningkatnya jumlah
pengangguran akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sekarang ini,
maka semakin sempit pula ruang bagi para pekerja penyandang cacat untuk
mendapatkan pekerjaan.
Sikap
Mengapa banyak penyandang cacat
yang gagal memperoleh pekerjaan meski sudah diatur sedemikian rupa
dalam perangkat perundang-undangan yang berlaku di suatu negara.
Jawabannya tidak lain adalah bermula dari sikap si penyedia pekerjaan
atau perusahaan/organisasi. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia
usaha/kerja sikaplah yang mendasari berbagai perilaku kerja. Dalam
kenyataan, sekarang ini masih banyak orang yang menganggap atau memberi
stigma bahwa para penyandang cacat tidak memiliki kualifikasi yang cukup
untuk memegang suatu jabatan, lebih banyak merepotkan dan menambah
pengeluaran perusahaan (karena harus menyediakan akomodasi atau
fasilitas khusus) jika dibandingkan dengan pekerja yang tidak cacat.
Hal-hal inilah yang seringkali membuat para pelamar yang kebetulan
penyandang cacat gagal diterima bekerja bahkan sebelum mereka sempat
menunjukkan kualifikasinya (cth: lamaran tidak ditanggapi, tidak
dipanggil untuk test atau wawancara padahal sudah memenuhi ketentuan
persyaratan jabatan). Mereka kalah bersaing dengan rekan yang tidak
cacat meskipun secara akademis sang penyandang cacat ternyata lebih
unggul dari rekan tersebut.
Beberapa pandangan atau sikap yang ada
dalam perusahaan atau si pemberi pekerjaan terhadap penyandang cacat
mungkin ada yang benar namun sebagian besar mungkin hanya didasarkan
pada mitos atau stigma yang cenderung memojokkan para penyandang cacat.
Untuk itu kita perlu membandingkan antara mitos dengan fakta, sebagai
berikut:
Mitos dan Fakta Tentang Penyandang Cacat
MITOS
FAKTA
Pekerja
penyandang cacat lebih sering absen dibandingkan dengan pekerja tidak
cacat sehingga bisa mempengaruhi iklim kerja dalam perusahaan
Hasil
study yang dilakukan di DuPont Corporation menunjukkan bahwa tingkat
kehadiran para pekerja penyandang cacat rata-rata 85% atau lebih. Survey
lainnya yang dilakukan di perusahaan telepon dan telegraph dengan
jumlah karyawan sekitar 2.000 pekerja menunjukkan bahwa para pekerja
penyandang cacat lebih kecil tingkat absensinya dibandingkan rekan
mereka yang tidak cacat (monster.com). Artinya adalah bahwa para pekerja
penyandang cacat tidaklah lebih sering absen dibandingkan pekerja tidak
cacat.
Para
pekerja penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan
diri dengan pekerjaan. Untuk melatih mereka dibutuhkan waktu lama dan
biaya yang tinggi.
Setiap
pekerja, baik penyandang cacat maupun tidak, akan membutuhkan waktu
yang berbeda satu sama lain dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan
tanggungjawab baru. Penyandang cacat (asalkan direkrut dengan cara yang
benar) tidak membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pekerja
tidak cacat untuk mempelajari suatu tugas tertentu.
Mempekerjakan penyandang cacat berarti harus menyediakan fasilitas khusus agar dapat membuat mereka mampu bekerja optimal.
Tidak
harus. Para penyandang cacat biasanya mampu menyediakan fasilitas,
seperti transportasi atau akomodasi lainnya untuk diri mereka sendiri.
Pekerja penyandang cacat sulit disupervisi
Kemampuan
supervisi sangatlah tergantung pada kemampuan sang supervisor sendiri.
Supervisor yang mampu mensupervisi para pekerja tidak cacat akan mampu
juga mensupervisi para pekerja penyandang cacat.
Kinerja pekerja penyandang cacat tidak sebaik pekerja tidak cacat
Hasil penelitian di DuPont Corporation menunjukkan bahwa hampir 90% pekerja penyandang cacat mendapatkan predikat "good" atau "excellenct"
dalam evaluasi kinerja dari para manajer mereka. Para manajer juga
merasa bahwa pekerja penyandang cacat melakukan pekerjaan mereka sama
baiknya dengan para pekerja tidak cacat.
