ads ads ads ads
Showing posts with label Hukum. Show all posts
Showing posts with label Hukum. Show all posts

Thursday, January 23, 2014

Hak-Hak Karyawan yang Meninggal (Uang Duka, Jaminan Kematian, dll)

http://images.hukumonline.com/frontend/lt4b78d72b89322/lt4fa7a7b94c129.jpg
 
Berkenaan dengan permasalahan dan pertanyaan yang Saudara sampaikan, dapat saya rangkum menjadi 2 (dua) hal. Pertama dan yang terutama: Pihak manakah dan kepada siapa yang berhak sebagai ahli waris jika seseorang karyawan meninggal dunia? Kedua, apa saja hak-hak seorang karyawan (maksudnya, hak ahli waris pekerja/buruh) yang meninggal dunia -dan bukan karena kecelakaan kerja.
Untuk menjawab permasalahan utama, kiranya saya perlu menjelaskan terlebih dahulu mengenai apa saja hak-hak seorang karyawan yang meninggal dunia yang bukan karena kecelakaan kerja, masing-masing sebagai berikut:
1. bahwa hak-hak seorang karyawan (dalam hal ini, pekerja/buruh) yang meninggal dunia -yang bukan karena kecelakaan kerja, termasuk bukan karena penyakit akibat kerja (“PAK”) - sesuai ketentuan dan timbul dari peraturan perundang-undangan, adalah:
a.    sejumlah uang* (semacam “uang duka”) yang nilai dan perhitungannya sama dengan -jumlah- perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
*Keterangan: Sejumlah “uang duka” tersebut, adalah merupakan kewajiban dari pengusaha yang mana pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja atau merupakan hak ahli waris-(keluarga)-nya (vide Pasal 166 UU Ketenagakerjaan).
b.    jaminan kematian (JK)* yang meliputi :
1)    Santunan kematian, lumpsum sebesar Rp14.200.000,- (empat belas juta dua ratus ribu rupiah);
2)    Biaya pemakaman, lumpsum sebesar Rp2.000.000,- (dua juta rupiah); dan
3)    Santunan berkala dibayarkan sebesar Rp200.000,- (dua ratus ribu rupiah) per-bulan selama 24 (dua puluh empat) bulan, atau -jika- dibayarkan di muka sekaligus sebesar Rp4.800.000,- (empat juta delapan ratus ribu rupiah) atas pilihan -dari (para) ahli warisnya- (vide Pasal 12 dan Pasal 13 UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau UU Jamsostek jo Pasal 22 PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah diubah terakhir dengan PP No. 53 Tahun 2012 atau disebut PP Penyelenggaraan Jamsostek).
*Keterangan: Hak JK ini, merupakan kewajiban PT Jamsostek jika tenaga kerja diikut-sertakan dalam program jamsostek. Akan tetapi, manakala pengusaha tidak mengikutkan tenaga kerjanya pada program jamsostek, maka merupakan tanggung-jawab (dan kewajiban) perusahaan memenuhinya (vide Pasal 17 dan 18 ayat (3) UU Jamsostek)
c.    jaminan hari tua (JHT)* yang jumlahnya merupakan akumulasi iuran selama masa kepesertaan dan pengembangannya.
*Keterangan: JHT ini -pada prinsipnya- juga dibayarkan -oleh PT. Jamsostek- kepada ahli waris. Dalam hal tenaga kerja tidak diikutsertakan dalam program jamsostek (termasuk jika diikutsertakan, akan tetapi terputus-putus), maka JHT (atau selisihnya) merupakan kewajiban dan tanggung-jawab pengusaha untuk membayar yang besaran nilainya sesuai jumlah kewajiban yang seharusnya diperoleh dari PT. Jamsostek (vide Pasal 6 ayat [1] huruf c dan Pasal 14 ayat [2] jo Pasal 17 dan 18 ayat (3) UU Jamsostek jo Pasal 24 ayat [1] PP Penyelenggaraan Jamsostek jo PP No. 1 Tahun 2009);
Selain itu, ada kemungkinan juga timbul hak dari perjanjian atau persetujuan -para pihak, yang merupakan kesepakatan dan/atau dituangkan dalam perjanjian kerja dan/atau dalam peraturan perusahaan/perjanjian kerja bersama sehingga mengikat para pihak mematuhinya (pacta sun servanda) dan menjadi hak –ahliwaris- mendiang (vide Pasal 1338 dan Pasal 1320 jo Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau KUH Perdata).
2. Pihak-pihak yang berhak sebagai ahli waris dari -seorang- karyawan yang meninggal dunia, pada prinsipnya sangat tergantung dari hukum waris apa yang berlaku -dan hukum waris mana yang diterapkan- bagi si Pewaris. Hukum yang diterapkan, menentukan kepada siapa warisan diberikan dan bagaimana (para) ahli waris menerima pembagiannya, serta berapa hak / bagiannya masing-masing.
