ads ads ads ads

Friday, May 24, 2013

Mendisain struktur organisasi (organization design)


Ketika memulai disain struktur organisasi, ada beberapa elemen yang mesti didefinisikan dengan jelas terlebih dahulu. Keberadaan elemen ini penting bagi struktur organisasi yang baik, karena bila tidak bisa dijelaskan secara detil, akan mengganggu prinsip-prinsip dasar struktur organisasi seperti yang sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya.
Adapun elemen tersebut adalah :
  •  Kejelasan Amanat (Clarity of Mandate)
  •  Kesatuan Tujuan (Unity of Purpose)
  •  Kejelasan Hubungan (Clarity of Relationship)
Kejelasan amanat (clarity of mandate) merupakan elemen penting struktur organisasi. Segala bentuk sasaran, aktifitas, maupun output yang diharapkan dari komponen organisasi harus terdefinisikan dengan jelas, dan juga mesti memiliki pembedaan (differensiasi) dengan yang lain baik itu di dalam suatu divisi, cabang maupun departemen. Aktifitas dan output dari komponen organisasi harus dengan mudah dapat dikaitkan dengan sasaran organisasi. Bila belum ada definisi dan pembedaan jelas dari komponen organisasi, dapat dikatakan bahwa elemen struktur belum memenuhi kejelasan amanat (clarity of mandate).
Keberadaan amanat yang jelas di dalam struktur, akan memenuhi syarat dari pembuatan disain struktur organisasi sehingga terjadi keterkaitan antara visi, misi organisasi yang diwujudkan dalam bentuk formal struktur organisasi.
Kesatuan tujuan (unity of purpose), adanya kesatuan menjamin bahwa semua komponen organisasi mulai dari unit terkecil sampai unit yang lebih besar (dapat dilihat dari besarnya populasi posisi, anggaran dll) telah bekerja untuk mencapai sasaran bersama, dan semua komponen bekerja untuk mencapai kinerja yang terkait dengan sasaran unit yang lebih besar. Artinya, relasi dan hubungan kinerja antar komponen sudah terjalin dengan harmonis, dan bentuk dukungan muncul dari unit terkecil sampai unit terbesar.
Kejelasan hubungan (clarity of relationship) memberikan jaminan bahwa setiap hubungan yang terjadi (koordinasi, informasi, instruksi, konsultasi) antara unit organisasi yang besar dengan unit organisasi yang lebih kecil memiliki kejelasan, baik bersifat horizontal maupun vertikal. Selain itu, juga memberikan relasi hubungan bagaimana unit organisasi menjalin internal stakeholder (departemen yang lain, cabang yang lain) dan external stakeholder (pelanggan, vendor, supplier, masyarakat).

Membangun struktur organisasi dalam bisnis baru


Ketika  merencanakan suatu bisnis atau peluang usaha baru, seringkali berkutat pada bagaimana visi, misi atau struktur yang paling tepat. Bisa jadi usaha belum jalan, namun sudah terlalu memikirkan strategi manajemen yang kompleks dalam perencanaan usaha baru tersebut. Walhasil, bukannya usaha tersebut jalan, malah terjebak pada analisa perhitungan yang kompleks, disain organisasi birokratis dan akhirnyapun bisa ditebak, usaha yang direncanakan berjalan mandeg.

Padahal, bila ingin memulai suatu usaha atau bisnis baru, yang terpenting bukanlah struktur, visi/misi, analisa kekuatan pasar, market intelligence, ROI. B/C Ratio , dll. Yang penting adalah rencana bisnis itu jalan dulu, dengan rencana yang tepat dan sesuai kondisi ada. Artinya yang menjadi perhatian adalah agar usaha produk atau jasa yang diberikan harus bisa laku / terjual di pasar. Itulah yang utama. Dalam arti lain, harus mengetahui komponen atau bagian yang diperlukan oleh perusahaan baru ini, agar produk atau jasa yang diberikan bisa laku di pasaran.

Lantas, bagian atau komponen apa yang mesti diperhatikan bagi pemula bisnis baru? Berikut adalah komponen organisasi harus menjadi perhatian utama :

Pertama : bagian yang menghasilkan uang. Ini adalah bagian yang terkait dengan produksi, pemasaran/maupun penjualan produk atau jasa yang diberikan. Seringkali usaha/bisnis baru bangkrut karena bagian pemasaran atau penjualannya lemah. Tugas bagian ini adalah melakukan riset peluang pasar , mencari klien yang prospektif, menentukan lokasi penjualan, sampai mendapatkan klien yang mau membeli produk/jasa yang diberikan. Dibagian ini termasuk juga unit produksi, jika memang produk yang diberikan merupakan produksi sendiri. Disatukan dalam satu bagian, agar produksi dapat mengerti jika permintaan pasar/penjualan meningkat, dapat mengetahui cara meningkatkan produksi yang efektif dan efisien.

Kedua : bagian pendukung. Ini adalah bagian yang mengelola administrasi, penagihan ke klien, pembuatan dokumen penagihan, pengaturan kas keuangan, pembayaran gaji. Termasuk hal-hal lainnya seperti pengurusan perijinan, perpajakan dll. Semua hal yang tidak terkait pada bagian pertama diatas, dimasukkan ke dalam bagian ini.

Masing-masing bagian tersebut, cukup dipimpin oleh satu orang. Sedangkan jumlah orang di masing-masing bagian, tergantung besarnya kapasitas produksi, luasnya pemasaran dan kompleksitas administrasi. Sebagai patokan, jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk membayar bagian pendukung lebih besar daripada bagian yang menghasilkan uang.

Untuk merangkai ke dua bagian tersebut, maka diperlukan struktur organisasi yang tepat. Posisi di masing-masing bagian dibuat fleksibel, dimana tidak perlu ada pemisahan antara pemasaran dan penjualan dahulu, kemudian perlu ada posisi yang serba bisa dan generalis, sehingga memudahkan bila ada tugas-tugas yang sifatnya temporer. Uraian pekerjaan cukup dibuat sesederhana mungkin, yang hanya memuat tanggungjawab utama, serta sasaran yang harus dicapai.

Dengan demikian, perusahaan baru sebaiknya cukup memfokuskan diri pada dua fungsi dasar diatas. Sejalan dengan perkembangan, pertumbuhan dan perluasan kapasitas, jika dirasa perlu dapat melakukan reorganisasi dan restrukturisasi agar tercapai tujuan perusahaan. Hendaknya diingat, bahwa yang menentukan pertumbuhan perusahaan kecil/baru tetap bertahap dan survive adalah adaptibilitas serta fleksibilitas organisasinya. Karena itu, pertahankan agar struktur organisasi tetap fleksibel, dapat beradaptasi, serta mampu mendukung perubahan yang ada.