Merekrut penyandang cacat berarti memperbesar biaya medical insurance
Setiap perusahaan tentu memiliki standard tersendiri untuk medical insurance. Medical insurance
seharusnya tidak didasarkan pada apakah pekerja merupakan penyandang
cacat atau bukan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan hal tersebut
seharusnya adalah apakah lingkungan kerja penuh dengan risiko kecelakaan
atau hal-hal yang dapat membahayakan jiwa. Selain itu, penyandang cacat
tidaklah selalu indentik dengan kunjungan ke dokter dan rumah sakit.
Oleh sebab itu tidaklah beralasan jika perusahaan menetapkan standard
penentuan medical insurance yang berbeda antara pekerja tidak cacat dengan rekan mereka para pekerja penyandang cacat.
Sangatlah sulit menetapkan rentangan gaji yang "fair" untuk pekerja penyandang cacat
Penetapan
gaji atau pun kompensasi yang diterima pekerja adalah didasarkan pada
kinerja dan produktivitas pekerja tersebut. Hal inipun harus
diberlakukan sama bagi pekerja penyandang cacat.
Tidak
ada yang bisa dilakukan jika ternyata pekerja penyandang cacat yang
direkrut tidak dapat memberikan kontribusi bagi perusahaan. Dengan kata
lain perusahaan tidak bisa memecat pekerja penyandang cacat yang tidak
produktif
Pada
dasarnya setiap orang, baik cacat maupun normal, ingin dihargai atas
hasil karya yang diberikannya. Tidak ada yang ingin terus-menerus hidup
menjadi "benalu" bagi perusahaan. Para pekerja penyandang cacat tentu
tidak ingin memperoleh pekerjaan hanya semata-mata karena rasa belas
kasihan dari si pemberi pekerjaan tersebut (perusahaan). Oleh sebab itu
perusahaan tidak harus membuat kemudahan atau pun dispensasi khusus bagi
mereka. Mereka harus memenuhi kriteria jabatan yang dibutuhkan dan mau
menjalankan disiplin yang ditetapkan perusahaan sama seperti pekerja
lain yang tidak cacat. Jika memang mereka tidak dapat menjalankan
tugas/pekerjaan sebagaimana mestinya atau melanggar disiplin maka mereka
juga harus diberikan bimbingan, pelatihanan atau teguran dan hukuman,
bahkan jika perlu mereka bisa saja di PHK sama seperti semua pekerja
lain yang ada dalam perusahaan.
Makna Suatu Pekerjaan
Diantara para pembaca mungkin
ada yang bertanya-tanya; mengapa masalah pekerjaan begitu penting bagi
para penyandang cacat? Bukankah sudah menjadi kewajiban dari anggota
keluarga untuk menanggung semua biaya dan kebutuhan mereka? Pertanyaan
seperti itu sangatlah beralasan mengingat bahwa tidak sedikit dari para
penyandang cacat juga berasal dari keluarga yang berkecukupan secara
finansial sehingga si penyandang cacat hidup cukup terjamin.
Kebutuhan
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka kita harus melihat bahwa kebutuhan
individu (baik yang cacat maupun tidak cacat) tidak hanya bersifat
fisik, namun lebih jauh dari itu. Abraham Maslow, seorang pakar aliran
Humanisme, membagi kebutuhan manusia menjadi 5 bagian yang menurutnya
merupakan suatu hirarki dari yang paling rendah (kebutuhan fisiologis
dasar) sampai ke paling tinggi (kebutuhan aktualisasi diri).
Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow
Kebutuhan untuk aktualisasi diri
Kebutuhan untuk dihargai
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
Kebutuhan fisiologis dasar
Hirarki kebutuhan tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Kebutuhan fisiologis dasar: mencakup makanan, pakaian, perumahan dan
fasilitas-fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup
individu
- Kebutuhan akan rasa aman:
mencakup
lingkungan yang bebas dari segala bentuk ancaman, pekerjaan yang jelas,
keamanan atas alat atau instrumen yang dipergunakan dalam beraktivitas.
- Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi:
mencakup
interaksi dengan anggota keluarga atau teman, kebebasan melakukan
aktivitas sosial, kesempatan yang diberikan untuk menjalin hubungan yang
akrab dengan orang lain
- Kebutuhan untuk dihargai:
mencakup
pemberian penghargaan atau reward atas prestasi yang dicapai, mengakui
hasil karya individu, mendaptkan status sosial dalam masyarakat
- Kebutuhan aktualisasi diri:
mencakup
kesempatan dan kebebasan untuk merealisasikan cita-cita atau harapan
individu, kebebasan untuk mengembangkan bakat atau talenta yang
dimiliki.
Dari hirarki kebutuhan tersebut dapat
terlihat bahwa prioritas pemenuhan kebutuhan sangat ditentukan oleh
tingkatan kebutuhan yang ada. Artinya individu yang sudah terpenuhi
kebutuhan fisiologis dasar secara otomatis akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan di tingkat yang lebih tinggi dan begitu seterusnya.
Pekerjaan
Seiring
dengan adanya berbagai kebutuhan individu, maka alasan individu untuk
bekerja pun menjadi beragam mengikuti kebutuhan tersebut sehingga
pekerjaan memiliki makna tertentu bagi individu. Makna suatu pekerjaan
bukan lagi hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fisiologis dasar
tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi
tingkatannya. Jika dilihat dari sudut pandang psikologi, maka suatu
pekerjaan memiliki beberapa makna sebagai berikut:
1. Instrumen (instrumental)
Dalam
memahami bahwa bekerja adalah suatu alat atau instrumen, maka dapat kita
bagi menjadi dua bagian yaitu sebagai alat untuk mendapatkan
penghasilan dan sebagai alat untuk melakukan aktivitas. Bahwa bekerja
merupakan alat untuk memperoleh penghasilan mungkin tidak perlu saya
jelaskan lagi karena hal tersebut sudah merupakan hal yang umum dan
sangat terkait dengan kebutuhan fisiologis dasar.
Dalam hal bekerja merupakan instrumen
untuk beraktivitas, sangatlah jelas bagi kita bahwa dengan bekerja
seseorang akan memiliki serangkaian aktivitas yang pasti dan jelas.
Dengan bekerja maka semua kegiatan seolah-olah menjadi terprogram.
Contoh: orang yang memiliki pekerjaan pasti akan bangun tidur pada jam
tertentu, mandi dan sarapan dalam waktu tertentu, lalu berangkat kerja
pada jam tertentu, bekerja dengan rentang waktu yang sudah jelas, dan
kemudian pulang ke rumahnya pada jam tertentu pula. Semua waktu terlihat
diisi dengan optimal dan bermanfaat, sehingga hampir tidak ada ruang
untuk meratapi kemalangan hidup atau hal-hal negatif dalam diri
individu. Semua itu membuat individu yang bekerja menjadi berbeda dengan
individu yang tidak memiliki pekerjaan. Dalam beberapa kasus
aktivitas-aktivitas kerja sangat dinikmati dan terasa begitu penting
oleh si pekerja sehingga ia rela bekerja (melakukan aktivitas kerja)
mesti tidak mendapatkan gaji (bayaran). Dalam hal ini aktivitas
tersebutlah yang dianggap sebagai bayaran.
2. Kesenangan (enjoyment)
Sejalan
dengan aktivitas yang dilakukan sebagai konsekuensi logis dari bekerja,
maka tidak jarang individu menemukan berbagai kesenangan dalam bekerja.
Pada pekerjaan yang benar-benar sesuai dengan minat dan bakat serta
cita-citanya maka aktivitas kerja merupakan hiburan dan pendorong
semangat hidup. Dengan kesenangan yang dimilikinya tersebut maka
individu akan dapat berfungsi secara optimal sehingga bermanfaat bagi
perkembangan jiwanya dan juga memudahkannya dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitarnya.