Sebagaimana informasi yang Saudara sampaikan, bahwa ada 3 (tiga) pihak yang mempunyai hubungan –langsung maupun tidak langsung– dengan mendiang, masing-masing, isteri (sah) dan -kedua- orang tua kandung, serta “anak adopsi”. Terkait dengan persoalan, pihak mana yang berhak atau kepada siapa harta warisan diberikan? Dapat kami jelaskan, sebagai berikut :
a)    Seperti kata Saudara, bahwa mendiang -sudah- menikah sah di Gereja dan telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil, maka asumsi saya hukum yang diterapkan dan berlaku bagi ahli warisnya adalah Hukum Waris Perdata Barat sebagaimana tercantum dalam Pasal 830 s.d. Pasal 1130 KUH Perdata.
b)    Kemudian menurut Saudara, -secara de-facto- isterinya telah diceraikan tanpa putusan pengadilan (yang kata Saudara, hanya dilakukan secara adat) dan selanjutnya berpisah selama sembilan tahun. Terkait dengan hal tersebut, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perceraian (hidup) hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan. Dan pernyataan terjadinya perceraian, baru -sah- terhitung pada saat dinyatakan di depan Sidang Pengadilan. Dengan demikian, apabila perceraian tersebut tanpa -dan belum ada- putusan pengadilan (yang berwenang) dan -seperti kata Saudara- hanya “bercerai secara adat” -yang sudah- selama 9 (sembilan) tahun, menurut hemat saya belumlah sah untuk dikatakan bahwa telah “terjadi perceraian” dan -tentu- belum mempunyai akibat -secara- hukum.
Oleh karena perceraian belum dilakukan secara resmi hingga meninggalnya salah satu pihak, maka hakikatnya belum pernah terjadi perceraian secara sah dan belum mempunyai akibat hukum atas perpisahan tersebut. Dalam pengertian, walaupun mereka secara de facto telah berpisah, namun karena de jure belum ada putusan Pengadilan, maka (secara hukum) mereka adalah masih -sah- sebagai suami isteri.
Dengan demikian, menurut hemat saya, isteri mendiang masih berhak sebagai ahli waris -atas warisan- mendiang suaminya sebagai karyawan dari perusahaan dan/atau dari PT. Jamsostek.
c)    Selanjutnya Saudara mengatakan, ada orang tua kandung dari -mendiang-. Namun dalam sistem Hukum Waris Perdata Barat, berdasarkan Pasal 852 s.d.Pasal 856 KUH Perdata orang tua -kandung- adalah ahli waris golongan kedua, yang hanya berhak -tampil- menjadi ahli waris jika tidak ada sama sekali ahli waris golongan pertama (suami/isteri dan/atau anak sah). Karena isteri mendiang (sebagai ahli waris golongan pertama) masih ada, maka orang tua tentunya tidak berhak (tampil) mewaris (Pasal 852 jo Pasal 852a KUH Perdata).
d)    Kemudian status anak angkat (anak adopsi) yang kata Saudara secara hukum tidak dapat dibuktikan dengan surat -penetapan- adopsi anak dari pengadilan (yang berwenang), maka dengan demikian, menurut hemat saya legal standing-nya sangat lemah. Derajat dan haknya anak adopsi sebagai ahli waris hanya -dapat- dipersamakan seperti anak sah -jika telah ditempuh proses adopsi secara sah- (vide Pasal 20 jo Pasal 1 angka 2 dan Pasal 2 PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 jo Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak).
Disamping ketentuan Hukum Waris tersebut di atas, pemberian hak waris kepada ahli waris, diatur juga dalam peraturan perundang-undangan mengenai jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), khususnya dalam Pasal 22 PP No. 53 Tahun 2012 jo PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Jamsostek. Walau demikian, menurut hemat saya ketentuan tersebut sangat lemah, karena tidak memperhatikan asas-asas dan prinsip hukum waris, khususnya ketentuan dan peraturan perundang-undangan mengenai sistem hukum waris yang berlaku dan diterapkan di Indonesia. Kalaupun harus diberlakukan, maka tentu hanya hak-hak tenaga kerja yang berasal (diperoleh) dari Jamsostek -khususnya- hak atas jaminan kematian dan jaminan hari tua yang dapat dibagi menurut ketentuan Pasal 22 PP Nomor 53 Tahun 2012 dimaksud.
Demikian jawaban saya, mudah-mudahan dapat dimengerti.
Dasar hukum:

Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt523c2c25156d1/hak-hak-karyawan-yang-meninggal-%28uang-duka,-jaminan-kematian,-dll%29

Apakah Pekerja Tetap Dibayar Jika Izin Periksa Kehamilan?

http://images.hukumonline.com/frontend/lt506aec66ed27e/lt506bc9aa28ce7.jpg
Letezia Tobing, S.H.
 
Perlu Anda ketahui bahwa berdasarkan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
Akan tetapi atas ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya (Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan), yaitu pengusaha tetap wajib membayar upah jika:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c.   pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f.     pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i.     pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Yang dimaksud dengan hak istirahat dalam Pasal 93 ayat (2) huruf g UU Ketenagakerjaan dapat dilihat dalam Pasal 79 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yaitu:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c.   cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Dilihat dari uraian di atas, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa pemeriksaan kehamilan ketika jam kerja dan disertai surat keterangan berobat termasuk izin yang masih dibayar.
Jadi, secara normatif, tidak ada keharusan bagi pengusaha untuk membayar jam kerja yang digunakan untuk memeriksa kehamilan. Atas jam kerja tersebut, pengusaha dapat tidak membayar upah pekerja.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pengusaha dapat memberikan izin bagi pegawai untuk memeriksa kehamilan pada jam kerja. Ini tergantung kebijakan masing-masing perusahaan. Perusahaan juga dapat menetapkan sendiri kebijakan yang berlaku di perusahaan tersebut ke dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja bersama selama kebijakan perusahaan tersebut tidak mengatur kurang dari yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:

Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5254e31604fb8/apakah-pekerja-tetap-dibayar-jika-izin-periksa-kehamilan?

Tuesday, July 16, 2013

Ketentuan THR Karyawan yang Mengundurkan Diri

Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain, demikian yang disebut dalam Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).
 
Menurut Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994,pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Anda mengatakan bahwa Anda telah bekerja di perusahaan tersebut selama selama lebih dari 1 (satu) tahun. Dengan demikian, Anda sebagai pekerja memang berhak mendapatkan THR.
 
Untuk mengetahui besaran THR yang berhak Anda dapatkan, maka kita berpedoman pada Pasal 3 Permenaker 4/1994:
 
(1) Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
(2) Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.
(3) Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja (KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.
 
Anda mengatakan bahwa Anda sudah bekerja lebih dari satu tahun, artinya masa kerja Anda sudah lebih dari 12 bulan. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, besarnya THR yang Anda terima adalah penuh sebesar satu bulan upah.
 
Kemudian, kami akan berfokus pada poin pertanyaan Anda lainnya yaitu tentang bagaimana pembayaran THR jika pekerja berniat resign (mengundurkan diri) 10 (sepuluh) hari sebelum hari raya. Untuk menjawab ini, kami mengacu pada Pasal 6 ayat (1) Permenaker 4/1994:
 
“Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak waktu 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR.”
 
Kemudian, berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Permenaker 4/1994,ketentuan pada Pasal 6 ayat (1) tersebut tidak berlaku bagi pekerja dalamhubungan kerja untuk waktu tertentu yang hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan.
 