Thursday, May 23, 2013

Survei: 41% Karyawan Mengalami Change Fatigue


PENINGKATAN performance seorang karyawan adalah dambaan semua perusahaan. Kinerja karyawan yang mampu mendongkrak revenue perusahaan menjadi salah satu kebutuhan organisasi. Namun apakah semudah itu karyawan memberikan loyalitasnya untuk perusahaan, sementara tekanan juga terus datang?
Seiring perubahan perekonomian ditambah penyakit kronis yang saat ini bermunculan, seperti Change Fatigue yang kerap menimpa organisasi, membuat beberapa karyawan mengalami dilema dalam bekerja. Dalam sebuah survey yang dirilis Towers watson mengenai dampak dari penyakit kronis bernama Change Fatigue didapatkan hasil yang miris, diantaranya:
• 41% Employee kecapekan dengan perubahan yang terjadi.
• 35% memilih tetap stay because they think have to, tidak ada pilihan.
Untuk itu, dengan melibatkan 30 partisipan dari berbagai negara, Towers Watson melakukan penelitian Global Talent dan Reward mengenai strategi apa yang efektif untuk diterapkan dalam perusahaan sehingga karyawan merasa dihargai dan kembali produktif walau pressure mengancam dan sekaligus dapat meningkatkan pendapatan perusahaan. Dari survey itu, ada beberapa solusi yang umumnya sudah diterapkan di organisasi, seperti peningkatan gaji, bonus dan jenjang karir. Masalahnya, perusahaan merasa tidak cukup mampu untuk memberikan semuareward karena dana yang tidak tersedia.
Menurut Jennifer Frei, Asia Pasific Practise Director, sales Effectiveness & Reward Towers Watson, perusahaan dapat menerapkan korelasi yang baik antara departemen HR dengan Marketing selaku kepala yang memimpin langsung penjualan produk perusahaan. “Sales pun akan bekerja sebaik mungkin bila culture di dalam perusahaan mampu mendongkrak produktifitasnya,” kata Jennifer.
Jennifer menegaskan, salah satu best principle-nya adalah “measures should drive focus and carry a meaningful reward for performance,” karena ambang batas dari kinerja sales berbeda-beda setiap industri. “Untuk beberapa industri misalnya, aktifitas distribusi kadang tidak sejalalan dengan prakteknya, hal ini mengakibatkan bisnis atau peningkatan penjualan terganggu dan otomatis kinerja sales meningkat,” imbuhnya.
Faktor-faktor dominan dalam organisasi dapat mengukur performa terbaik yang dipunyai, seperti kemampuan selling, negosiasi yang akan merangsang sales lainnya untuk mendapatkan reward, seperti komisi dalam setiap penjualan. Dan perusahaan meramunya dalam Total Reward, seperti disebutkan, Total reward is a key component of a company’s employee value proposition (EVP) and sistems directly from business strategy. Jenis-jenis intensif seperti komisi atau insentif target juga dapat menjadi alternatif perusahaan. Intinya reward-reward itu harus di-optimized antar lini agar berjalan optimal dan aplikatif.
Seminar yang berlangsung kurang lebih 120 menit ini juga memaparkan hasil riset di dunia perbankan, FMCG, General Industry, High Tech, Pharmaceuticals, Life Sciences dan Telecos. Hasilnya bermacam-macam, pengukuran key performance indicator (KPI) berbeda-beda di tiap industri. Sementara program pemberian intensif untuk menggantikan peranan kenaikan gaji atau upah karyawan kini juga sudah diterapkan perusahan-perusahaan Indonesia. Tapi pemberian insentif ini harus didukung perencanaan dan data yang kuat, bila ingin reward yang diberikan menjadi meaningfull. (@lisa)

http://www.portalhr.com/people-management/rewards/survei-41-karyawan-mengalami-change-fatigue/

Real Time Reward


Ibarat Anda melatih anak anjing , biasanya Anda akan kerap berkata “Good dog,” saat si puppymenjalankan apa yang Anda suruh, dan hal itu terus Anda lakukan sepanjang latihan. Mengapa? Karena jika Anda menunggu terlalu lama, Anda kehilangan kesempatan untuk memperkuat perilaku si puppy tadi. Prinsip ini penting untuk diingat ketika Anda sedang melatih karyawan. Mungkin aneh bila kita bandingkan kedua kasus ini, namun ada kesamaannya. Bila Anda ingin melihat kemampuan karyawan Anda, sarannya, jangan menunggu sampai review akhir tahun, sebaiknya berikan reward saat itu juga.
Mantan CEO Yahoo, Carol Bartz membuat sebuah kebiasaan untuk menghargai karyawannya, yaitu dengan merespon prestasi karyawannya secara real time atau saat itu juga. Bahkan sesuatu yang sederhana, seperti “bagus!” dalam rapat staff atau beberapa kata penghargaan lain, berkat cara itu, Bartz masuk menjadi “positive reinforcement” yang sebelumnya menjabat sebagai CEO Autodesk, perusahaan di bidang pengembangan perangkat lunak di San Rafael, CA. Perusahaan tersebut juga menjadi salah satu perusahaan pertama yang membiarkan karyawan membawa anjing mereka untuk bekerja.
Keputusan itu jelas berpengaruh kepada budaya perusahaan, apalagi trik ini belum sepenuhnya bisa diterima semua karyawan. Namun ternyata, para pekerja menjadi tidak masalah bila lembur tiba, dan menikmati hari-hari kerja dengan hewan peliharaan mereka.
Robert Vetere, seorang ahli hewan, bekerjasama dengan Dr Marty Becker dan Dr Alan Beck di Universitas Purdue mengeksplorasi ikatan antara manusia dan hewan. Selama dua dekade terakhir, telah melakukan penelitian dan menerbitkan buku “From Wags to Riches,” mereka menemukan pendekatan baru yaitu memotivasi karyawan dengan menggunakan cara yang disebut para ahli hewan dengan perubahan radikal. Di bawah ini ada 3 aturan yang bisa Anda terapkan jika memang cocok dengan gaya atau model manajemen Anda.
1. Berikan Reward 24/7
Usahakan reward diberikan kurang dari 24 jam. Menurut Vetere, ketika salah satu manajernya melakukan pekerjaan yang luar biasa, Vetere akan mengucapkan “terima kasih” dengan tidak menunggu hari berlalu, katakan secepatnya. Penghargaan yang lain, seperti makan malam di luar, hari libur tambahan atau mengirimkan kartu ucapan.
2. Peliharalah Talent Anda
Manajer sebaiknya tahu bahwa mereka dapat mengubah perilaku karyawannya melalui penguatan positif, sehingga karyawan akan bahagia jika ia dianggap mampu berkinerja tinggi.  Ketika Anda memberi umpan balik yang tepat untuk rekan kerja Anda, Anda dapat mengubah kualitas hidup mereka, juga. Selain itu, pujian, jika diberikan dengan jujur ​​dan sepenuh hati, akan menjadi feedback yang sangat baik untuk staff Anda.
3. Timbulkan Motivasi Intrinsik
Pemberian tunjangan, fasilitas, training, dll, yang menjadi bentuk motivasi ekstrinsik memang perlu dijalankan manajemen sebagai hak karyawan. Wujud penghargaan pelatih hewan juga dengan mengembangkan infrastruktur untuk memotivasi beberapa anjing, seperti bermain tarik tambang, mainan tali sampai kursus bermain lingkar tangga. Namun untuk membuat Anjing tersebut melompat indah itu bisa dilakukannya semata-mata karena motivasi intrinsik yang diberikan pelatihnya. Jadi cara efektif apa yang dilakukan untuk memotivasi intrinsik kepada karyawan? Timbulkan kesenangan untuk melakukan pekerjaan dengan baik.
Dalam dunia bisnis, motivasi intrinsik ibarat emas. Di mana cara tersebut diyakini menjadi kunci untuk meng-engage karyawan dan salah satu cara untuk memastikan orang mendapatkan kepuasan tertinggi dari pekerjaan mereka.