3. Pemenuhan diri (self-fulfillment)
Setiap
orang ingin mengaplikasikan semua talenta yang dimiliki. Dengan bekerja
maka individu memiliki kesempatan untuk mengaplikasikan semua kemampuan
yang dimilikinya atau dengan kata lain bekerja memungkinkan seseorang
untuk dapat mengaktualisasikan dirinya. Dengan bekerja individu akan
terus-menerus meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan diri
untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Lewat pekerjaan ia
menghasilkan suatu karya cipta dan akan memperoleh pengakuan atau hasil
karya tersebut. Dengan demikian maka ia akan semakin memiliki konsep
diri yang positif dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
4. Institusi Sosial (social institution)
Tak dapat
dipungkiri bahwa pekerjaan menciptakan suatu institusi sosial. Dengan
bekerja mau tidak mau individu terikat dalam suatu institusi sosial yang
memiliki aturan main tersendiri yang seringkali berbeda antara
institusi yang satu dengan yang lain. Dengan bekerja maka relasi sosial
akan terbuka lebar dan akan terjalin hubungan interpersonal. Hubungan
tersebut memungkinkan individu untuk bisa berbagi pengalamanan,
tukar-menukar informasi, bertanya, bahkan memperoleh bimbingan dari
orang lain, sehingga memperluas wawasan individu tersebut. Dalam
interaksi sosial dalam dunia kerja, sang individu mungkin akan menemukan
teman akrab bahkan mungkin juga teman hidup. Selain itu dengan bekerja
individu memiliki status sosial yang jelas dan diakui oleh masyarakat,
sehingga ia merasa diterima dan menjadi bagian masyarakat.
Dengan melihat makna suatu pekerjaan
bagi individu dan mengingat asas kesamaan kesempatan untuk memperoleh
pekerjaan dan kehidupan yang layak, maka kita semua tentu dapat lebih
memahami jika Lembaga Bantuan Hukum (LBH) penyandang cacat Indonesia
mendesak kepada semua perusahaan yang beroperasi di Indonesia untuk
melaksanakan kewajiban kuota tenaga kerja penyandang cacat seperti
disebutkan di atas. Pentingnya suatu pekerjaan bagi individu juga tidak
memandang apakah seorang penyandang cacat berasal dari keluarga yang
mampu atau keluarga tidak mampu, mengingat bahwa bekerja justru memiliki
makna yang jauh lebih mendalam dari sekedar masalah finansial.
Kesiapan dan Kemampuan
Untuk dapat bersaing dengan
para pekerja tidak cacat maka para penyandang cacat tentu harus
mempersiapkan segala hal untuk dapat menampilkan potensi yang
dimilikinya. Hal tersebut harus dilakukan mengingat bahwa keberhasilan
seseorang dalam mendapatkan pekerjaan akan sangat ditentukan oleh
kemampuan yang bersangkutan dalam meyakinkan si pemberi pekerjaan
(perusahaan) bahwa dialah yang terbaik untuk mengisi jabatan yang
tersedia. Hal inipun berlaku untuk semua pencari kerja, termasuk
penyandang cacat. Oleh sebab itu penyandang cacat yang mau bekerja harus
mempersiapkan hal-hal sebagai berikut:
- Tingkatkan pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan anda melalui pelatihan-pelatihan atau pun kursus-kursus yang sesuai.
- Aktif mencari lowongan pekerjaan yang sesuai. Gunakan berbagai
jalur dan teknik mencari pekerjaan, misalnya lewat institusi penyandang
cacat, relasi, media massa, dll.
- Cari tahu dan kenali perusahaan-perusahaan yang berpotensi mempekerjakan para penyandang cacat.
- Manfaatkan teknologi secara maksimal untuk membantu anda. Satu hal
yang sangat membantu saat ini adalah adanya komputer. Dengan keahlian
menggunakan komputer maka akan terbuka banyak peluang bagi penyandang
cacat untuk bersaing bahkan bisa menjadi lebih ahli dibandingkan orang
yang tidak cacat.
- Jika dipanggil wawancara kerja maka buatlah wawancara tersebut
menjadi mudah bagi interviewer (perusahaan) dengan memberitahukan
hal-hal apa saja yang harus mereka siapkan untuk anda.
- Berpakaianlah secara pantas sesuai dengan jabatan atau pekerjaan yang dilamar.
- Bawalah surat lamaran beserta resume dan bahkan contoh hasil karya yang telah anda buat (jika ada) pada saat wawancara.
