Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pemutusan
hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
pekerja/buruh dan pengusaha.
Pengusaha
tidak dapat mem-PHK pekerja secara sembarangan tanpa alasan yang
dibenarkan undang-undang. Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih lanjut
apa alasannya sehingga atasan Anda mengatakan “Anda saya pecat!” kepada
pekerja yang bersangkutan. Jika ungkapan tersebut disebabkan pekerja
dianggap tidak menjalankan perintah atasan, maka pengusaha dapat
menjatuhkan sanksi kepada pekerja sebagaimana tertuang dalam peraturan
perusahaan (PP), perjanjian kerja (PK) dan atau perjanjian kerja bersama
(PKB). Umumnya, sanksi itu berupa teguran lisan, teguran tertulis,
pembinaan, skorsing atau bahkan PHK (simak juga artikel Dalil PHK yang mengada-ada).
Dalam hal PHK, menurut Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja karena alasan antara lain:
a. pekerja/buruh
berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh
berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap
negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh
mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
g. pekerja/buruh
mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha,
atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh
yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena
perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan,
jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh
dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka
waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Jika pengusaha
mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan
undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, baik pihak pengusaha maupun pekerja malah diharuskan
dengan segala upaya agar jangan sampai terjadi PHK. Jika segala upaya
telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak terhindarkan maka maksud PHK
harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja (Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Apabila perundingan tidak menghasilkan persetujuan juga, maka pengusaha
hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).
Selain itu, dalam dalam Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diatur juga syarat untuk melakukan PHK yaitu, “bahwa
pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama,
kedua, dan ketiga secara berturut-turut.” Penjelasan selengkapnya mengenai hal ini silakan simak artikel Sanksi Berurutan.
Jadi,
jelas bahwa pengusaha tidak dapat mem-PHK pekerja hanya dengan
mengatakan “anda saya pecat!”. PHK hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, yaitu pengadilan hubungan industrial (“PHI”) yang diatur
dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(“UU 2/2004”). Sebelum mem-PHK pekerja, pengusaha juga sebelumnya telah
memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga kepada pekerja
yang bersangkutan. Dengan demikian, jika pengusaha mengatakan “Anda saya
pecat!” kepada pekerja, tidak serta merta saat itu juga secara hukum terjadi PHK.
2. Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, tidak ada ketentuan yang melarang pengusaha untuk berkata “Anda saya pecat!” atau yang senada dengan itu. Karena itu, tidak ada sanksi pidana maupun sanksi administratif yang dapat dikenakan terhadap pengusaha yang melakukan hal tersebut.
Apabila
PHK yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat [1] UU Ketenagakerjaan).
3. Jika
pengusaha melakukan PHK secara sewenang-wenang, maka langkah yang dapat
ditempuh adalah melaporkan tindakan pengusaha kepada instansi
ketenagakerjaan di tingkat kabupaten/kota karena merupakan pengawas
ketenagakerjaan berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Apabila
tidak menemukan penyelesaian yang baik, barulah kemudian Anda dapat
menempuh langkah dengan memperkarakan PHK yang sewenang-wenang ke PHI
sebagaimana diatur dalam ketentuan UU 2/2004.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Setiap artikel dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.
No comments:
Post a Comment