Friday, May 17, 2013

Menjadi HRD Manager: Haruskah Berpengalaman?

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 07 September 2002 
 
 
Setiap kali kita melihat iklan lowongan pekerjaan yang dipublikasi di berbagai media massa pada umumnya setiap jabatan mempersyaratkan kandidatnya memiliki pengalaman kerja di bidang yang sama dalam kurun waktu tertentu. Kurun waktu pengalaman kerja yang dituntut akan semakin lama manakala jabatan yang dibutuhkan adalah pada tingkat managerial (top executive). Hal tersebut juga berlaku untuk posisi di bidang SDM seperti HRD Manager. Pada umumnya untuk posisi tersebut perusahaan mempersyaratkan pengalaman kerja minimal 5 (lima) tahun pada bidang SDM. 

Dengan melihat persyaratan di atas maka tentu saja akan menutup peluang bagi kandidat yang belum pernah bekerja di bidang SDM, meskipun sang kandidat mungkin sangat kompeten sebagai manager di bidang lainnya. Namun demikian, pada prakteknya kita mungkin seringkali menjumpai bahwa banyak HRD Manager yang dipilih atau diangkat tanpa pernah memiliki pengalaman dibidangnya ternyata sukses dalam memimpin departemennya. Fenomena menempatkan orang-orang yang tidak memiliki latarbelakang bidang SDM pada posisi kunci (top executive) ternyata bukan hanya terjadi di perusahaan-perusahaan yang berskala kecil tetapi bahkan dilakukan oleh perusahaan yang sudah tergolong Fortune 100 companies.
 
Steve Bates dalam tulisannya berjudul "No Experience Necessary?" di HR Magazine yang mengutip hasil survey dari Center for Effective Organizations at the University of Southern California (USC) mengungkapkan bahwa seperempat (1/4) top eksekutif di bidang SDM pada perusahaan-perusahaan terkemuka di Amerika ternyata memulai pekerjaan mereka tanpa pernah memiliki pengalaman di bidang SDM. Hasil survey yang dilakukan HR magazine pada 53 perusahaan yang tergolong Fortune 100 yang bersedia mengungkapkan resume para top HR executive mereka, memperlihatkan bahwa ternyata 12 orang tidak pernah memiliki latarbelakang di bidang SDM. (Jurubicara dari 47 perusahaan yang lain menolak untuk memberikan resume para top HR executive mereka).
 
Tampaknya memang ada kecenderungan untuk menempatkan orang-orang dari bidang lain seperti accounting, finance atau hukum untuk menjalankan HRD. Mengapa demikian? Apakah pengalaman tidak lagi dibutuhkan?
 
Beberapa Alasan
 
Mengapa ada kecenderungan menempatkan orang-orang yang tidak berpengalaman untuk menduduki posisi top eksekutif tentu saja ada alasannya. Pertama-tama perlu dilihat bahwa fenomena tersebut dipacu oleh tekanan-tekanan yang dialami oleh para eksekutif perusahaan (top manajemen) untuk mencapai tujuan perusahaan. Tekanan-tekanan tersebut memaksa CEO untuk melakukan berbagai tindakan yang dianggap perlu. Oleh karena itu dalam pengangkatan seorang yang belum berpengalaman harus dilihat juga apakah ada agenda khusus yang harus dilakukan HRD atau ada sesuatu yang segera harus diperbaiki. Untuk memahami hal-hal tersebut kita perlu juga memahami apa yang ada dalam benak CEO. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak CEO masih menganggap bahwa HRD kurang memberikan kontribusi secara finansial kepada perusahaan. Hasil survey Center for Effective Organizations mengungkapkan bahwa 78% dari para manager percaya bahwa HRD harus menjadi mitra bersama-sama dengan top manajemen dalam usaha membentuk para para eksekutif yang tangguh. Tetapi, hanya 27% dari para manager percaya bahwa HRD mampu melaksanakan perannya tersebut. CEO seringkali menempatkan "muka baru" pada posisi HRD Manager dengan harapan akan memberikan angin segar dan perubahan yang menguntungkan perusahaan.
 
Alasan kedua adalah CEO menginginkan para top executive untuk sementara ditempatkan sebagai HRD Manager agar dapat lebih memahami fungsi HRD lebih dalam sehingga jika nantinya dia menduduki posisi yang lebih tinggi maka akan dapat lebih menghargai keberadaan HRD. Alasan lainnya adalah para pejabat yang tidak berpengalaman di HR tetapi sangat professional di bidang lain dapat mengajarkan ketrampilan-ketrampilan bisnis kepada para personil HRD dan menunjukkan kepada mereka bagaimana mereka dapat memberikan kontribusi langsung kepada usaha-usaha pencapaian tujuan perusahaan. 