Anda mengatakan bahwa pekerja dalam pertanyaan Anda mengundurkan diri 10 hari sebelum hari raya, jadi lama waktu tersebut masih berada dalam jangka waktu yang ditentukan Permenaker 4/1994 sehingga ia berhak atas THR.
 
Hal lain yang disampaikan dalam pertanyaan Anda adalah pekerja tersebut merupakan pekerja tetap. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) Permenaker 4/1994 berlaku baginya sehingga ia berhak mendapatkan THR dan THR yang didapatnya itu sebesar satu bulan upah sebagaimana yang telah kami jelaskan tadi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
3.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan 

Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51dd09c59209b/ketentuan-thr-karyawan-yang-mengundurkan-diri

Wednesday, June 12, 2013

Dasar Perhitungan Besaran Tunjangan Hari Raya (THR)

Pada dasarnya, pengaturan mengenai pekerja secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Namun, menjawab pertanyaan Anda, ketentuan mengenai Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR”) secara khusus tidak diatur di dalam UU, melainkan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan (“Permenaker 4/1994”).
 
Tunjangan Hari Raya Keagamaan adalah pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 huruf d Permenaker 4/1994.
 
Menurut Pasal 2 ayat (1) Permenaker 4/1994, pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih. Anda mengatakan bahwa Anda telah bekerja di perusahaan tersebut selama 1,3 tahun. Dengan demikian, Anda sebagai pekerja memang berhak mendapatkan THR.
 
Untuk mengetahui besaran THR, maka kita berpedoman pada Pasal 3 Permenaker 4/1994:
 
(1) Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b.    Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja yakni dengan perhitungan: Masa kerja x 1 (satu) bulan upah.
(2) Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah upah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.
(3) Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja (KK), atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.
 
Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa yang menjadi acuan dalam menentukan besaran THR, maka dengan mengacu pada pasal di atas, besaran THR itu disesuaikan atau didasarkan pada masa kerja Anda pada perusahaan tersebut. Anda mengatakan bahwa Anda sudah bekerja selama 1,3 tahun, artinya masa kerja Anda sudah lebih dari 12 bulan. Jadi, besarnya THR yang Anda terima adalah sebesar satu bulan upah.
 
Kemudian, kami kurang memahami apa yang Anda maksud dengan THR yang didapat tidak sesuai dengan perhitungan Anda. Jika yang Anda maksud adalah terjadi perselisihan hak yang timbul antara Anda dan pengusaha, maka hal yang dapat Anda tempuh adalah dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan antara Anda dengan pengusaha.
 
Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”), perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaanpelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
THR merupakan hak Anda sebagai pekerja. Jadi, apabila terjadi perselisihan mengenai hal ni dan penyelesaian secara kekeluargaan antara Anda dan pengusaha tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh seorangatau lebih mediator yang netral (lihat Pasal 1 angka 11 UU PPHI). Penjelasan lebih lanjut mengenai mediasi hubungan industrial dapat Anda simak dalam artikel Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1). Jika mediasi masih gagal, Anda bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI.
 
Kemudian, jika pengusaha tempat Anda bekerja tidak memberikan THR kepada Anda, maka berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Permenaker 4/1994, hal tersebut merupakan pelanggaran dan pengusaha dapat diancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan Pasal 17 Undang-Undang No.14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
4.    Peraturan Menteri Tenaga Kerja No PER-04/MEN/1994 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan

Friday, May 3, 2013

Akibat Hukum Jika Perusahaan Tidak Membuatkan Perjanjian Kerja

“tidak melakukan perjanjian kerja terhadap karyawan” adalah tidak adanya perjanjian kerja yang tertulis antara pekerja dengan perusahaan.
 
Pada dasarnya, perjanjian kerja tidak harus dilakukan secara tertulis. Berdasarkan Pasal 50 jo. Pasal 51 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, yang mana perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan. Akan tetapi, terdapat pengecualian dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PKWT”). Dalam Pasal 57 UU Ketenagakerjaan ditegaskan bahwa PKWT harus dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. PKWT yang dibuat tidak tertulis dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu (“PKWTT”).
 
Selain itu, dalam hal perusahaan tidak membuat perjanjian kerja secara tertulis (PKWTT) dengan pekerjanya, maka pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan (Pasal 63 UU Ketenagakerjaan).
 