- Antisipasi sikap-sikap negatif terhadap anda. Seperti yang telah
disebutkan di atas, maka tidak dapat diingkari bahwa masih ada orang
yang memiliki prasangka buruk atau menganggap remeh para penyandang
cacat. Menghadapi hal tersebut maka anda harus mempersiapkan mental
secara baik sehingga tidak terpancing atau menjadi emosional menanggapi
hal tersebut. Fokuskan diri anda hanya pada hal-hal yang berhubungan
dengan pekerjaan. Dengan cara ini perusahaan akan lebih dapat mengenali
potensi anda.
- Atasi pertanyaan-pertanyaan yang "memojokkan" secara elegan. Dalam
wawancara kerja tidak tertutup kemungkinan bahwa si interviewer akan
bertanya sampai ke hal-hal yang bersifat pribadi. Contoh: berapa kali
dalam sebulan anda harus ke dokter? (maksudnya: mungkin jika sering ke
dokter maka jika itu menjadi tanggungan perusahaan tentu akan berat
selain itu pekerja pasti akan sering absen). Jika pertanyaan semacam ini
diajukan pada anda yang kebetulan penyandang cacat maka pahami terlebih
dahulu maksud pertanyaan tersebut dan kemudian jawablah pertanyaan
tersebut sejujurnya dan tambahkan dengan kata-kata: "Pak/Bu, saya
menjamin bahwa tidak ada hal-hal dalam kehidupan pribadi saya yang akan
dapat mengganggu saya dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan
perusahaan".
Mengingat bahwa para penyandang cacat
tidak dapat mempersiapkan diri sendiri tanpa dukungan dari pemerintah
dan perusahaan/institusi penyedia lapangan kerja maka sangat perlu
kiranya kedua pihak tersebut memberikan dukungan yang maksimal. Bagi
pemerintah dukungan untuk memberdayakan para penyandang cacat melalui
pelatihan-pelatihan atau pun kursus-kursus amat sangat dibutuhkan. Oleh
karena itu pemerintah diharapkan menyediakan dana dan sarana yang
memadai.
Bagi perusahaan, melalui artikel ini
penulis ingin mengetuk hati para pembuat keputusan atau pemegang
kebijakan di perusahaan untuk bisa memberikan kesempatan kepada para
penyandang untuk dapat bekerja sesuai dengan kualifikasi yang ada.
Jangan merekrut pekerja penyandang cacat berdasarkan rasa belas kasihan
dan tanpa prosedur yang semestinya, tetapi hendaklah dilakukan sesuai
dengan prosedur rekrutmen dan seleksi yang semestinya sehingga hak-hak
dan kewajiban antara perusahaan dan pekerja (penyandang cacat) menjadi
terjamin. Selain itu bagi perusahaan yang terpaksa harus menerima
kenyataan bahwa ada pekerjanya yang mengalami kecelakaan kerja dan
berakhir dengan cacat, maka perlakukan mereka dengan sepantasnya sesuai
dengan jasa dan pengabdian yang telah mereka berikan. Dalam kasus
seperti ini hendaknya perusahaan tidak serta merta melakukan PHK dan
menggantikan kedudukan pekerja tersebut dengan orang lain yang tidak
cacat. Selamat membaca dan semoga berguna. (jp)
MITOS
|
FAKTA
|
Pekerja
penyandang cacat lebih sering absen dibandingkan dengan pekerja tidak
cacat sehingga bisa mempengaruhi iklim kerja dalam perusahaan
|
Hasil
study yang dilakukan di DuPont Corporation menunjukkan bahwa tingkat
kehadiran para pekerja penyandang cacat rata-rata 85% atau lebih. Survey
lainnya yang dilakukan di perusahaan telepon dan telegraph dengan
jumlah karyawan sekitar 2.000 pekerja menunjukkan bahwa para pekerja
penyandang cacat lebih kecil tingkat absensinya dibandingkan rekan
mereka yang tidak cacat (monster.com). Artinya adalah bahwa para pekerja
penyandang cacat tidaklah lebih sering absen dibandingkan pekerja tidak
cacat.
|
Para
pekerja penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan
diri dengan pekerjaan. Untuk melatih mereka dibutuhkan waktu lama dan
biaya yang tinggi.