Beberapa Kiat Sukses
 
Sebagai konsekuensi dari penempatan orang yang tidak berpengalaman tentu saja ada yang berhasil dan ada yang tidak. Tidak jarang beberapa pejabat mengalami masa yang sangat sulit bahkan frustrasi pada awal menjabat. Namun demikian banyak juga yang berhasil melewati masa sulit tersebut dan sukses memimpin departemennya.
 
Beberapa faktor dan kiat yang dapat membuat para HRD Manager berhasil diantaranya adalah dengan mengikuti beberapa saran berikut:
  • Bagi anda pemegang tampuk pimpinan di perusahaan, jangan pernah menunjuk seorang eksekutif yang gagal sebagai HRD Manager. Dengan kata lain janganlah posisi di bidang SDM merupakan tempat pembuangan bagi para eksekutif yang gagal di bidang lain. Jika sampai hal ini terjadi hampir dapat dipastikan akan terjadi chaos pada HRD.
  • Penempatan orang yang memiliki jiwa bisnis yang kuat akan membuat HRD mampu memainkan perannya dalam menyusun perencanaan SDM dan mengintegrasikannya ke dalam strategi bisnis perusahaan serta tidak lagi hanya berfungsi sebagai pelengkap. Seorang HRD Manager harus mampu membaca dan memahami laporan keuangan dan cash-flow serta dapat mengetahui secara pasti bagaimana program-program HRD akan berpengaruh terhadap hal tersebut.
  • Menjadi HRD Manager bukan sekedar berhasil dalam menjalankan fungsi-fungsi manajemen SDM, namun perlu juga memahami bisnis perusahaan secara menyeluruh. Termasuk disini adalah pemahaman mendalam tentang "nature of business" dan budaya perusahaan.
  • HRD Manager yang tidak berpengalaman dibidangnya hendaklah pandai-pandai dalam mengambil hati dan belajar dari orang-orang dalam yang sudah berpengalaman. Jika Anda seorang yang kebetulan dipilih sebagai HRD Manager dan menganggap bahwa Anda harus ahli dalam segala hal maka masalah akan senantiasa menyertai Anda. Agar terhindar dari masalah cobalah untuk bersikap rendah hati dan katakan kepada bawahan Anda "Saya perlu belajar dari Anda lebih banyak lagi tentang hal ini".
  • Tunjukkan penghargaan yang mendalam kepada staff atau bawahan anda yang telah mendedikasikan dirinya pada bidang SDM. Jangan pernah menganggap remeh orang-orang tersebut, sebab jika anda melakukannya maka anda akan kehilangan dukungan dari mereka.
  • Jika anda sebagai HRD Manager menghadapi bawahan yang kurang senang dengan adanya perubahan kepemimpinan (HRD Manager (anda) berasal dari bidang "non SDM"), cobalah untuk menyakinkan mereka bahwa hal ini harus dilihat dalam kerangka strategi bisnis perusahaan secara keseluruhan. Katakan juga bahwa Anda membutuhkan waktu dan bantuan mereka untuk memajukan HRD di perusahaan. 

Penutup
 
Dengan melihat semakin banyaknya tantangan yang harus dihadapi oleh HRD Manager maka dapat juga dilihat bahwa HRD bukan lagi sekedar faktor pelengkap dalam perusahaan. Setuju atau tidak HRD merupakan bagian yang penting, sama seperti finance, marketing, atau divisi lain, yang mempengaruhi aspek-aspek yang ada dalam perusahaan dalam mencapai tujuan. Sekarang tinggal bagaimana para HRD Manager mampu menjawab tantangan tersebut dan terus meningkatkan kemampuan diri bukan hanya ahli dibidang SDM tetapi juga harus memiliki kemampuan (minimal memahami) di bidang-bidang lain seperti finance, akuntansi, hukum dan IT. (jp)

EQ dalam Kepemimpinan

Oleh : Johanes Papu
 Jakarta, 19 Oktober 2002 
 
Pada masa era reformasi sekarang ini mencari seorang pemimpin yang tepat memang tidak gampang. Hal tersebut disebabkan kebanyakan suplay tenaga profesional yang tersedia cenderung kurang siap untuk menjadi pemimpin yang matang. Kebanyakan para profesional kita, kalau pun punya pendidikan sangat tinggi sayangnya tidak didukung oleh pengalaman yang cukup. Atau banyak pengalaman namun kurang didukung oleh pendidikan dan wawasan yang luas. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bagi seorang pemimpin perusahaan / organisasi memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap keharmonisan dan kinerja dari perusahaan / organisasi. 

Banyak pemimpin instant hasil kolusi dan nepotisme di perusahaan-perusahaan Indonesia yang sangat minim kesiapan namun tetap saja dipakai demi kepentingan politik perusahaan. Akibatnya, seperti banyak terlihat di negara ini, banyak pemimpin yang malah membawa perusahaannya ke arah keruntuhan dan kebangkrutan dengan menelan banyak korban material bahkan jiwa. Meskipun demikian, tetap saja mereka memperkaya diri (tanpa merasa bersalah) dengan aset-aset perusahaan bahkan pinjaman bank yang seharusnya dipakai untuk menyehatkan perusahaan. 

Fenomena apakah yang terjadi atas para pemimpin atau pun profesional kita? Apa yang kurang atau belum dimiliki oleh para pemimpin perusahaan atau pun organisasi kita sekarang ini? Apa rahasia keberhasilan para pemimpin yang sukses dalam arti sebenarnya? 

Kecerdasan Emosional
 
Ada kalimat yang sangat menarik yang dikemukakan oleh Patricia Patton, seorang konsultan profesional sekaligus penulis buku, sebagai berikut:
 
It took a heart, soul and brains to lead a people...
 
Dari kalimat tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa seorang pemimpin haruslah memiliki perasaan, keutuhan jiwa dan kemampuan intelektual. Dengan perkataan lain, "modal" yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tidak hanya intektualitas semata, namun harus didukung oleh kecerdasan emosional (emotional intelligence), komitmen pribadi dan integritas yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi berbagai tantangan. Seringkali kegagalan dialami karena secara emosional seorang pemimpin tidak mau atau tidak dapat memahami dirinya sendiri dan orang lain. Sehingga keputusan yang diambil bukanlah a heartfelt decision, yang mempertimbangkan martabat manusia dan menguntungkan perusahaan, melainkan cenderung egois, self-centered yang berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok / golongannya sehingga akibatnya adalah seperti yang dialami oleh kebanyakan perusahaan di Indonesia yang high profile but low profit ! 