Surat pengangkatan tersebut sekurang-kurangnya memuat keterangan:
a.    nama dan alamat pekerja/buruh;
b.    tanggal mulai bekerja;
c.    jenis pekerjaan; dan
d.    besarnya upah.
 
Jadi, dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu, memang tidak harus dilakukan dengan perjanjian kerja tertulis, akan tetapi perusahaan wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerjanya.
 
Kami asumsikan yang Anda maksud “legal di perusahaan” adalah legal officer. Mengenai lingkup pekerjaan seorang legal officer di perusahaan, telah kami bahas di dalam artikel Tugas Legal Officer. Di dalam artikel tersebut dijelaskan antara lain sebagai berikut:
 
Lingkup pekerjaan seorang legal officer atau staf hukum perusahaan akan bergantung pada kebijakan masing-masing perusahaan dan akan disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan perusahaan tersebut.
 
Jimmy Joses Sembiring, S.H., M.Hum. dalam buku “Legal Officer, Panduan Mengelola Perizinan, Dokumen, HaKI, Ketenagakerjaan dan Masalah Hukum di Perusahaan” (hal. 1) menjelaskan bahwa posisi legal officer dalam suatu perusahaan tidak hanya mengurus masalah internal perusahaan, tapi juga mengurus masalah eksternal perusahaan.
 
Lebih lanjut, Jimmy Joses menjelaskan bahwa tugas seorang legal officer untuk perusahaan yang berskala besar dapat dibagi menjadi beberapa bagian, seperti legal officer yang bertugas menangani dokumen dan perizinan atau legal officer yang bertugas menangani permasalahan hukum, baik untuk masalah perdata maupun pidana. Namun, di perusahaan skala menengah, legal officer menangani semua hal termasuk dokumen dan permasalahan hukum.
 
Selain tugas-tugas tersebut di atas, legal officer juga berwenang melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkaitan dengan operasional perusahaan (Jimmy Joses Sembiring, hal. 4).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
Setiap artikel dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Dapatkah Jadi Karyawan Tetap Tanpa Masa Percobaan?

Dasar hukum mengenai masa percobaan dapat ditemui dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
 
Perlu diketahui bahwa masa percobaan hanya dapat diberlakukan pada pekerja dengan perjanjian kerja dengan waktu tidak tertentu (“PKWTT”) dan tidak dapat diterapkan pada perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”). Demikian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 58 UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:
 
(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.
(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi hukum.
 
Masa percobaan dalam PKWTT bukanlah hal yang wajib diterapkan dalam suatu perusahaan pada saat menerima pekerja baru. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan:
 
“Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan.”
 
Kata-kata “dapat mensyaratkan” tersebut berarti perusahaan boleh menerapkan ketentuan masa percobaan (maksimal 3 bulan) dan dapat juga tidak menerapkan ketentuan masa percobaan bagi pekerja baru dengan PKWTT. Dengan demikian, perusahaan dapat menerapkan PKWTT tanpa mensyaratkan masa percobaan bagi pekerjanya. Artinya, si pekerja dapat langsung menjadi pegawai tetap/permanen (PKWTT).
 
Lebih lanjut, dalam penjelasan Pasal 60 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dikatakan bahwa apabila perusahaan mensyaratkan masa percobaan, maka syarat masa percobaan tersebut harus dicantumkan dalam perjanjian kerja (PKWTT). Jika tidak ada perjanjian kerja dalam bentuk tertulis, maka perusahaan harus memberitahukan syarat masa percobaan kepada pekerja dan mencantumkannya dalam surat pengangkatan.
 
Jika perusahaan tidak mencantumkan syarat masa percobaan dalam perjanjian kerja (PKWTT) atau surat pengangkatan, maka ketentuan masa percobaan kerja dianggap tidak ada. Dengan dianggap tidak adanya ketentuan masa percobaan, maka pekerja tersebut secara langsung menjadi pekerja tetap pada perusahaan.
 