|
Setiap
pekerja, baik penyandang cacat maupun tidak, akan membutuhkan waktu
yang berbeda satu sama lain dalam menyesuaikan diri dengan pekerjaan dan
tanggungjawab baru. Penyandang cacat (asalkan direkrut dengan cara yang
benar) tidak membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan pekerja
tidak cacat untuk mempelajari suatu tugas tertentu.
|
Mempekerjakan penyandang cacat berarti harus menyediakan fasilitas khusus agar dapat membuat mereka mampu bekerja optimal.
|
Tidak
harus. Para penyandang cacat biasanya mampu menyediakan fasilitas,
seperti transportasi atau akomodasi lainnya untuk diri mereka sendiri.
|
Pekerja penyandang cacat sulit disupervisi
|
Kemampuan
supervisi sangatlah tergantung pada kemampuan sang supervisor sendiri.
Supervisor yang mampu mensupervisi para pekerja tidak cacat akan mampu
juga mensupervisi para pekerja penyandang cacat.
|
Kinerja pekerja penyandang cacat tidak sebaik pekerja tidak cacat
|
Hasil penelitian di DuPont Corporation menunjukkan bahwa hampir 90% pekerja penyandang cacat mendapatkan predikat "good" atau "excellenct"
dalam evaluasi kinerja dari para manajer mereka. Para manajer juga
merasa bahwa pekerja penyandang cacat melakukan pekerjaan mereka sama
baiknya dengan para pekerja tidak cacat.
|
Merekrut penyandang cacat berarti memperbesar biaya medical insurance
|
Setiap perusahaan tentu memiliki standard tersendiri untuk medical insurance. Medical insurance
seharusnya tidak didasarkan pada apakah pekerja merupakan penyandang
cacat atau bukan. Kriteria yang digunakan untuk menentukan hal tersebut
seharusnya adalah apakah lingkungan kerja penuh dengan risiko kecelakaan
atau hal-hal yang dapat membahayakan jiwa. Selain itu, penyandang cacat
tidaklah selalu indentik dengan kunjungan ke dokter dan rumah sakit.
Oleh sebab itu tidaklah beralasan jika perusahaan menetapkan standard
penentuan medical insurance yang berbeda antara pekerja tidak cacat dengan rekan mereka para pekerja penyandang cacat.
|
Sangatlah sulit menetapkan rentangan gaji yang "fair" untuk pekerja penyandang cacat
|
Penetapan
gaji atau pun kompensasi yang diterima pekerja adalah didasarkan pada
kinerja dan produktivitas pekerja tersebut. Hal inipun harus
diberlakukan sama bagi pekerja penyandang cacat.
|
Tidak
ada yang bisa dilakukan jika ternyata pekerja penyandang cacat yang
direkrut tidak dapat memberikan kontribusi bagi perusahaan. Dengan kata
lain perusahaan tidak bisa memecat pekerja penyandang cacat yang tidak
produktif
|
Pada
dasarnya setiap orang, baik cacat maupun normal, ingin dihargai atas
hasil karya yang diberikannya. Tidak ada yang ingin terus-menerus hidup
menjadi "benalu" bagi perusahaan. Para pekerja penyandang cacat tentu
tidak ingin memperoleh pekerjaan hanya semata-mata karena rasa belas
kasihan dari si pemberi pekerjaan tersebut (perusahaan). Oleh sebab itu
perusahaan tidak harus membuat kemudahan atau pun dispensasi khusus bagi
mereka. Mereka harus memenuhi kriteria jabatan yang dibutuhkan dan mau
menjalankan disiplin yang ditetapkan perusahaan sama seperti pekerja
lain yang tidak cacat. Jika memang mereka tidak dapat menjalankan
tugas/pekerjaan sebagaimana mestinya atau melanggar disiplin maka mereka
juga harus diberikan bimbingan, pelatihanan atau teguran dan hukuman,
bahkan jika perlu mereka bisa saja di PHK sama seperti semua pekerja
lain yang ada dalam perusahaan.
|
Kebutuhan untuk aktualisasi diri
|
Kebutuhan untuk dihargai
|
Kebutuhan untuk dicintai dan disayangi
|
Kebutuhan akan rasa aman dan tentram
|
Kebutuhan fisiologis dasar
|
No comments:
Post a Comment