Patton sekali lagi mengemukakan pendapatnya bahwa di masa kini perusahaan tidak hanya membutuhkan pemimpin yang punya kapasitas intelektual. Sebab, yang membuat sukses perusahaan atau organisasi adalah pemimpin yang bisa mendapatkan komitmen dari karyawan, konsumen serta manajemennya. Pemimpin seperti itu adalah mereka yang memahami karyawannya sepenuh hati dan sanggup memacu karyawannya memenuhi persaingan global. Singkatnya, pemimpin yang memiliki kecerdasan intelektual dan emosional. 

Tipe Kepemimpinan
Daniel Goleman, ahli di bidang EQ, melakukan penelitian tentang tipe-tipe kepemimpinan dan menemukan ada 6 (enam) tipe kepemimpinan. Penelitian itu membuktikan pengaruh dari masing-masing tipe terhadap iklim kerja perusahaan, kelompok, divisi serta prestasi keuangan perusahaan. Namun hasil penelitian itu juga menunjukkan, hasil kepemimpinan yang terbaik tidak dihasilkan dari satu macam tipe. Yang paling baik justru jika seorang pemimpin dapat mengkombinasikan beberapa tipe tersebut secara fleksibel dalam suatu waktu tertentu dan yang sesuai dengan bisnis yang sedang dijalankan 

Memang, hanya sedikit jumlah pemimpin yang memiliki enam tipe tersebut dalam diri mereka. Pada umumnya hanya memiliki 2 (dua) atau beberapa saja. Penelitian yang dilakukan terhadap para pemimpin tersebut juga menghasilkan data, bahwa pemimpin yang paling berprestasi ternyata menilai diri mereka memiliki kecerdasan emosional yang lebih rendah dari yang sebenarnya. Pada umumnya mereka menilai bahwa dirinya hanya memiliki satu atau dua kemampuan kecerdasan emosional. Namun yang paling ironi adalah pemimpin yang payah justru menilai diri mereka secara "lebih" berlebihan dengan menganggap bahwa mereka punya 4 (empat) atau lebih kemampuan kecerdasan emosional. 

Apa yang Harus Dilakukan?
Oleh karena itu, saran bagi anda yang saat ini menjadi pemimpin atau minimal memiliki bawahan cobalah untuk mempelajari seperti apa tipe kepemimpinan anda. Selain itu cobalah untuk membuka diri untuk mau mempelajari tipe-tipe kepemimpinan yang lain. Namun sebelum itu, Anda harus terlebih dahulu memahami kelebihan dan kekurangan anda sehubungan dengan gaya atau tipe kepemimpinan yang akan anda terapkan. 

Jangan menyombongkan diri dahulu bahwa Anda seorang pemimpin yang baik. Bukalah mata hati anda lebar-lebar untuk mendengarkan ide, saran, keluhan atau pun pujian dari karyawan, konsumen dan pihak manajemen, sehingga apapun keputusan yang akan anda ambil dapat dipahami oleh semua pihak dan bersifat obyektif. Lakukan juga penilaian terhadap kinerja anda sendiri, apakah penilaian terhadap diri Anda itu benar-benar obyektif ? Untuk lebih mengetahui obyektivitasnya, bertanyalah pula pada anak buah yang bukan "anak emas" anda. Ok... (jp)
 

Apa Yang Menarik Dari Pekerjaan Anda ?

Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
 Jakarta, 04 November 2008 
  
Pernahkah Anda mendapatkan pertanyaan di atas? Dalam suatu percakapan dengan rekan kerja, atau dalam wawancara? Dalam suatu wawancara baik untuk tujuan mapping potensi maupun rekrutmen, pertanyaan ini mungkin saja muncul. Beberapa mampu menjawab dengan memuaskan, yakni tepat pada substansi pertanyaan: "bertemu dengan banyak orang, kerjasama kelompok, banyak belajar hal baru, dsb"
 
Tapi di antara berjuta jawaban, yang sering terdengar justru : "saya  sih paling suka kalau pekerjaan selesai, kalau semuanya berjalan lancar, kalau pas tidak ada masalah...". Bahkan tidak sedikit yang menjawab dengan tersipu-sipu, "Ah, biasa saja, namanya juga tugas."

Perbedaan yang mencolok bukan?
 
PEKERJAAN FAVORIT
Pada kenyataannya, tidak semua orang bisa mendapatkan pekerjaan yang diidamkan in the first place. Bagi kita yang mengenyam pendidikan seperti dokter, mungkin menjadi dokter hampir pasti menjadi profesi  'wajib'.  Apabila ada di antara kita yang bergelar dokter kemudian bekerja sebagai reporter di majalah kesehatan, hanya sedikit orang yang tidak bertanya untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detil tentang "kenapa-nya". Pertanyaannnya, apakah ilmu kedokteran yang telah ditempuh selama ini menjadi sia-sia? 

Lantas, bagaimana halnya dengan jurusan-jurusan di universitas seperti Ilmu Politik, haruskah menjadi politisi saja? Atau jurusan seni tari, hanya menjadi penari saja ? 

Apa sebenarnya "definisi" pekerjaan favorit ? Singkat kata, pekerjaan favorit adalah ketika pekerjaan yang dilakukan membawa kenikmatan bagi kita. Membawa kenikmatan artinya membuat kita bisa menemukan keasyikan dalam tumpukan tugas, mampu mengangkat mutiara dari kedalaman laut dan bebatuan karang. Nah, bagaimana cara menemukannya ?

Bless in disguise

Tidak bisa dipungkiri, banyak sekali orang di negeri ini yang merasa kesulitan menikmati pekerjaannya. Faktanya, untuk diterima bekerja saja sudah sulit dengan persaingan yang begitu ketat di antara pelamar. Itu dari sisi pekerja. Dari sisi employer atau pebisnis, menciptakan dan membagikan pekerjaan juga merupakan tantangan tersendiri yang sama peliknya. Masalahnya adalah, apabila kita telah memiliki satu pekerjaan, namun tidak mampu mengenali daya tarik yang ditimbulkannya terutama bagi diri kita sendiri, bagaimana kita mengharapkan optimalitas? Bagaimana pula, orang lain, klien atau atasan bisa mengharapkan yang terbaik dari kita ?

Menemukan hal positif dalam rentetan aktivitas yang terlihat biasa, memang sesuatu yang subjektif dan butuh kesadaran usaha. Tanpa kesadaran bahwa proses pencarian ini butuh usaha, maka jangan berharap bisa menemukan apa yang ingin ditemukan. Belum lagi soal kejenuhan yang bisa hinggap di setiap orang yang bekerja apapun profesinya. Apakah keluar merupakan solusi ? mengajukan tuntutan pada "manajemen" dan pimpinan untuk lebih memperhatikan karyawan? Apakah berbisnis sendiri supaya tidak perlu lagi di komando orang tapi memberi komando...? Jawaban Ya atau Tidak di sini, tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang. Lantas, cara apa yang bisa di lakukan one for all ? Carilah makna di setiap pekerjaan kita! 

