Letezia Tobing, S.H.
Perlu Anda ketahui bahwa berdasarkan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.
Akan tetapi atas ketentuan tersebut terdapat pengecualiannya (Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan), yaitu pengusaha tetap wajib membayar upah jika:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh
tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan,
mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran
kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau
mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh
bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha
tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan
yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Yang dimaksud dengan hak istirahat dalam Pasal 93 ayat (2) huruf g UU Ketenagakerjaan dapat dilihat dalam Pasal 79 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yaitu:
a. istirahat
antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja;
b. istirahat
mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti
tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan
secara terus menerus; dan
d. istirahat
panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun
ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh
yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada
perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak
berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan
selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
Dilihat
dari uraian di atas, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa
pemeriksaan kehamilan ketika jam kerja dan disertai surat keterangan
berobat termasuk izin yang masih dibayar.
Jadi, secara normatif,
tidak ada keharusan bagi pengusaha untuk membayar jam kerja yang
digunakan untuk memeriksa kehamilan. Atas jam kerja tersebut, pengusaha
dapat tidak membayar upah pekerja.
Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa pengusaha dapat memberikan izin
bagi pegawai untuk memeriksa kehamilan pada jam kerja. Ini tergantung
kebijakan masing-masing perusahaan. Perusahaan juga dapat menetapkan sendiri kebijakan yang berlaku di perusahaan tersebut ke dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja bersama
selama kebijakan perusahaan tersebut tidak mengatur kurang dari yang
telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Sumber :
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5254e31604fb8/apakah-pekerja-tetap-dibayar-jika-izin-periksa-kehamilan?
No comments:
Post a Comment