Pekerja yang bekerja dalam masa percobaan, tetap berhak atas upah di atas upah minimum yang berlaku (Pasal 60 ayat [2] jo. Pasal 90 ayat [1] UU Ketenagakerjaan). Jika perusahaan memberikan upah di bawah upah minimum yang berlaku, maka perusahaan dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta (Pasal 185 ayat [1] jo. Pasal 90 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
 
Jadi, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk menerapkan ketentuan masa percobaan (maksimal 3 bulan) bagi pekerja dengan PKWTT sebelum menerima pekerja tersebut sebagai pekerja tetap di perusahaan. Akan tetapi, pada umumnya perusahaan menerapkan masa percobaan untuk melihat apakah kemampuan pekerja tersebut memenuhi standar perusahaan.
 
Apabila pekerja tersebut tidak memenuhi standar yang dibutuhkan perusahaan, maka apabila masa percobaan selesai dan perusahaan tidak mau mempekerjakan pekerja tersebut lebih lanjut, perusahaan berhak mengakhiri PKWTT pekerja tersebut. Dalam hal ini perusahaan tidak diwajibkan memberikan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Kewajiban membayar uang pesangon sebagaimana diatur Pasal 156 UU Ketenagakerjaan hanya berlaku untuk pemutusan hubungan kerja dengan pekerja tetap (PKWTT).
 
Selain itu, pemutusan hubungan kerja dengan pekerja yang masih berada dalam masa percobaan juga tidak memerlukan penetapan dari dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 154 UU Ketenagakerjaan) sehingga tidak merepotkan bagi perusahaan.
 
Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Penghitungan Masa Kerja Pekerja PKWTT/Permanen.
 
Dasar Hukum:
Setiap artikel dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Thursday, May 2, 2013

Bolehkah Atasan Mengatakan 'Anda Saya Pecat!'?

Sebenarnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Akan tetapi, jika ada pengusaha yang mengatakan demikian, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”).
 
Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
 
Pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang. Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih lanjut apa alasannya sehingga atasan Anda mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja yang bersangkutan. Jika ungkapan tersebut disebabkan pekerja dianggap tidak menjalankan perintah atasan, maka pengusaha dapat menjatuhkan sanksi kepada pekerja sebagaimana tertuang dalam peraturan perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) dan atau perjanjian kerja bersama (PKB). Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembinaan, skorsing atau bahkan PHK (simak juga artikel Dalil PHK yang mengada-ada).
 
Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja karena alasan antara lain:
a.    pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b.    pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.    pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d.    pekerja/buruh menikah;
e.    pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f.     pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g.    pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h.    pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i.      karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j.     pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
 
Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
 
Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, baik pihak pengusaha maupun pekerja malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK. Jika segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Apabila perundingan tidak menghasilkan persetujuan juga, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
 
Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat untuk melakukan PHK yaitu, “bahwa pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.” Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini silakan simak artikel Sanksi Berurutan.
 
Jadi, jelas bahwa pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja hanya dengan mengatakan “anda saya pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yaitu pengadilan hubungan industrial (“PHI”) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”). Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pengusaha mengatakan “Anda saya pecat!” kepada pekerja, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi PHK.
 
2.    Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Karena itu, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pengusaha yang melakukan hal tersebut.
 
Apabila PHK yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
 
3.    Jika pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang, maka langkah yang dapat ditempuh adalah melaporkan tindakan pengusaha kepada instansi ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota karena merupakan pengawas ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
 
Apabila tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke PHI sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 2/2004.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Putusan:

Setiap artikel dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

Bolehkah Memotong Upah Pekerja yang Di-Skorsing?

Tindakan skorsing dikenal UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dalam hal pekerja/buruh (karyawan) sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja (lihat Pasal 155 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
 
Pada dasarnya, hak pekerja/buruh untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus (Pasal 2 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah).
 
Pekerja yang dikenakan skorsing oleh pengusaha tetap berhak menerima upah. Dasar hukumnya adalah ketentuan Pasal 93 ayat (1) jo ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan yang pada intinya menyatakan bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja/buruh yang bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.
 
Jadi, walaupun pekerja tidak melakukan pekerjaan karena menjalani hukuman skorsing, tetapi pengusaha tetap wajib untuk membayarkan upah pekerja tersebut. Penjelasan lebih detail mengenai komponen upah yang diterima pekerja selama masa skorsing, Anda dapat simak dalam artikel Upah Selama Masa Skorsing.
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Setiap artikel dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.