Bayangkan, kalau ada orang yang bekerja tanpa tahu kenapa dia harus mengerjakannya dan apa end product yang akan dihasilkan dari seluruh mata rantai pekerjaan itu - kondisi ini saja sudah memperbesar kemungkinan terjadinya kebosanan dan kehilangan makna.  

Dengan menemukan makna, kita bisa melihat manfaat dari pekerjaan kita, apapun kondisinya. Dan hanya kita sendiri yang bisa memaknai pekerjaan itu, bukan orang lain karena lagi-lagi ini soal persepsi adalah soal subyektif. Kalau orang lain yang disuruh memaknai pekerjaan kita, bisa-bisa tidak cocok. Karena sekali lagi, setiap orang punya kesejarahan yang berbeda. Jadi semua harus kembali pada diri sendiri, untuk menemukan apa yang dianggap bernilai, berkah yang tidak terlihat dari apapun situasi dan kesulitan yang dihadapi.  

Unik seunik diri

Banyak buku yang memotivasi orang supaya tidak selamanya menjadi pegawai, untuk segera menjadi pengusaha, untuk memiliki bisnis sendiri, memiliki waktu luang sendiri, jadi boss. Pertanyaannya, bisakah hal ini diterapkan pada semua orang ? Secara teknis, atau pun hitungan di atas kertas bisa membawa pada fakta yang berbeda dengan kenyataan di lapangan. Karena, otak manusia tidak hanya terdiri dari sel-sel kelabu yang merekam satu hingga ribuan informasi dan merekam keahlian, tapi pada otak manusia juga terdapat amygdala, bentuknya seperti biji almond, yang berfungsi mengatur proses-proses emosi dan memori. Apapun yang telah dan pernah tertanam dalam benak kita, sanggup mempengaruhi perspektif kita dalam melihat dan memaknai sesuatu.  Mungkin saja sebuah kondisi dirasa sebagai beban oleh seseorang dan dianggap training ground oleh yang lain. 

Prioritas

Sebagian dari kita mungkin lebih menikmati pekerjaan yang stabil dengan titian karir yang berirama sedang. Bagi orang-orang yang mengutamakan kestabilan dan kemapanan, biasanya cara mereka memkitang pekerjaan adalah dengan kalimat ̢۪pekerjaan itu harus ditekuni̢۪. Ditekuni dalam hal ini adalah dengan merintis dari awal, misalnya dari level marketing dua tahun, kemudian supervisi, hingga level manager, dan seterusnya di mana semua itu dirintis dalam satu perusahaan yang sama. Bisa jadi penitian karir ini juga berpindah tempat kerja, tapi masih dalam bidang yang sama Hal ini bisa jadi karena orang tersebut memandang perusahaan lain sebagai tempat 'kenaikan tingkat' nya.

Lain lagi untuk mereka yang tidak jarang dianggap 'kutu loncat'. Sebagian orang menganggap hidup adalah eksperimen. Mereka tidak segan melepas sesuatu yang dianggap mapan oleh orang lain, tapi membosankan bagi dirinya. Kalimat "apa lagi sih yang dicari?" tidak berlaku bagi mereka.

Orang-orang ini sangat mungkin tiba-tiba menjadi pengusaha dalam berbagai tingkatan dan variasi, dari keroyokan dengan rekan satu visi hingga menjadi freelancer di sana dan di sini. Kemungkinan besar, mereka juga memiliki pekerjaan lebih dari satu, tidak adanya batasan dinding kantor memungkinkan mereka untuk bergerak lebih leluasa. 

Beberapa point di atas bisa menghadirkan makna bagi orang yang mau mencari makna; namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak mampu melihat 'mutiara' di balik kerang. Contohnya mudah, bagi yang bekerja di kantor akan selalu mengeluh 'bosan, bosan dan bosan' tetapi ia telah dan tetap di kantor yang katanya membosankan itu selama bertahun-tahun lamanya.

Juga bagi yang tidak memiliki kantor tetap, siap-siap saja dengan makanan sehari-hari  'susah, susah dan susah' namun tetap berloncatan ke sana ke mari. Jangan salahkan rekan seperjuangan kalau lama-lama mereka mundur teratur karena hilang motivasi dan semangat kerja karena seringnya melihat roma frustrasi di wajah "boss"nya.

MANAJEMEN DIRI

Manajemen diri tidak pandang bulu. Apapun pijakan kita, apapun profesinya harus tetap dikenakan, di kantor dengan sistem pengawasan ketat, freelancer dengan banyak kantor hingga yang menjadi pemilik bisnis sendiri.

Bagaimana menjalankan manajemen diri ini? Buku, pelatihan dan banyak lagi sumber yang bisa menjadi inspirasi juga teman seperjalanan. Satu saran yang bisa penulis ajukan adalah dengan dengan mencocokkannya pada diri sendiri, karena pengaturan diri sangat berbeda dengan penyiksaan diri. Pengaturan diri itu dilkitasi oleh kesadaran akan tanggung jawab yang diembannnya, kesadaran atas komitmen yang telah dibuatnya, kesanggupan untuk taking care the consequences of his / her choices; serta kesadaran bahwa setiap pilihan dan tindakannya membawa pengaruh dan akibat pada orang-orang lain. Sementara, penyiksaan diri merupakan upaya represif dan opresif terhadap keinginan. Dengan menekan keinginan, maka tertekan pula aspirasi dan antusiasme kerja.  Kalau antusiasme kerja menghilang, bagaimana bisa menemukan kenikmatan di dalam kerja ?

Sense of belonging
Keasyikan dan kenikmatan kerja akan sulit muncul ketika kita disconnected dengan pekerjaan dan lingkungan kerja kita. Mungkin kita berpikir bahwa kita bisa "melarikan diri" dari lingkungan tidak mengenakkan dengan cara betul-betul berkonsentrasi pada pekerjaan. Namun, setiap orang yang bekerja, merupakan bagian dari komunitas kerja, dan pekerjaan yang ditekuni hanyalah salah satu mata rantai dari pekerjaan orang lain. Akan sangat positif dan bermanfaat, bahkan lebih bermakna jika seseorang bisa melihat bahwa setiap orang yang terlibat, punya kontribusi yang sama-sama bernilai. Oleh karena itu, jika ada program pengembangan atau pun perbaikan di tempat kerja, alangkah baiknya disambut secara positif dari pada negatif atau apatis. Kenapa demikian ? balik lagi, cara setiap orang memandang kesempatan bisa membuat realita itu bermakna atau tidak bagi pertumbuhan dirinya.  

Assessment Psychology
Bila kantor mengadakan asessment psikologi dengan wawancara sebagai salah satu penekanannya, manfaatkanlah! Jadikan ajang itu sebagai ajang evaluasi dan rekoleksi diri sendiri, dengan mengetahui detil diri sendiri, kita juga bisa tahu kekurangan dan kelemahan yang menghalangi pekerjaan serta hidup kita selama ini.

Brainstorming
Biasanya ada pertanyaan mengenai kritik atau masukan bagi perusahaan tempat kita bekerja atau perusahaan sebelumnya. Bedakan antara keluhan dan kritik. Keluhan bisa menjadi indikasi bahwa kita tidak mampu beradaptasi, apalagi jika ternyata kita tidak bisa mengungkapkan apa yang menarik dari pekerjaan kita selain 'asal pekerjaan selesai dengan baik'. Lebih parah lagi jika ternyata kita berada dalam perusahaan itu bertahun-tahun lamanya, namun kacamata yang utama adalah kacamata hitam.

Kesempatan untuk berkumpul bersama, merupakan ajang untuk membangun sense of belongingness. Ketika kita merasa bahwa "saya adalah bagian dari perusahaan ini"  maka kritik yang akan kita ajukan pun bukan kritik yang dilandasi kebencian dan keinginan untuk menghancurkan pihak lain, menyalahkan dan menghujat, melainkan kritik yang dilandasi  keinginan untuk menemukan solusi terbaik bagi masalah yang ada. Kalau itu yang menjadi  landasan, maka tidak akan terjadi perang urat syarat atau pun perang antar ego.

Bersahabat dengan diri sendiri
Bersahabat dengan diri sendiri bukan kalimat asing, namun seringkali kita tertipu. Ketika kita mampu menerima diri dengan segala dinamikanya, maka akan lebih mudah kita menikmati beragam nada di sekiktar kita. Tidak hanya itu, kita pun akan mampu menyusun nada-nada dalam satu partitur tersendiri, hingga membentuk alunan yang mungkin tidak bisa dinikmati semua orang, tapi jelas merdu bagi diri kita sendiri. Penegasan kata diri di sini tidak pernah lepas dalam konteks sosial yang melingkari. Seperti malam yang tidak hanya indah oleh bintang, tapi karena gelap malam yang melatari.
Kini, apakah mulai terbayang mutiara-mutiara dalam aktivitas keseharian Anda? Selamat menyelami samudera kehidupan dalam detik, hingga kita mampu melihat keindahan ilalang di terik matahari.
 

Modal Menjadi Pengusaha

Oleh : Ubaydillah, AN
 Jakarta, 17 April 2006 
 
Dua Modal Utama 

Menjelang tahun baru kemarin, saya pernah menerima email dari seseorang yang isinya kira-kira begini: 
 
Pak, saya agak bingung menghadapi tahun 2006 ini. Seringkali saya sudah merasa bosan pada pekerjaan sekarang ini. Pekerjaannya itu saja-saja, gajinya segitu-gitu aja, dan suasana kerjanya sudah tidak menarik lagi buat saya. Rasanya, langkah saya sudah menthok sampai di sini bila saya memilih untuk terus bekerja di tempat kerja sekarang ini. Obsesi saya saat ini adalah ingin punya usaha sendiri. Cuma saja, saya belum tahu usaha apa yang cocok dengan saya. Ada kawan yang mengajak mendirikan perusahaan kecil-kecilan secara patungan dengan modal senilai harga motor yang saya miliki. Saya ingin meng-iya-kan ajakan itu. Tetapi terkadang saya takut seperti kawan saya yang lain. Awalnya sih ingin punya usaha sendiri tetapi karena bangkrut, akhirnya menjadi karyawan lagi, menulis surat lamaran lagi, menunggu panggilan lagi. Dengan asumsi adanya peningkatan gelombang PHK akibat kenaikan BBM dan lain-lain, mencari pekerjaan baru lagi bukan soal yang mudah kan, Pak . . . . ? 

Saya yakin di dunia ini ada banyak orang yang menghadapi masalah antara kebosanan dan kebimbangan semacam itu, meski detail-detailnya berbeda. Kita sudah bosan dengan pekerjaan kita saat ini tetapi di sisi lain kita belum benar-benar punya kejelasan langkah (determination) yang utuh di kepala tentang pilihan yang baru. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Antara penting dan utama
 
Penting manakah modal tangible dan modal intangible? Kalau pertanyaannya adalah penting mana, tentu harus dijawab keduanya penting. Berusaha butuh modal material – finansial seperti halnya juga butuh modal akal (intangible). Tetapi jika pertanyaannya adalah, manakah yang harus diutamakan lebih dulu, maka pengalaman sejumlah pengusaha dan kesimpulan pakar di bidang usaha, mengatakan bahwa modal intangible harus lebih dulu diutamakan. 
 
Tidak saja Henri Ford yang mengakui ini. Pak Bob Sadino, Pak Cik, dan Bu Martha Tilar, rupanya juga kesimpulan yang sama. "Banyak sekali orang yang menerjemahkan modal dengan uang atau benda-benda. Sebetulnya dari pengalaman saya, modal intangible itu awal yang nantinya diikuti oleh modal tangible", jelas Pak Bob (majalah Manajemen, April, 2003) 

Apa yang dikatakan Pak Bob itu rupanya memiliki esensi yang sama dengan kesimpulan George Torok
(George Torok,The Yukon Spirit: Nurturing Entrepreneurs, www.torok.com)
 
Torok yang banyak melakukan penelitian terhadap kehidupan para pengusaha menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya modal tangible bisa disebut pengusaha. Bisa saja mereka menjadi pengusaha dalam waktu seminggu sebulan atau beberapa bulan ke depan tetapi selebihnya mereka bukan lagi pengusaha. Menurut Torok, modal intangible yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah:
  • Memiliki dorongan batin yang kuat untuk maju (personal drive)
  • Memiliki fokus yang tajam tentang apa yang dilakukanya dan kemana dia akan membawa usahanya (focus)
  • Memiliki kemampuan yang kuat untuk berinovasi (produk, sistem, cara, metode, service, dst)
  • Memiliki sikap mental "Saya bisa" (The I can mental attitude) dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kedatangannya seperti tamu tak diundang
  • Memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan (berdasarkan pengetahuan, pengalaman, skill, intuisi, dan akal sehatnya)
  • Memiliki kemampuan untuk "tampil beda" atau memunculkan keunggulan-keunggulan (kreatif)
Mengapa harus lebih dulu diutamakan? Saya tidak tahu alasan spiritual-mistikal yang mengilhami para pengusaha itu berkesimpulan demikian. Tetapi secara logika, ada sedikitnya dua alasan yang bisa kita pahami: 

Pertama, seandainya kita punya modal tangible yang bagus tetapi kita tidak memiliki modal intangible yang bagus, maka modal tangible kita bukan malah akan bertambah. Modal itu akan berkurang dan bahkan bukan tidak mungkin akan ludes. Contoh-contohnya sudah seabrek di sekeliling kita. Tetapi seandainya kita punya modal intangible yang bagus sementara kita tidak memiliki modal tangible yang berlimpah, ini masih bisa diatasi. Sudah banyak kita saksikan pengusaha yang mengawali usahanya dengan modal yang sedikit atau pas-pasan bahkan kurang (istilahnya modal dengkul), tetapi karena ulet, kreatif, tekun, dan punya jaringan yang luas, akhirnya usaha itu mengalami kemajuan yang menggembirakan. 

Kedua, keahlian tidak bisa dibeli atau tidak bisa dipinjam dari orang lain. "You cannot buy the skill to be great". Uang bisa dipinjam, gedung bisa disewa atau boleh numpang sementara, produk bisa ‘nge-sub’ tetapi keahlian menjalankan bisnis, tentu tak mengenal istil beli, pinjam, apalagi ngesub atau numpang. Kalau Anda tidak bisa atau tidak ahli, maka buktinya langsung nyata dalam bentuk antara lain: gagal, rugi, tidak efektif, tidak efisien, tidak untung, dan lain-lain. 

Ada kebenaran umum (folk wisdom) yang terkadang lupa kita pikirkan secara masak. Kita sering mendengar ada orang mengatakan, "Orang ahli kan bisa dibeli. Apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk menjalankan bisnis kemudian kita tinggal menerima untungnya saja...". Kebenaran umum seperti ini memang benar tetapi prakteknya tidak benar bagi semua orang. Bagi mereka yang sudah ahli dalam me-manage manusia, kebenaran umum ini benar. Tetapi bagi yang belum punya keahlian dalam hal "managing people", seringkali kebenaran umum itu belum benar di lapangan. Belum benar di sini artinya rencana kita gagal karena kita tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita hadapi. 

Kesimpulannya, menerjuni usaha di bidang apapun memang butuh uang, butuh dana, butuh fasilitas, butuh materi. Modal tangible seperti ini wajib hukumnya. Tetapi, memiliki modal tangible yang memadai belum dapat menjamin kelangsungan usaha. Untuk poin yang terakhir ini lebih banyak ditentukan oleh modal intangible yang kita miliki. Modal intangible di sini adalah "kualitas SDM" kita yang sesuai dengan bidang usaha yang kita geluti. Modal yang terakhir inilah yang akan menentukan apakah kita akan menjadi pengusaha sebulan atau seumur hidup. 

Memang benar bahwa yang diinginkan oleh semua orang adalah memiliki modal tangible yang berlimpah (punya cadangan uang cash berlipat, punya fasilitas kerja yang lengkap, dan punya kantor yang representatif) dan juga modal intangible yang bagus (punya kemampuan berbisnis yang handal, punya kemampuan mengolah produk yang bagus, punya kemampuan memasarkan produk yang jitu, punya kemampuan membina jaringan yang kokoh, dan lain-lain).Cuma saja, keadaan ideal itu sangat jarang terjadi. 

Tak hanya itu, memiliki modal tangible yang bagus dan memiliki modal intangible yang bagus pula, biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab, atau sebagai sebuah hasil dari sebuah proses. Artinya, pengusaha yang memiliki keduanya adalah pengusaha yang sudah berhasil menjalankan usahanya, bukan orang yang baru memulai berusaha. Untuk orang yang baru memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi adalah problem yang muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain: terbatas modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas, materinya, terbatas fasilitasnya, terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dan lain-lain. Karena itulah, maka modal intangible jauh lebih perlu didahulukan.

STREET SMART
 
Ada dilema tersendiri yang harus dihadapi oleh calon pengusaha pemula. Kalau ia batalkan keinginannya untuk menjadi pengusaha karena takut resiko, takut pada berbagai kemungkinan buruk, tentu saja ia tidak akan pernah menjadi pengusaha atau tidak akan pernah paham seluk beluk memulai usaha. Tetapi, bila ia terus nekad untuk menjadi pengusaha dengan modal pas-pasan, tidak berarti ini akan ada jaminan berhasil. Gagal dalam arti "tembakan kita meleset" tentu ini biasa dalam usaha. Tetapi gagal dalam arti kehabisan peluru, kehilangan sumber penghasilan, menanggung hutang, kehilangan pekerjaan, tentu ini beda efeknya bagi kita. 
 
Jadi, bagaimana berkelit dari dilema yang sulit seperti ini? Kalau dijawab dengan kata-kata, mungkin tidak akan habis kita menulisnya dengan tinta air laut. Ada sekian jawaban, ada sekian alternatif, dan ada sekian opsi. Sebagai tambahan dari jawaban yang sudah kita miliki, saya ingin mengingatkan satu istilah yang sangat populer di dunia usaha. Istilah itu adalah street smart. Menurut pengertian yang lazim dipahami, street smart artinya cerdas di lapangan. Gambaran aplikatifnya mungkin pernah dijelaskan oleh Pak Bob dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun lalu (Majalah Manajemen, April 2003):

"Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah." 

Street smart termasuk modal intangible yang luar biasa peranannya. Saya pernah membaca hasil survei yang menanyakan tentang sejauhmana relevansi antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan hari ini (ExecuNet: 2005). Hasilnya tercatat seperti berikut: 

- 46 % menjawab relevansi itu sangat dekat.
- 39 % menjawab relevansi itu ada
- 15 % menjawab relevansi itu tidak ada sama sekali
- 84 % menjawab begini: "street smarts" is more important in business than an advanced degree. 

Jadi, yang diperlukan dari kita adalah kecermatan, keberanian dan kesiapan. Kita perlu cermat agar terhindar dari resiko usaha yang bernama kegagalan dalam bentuk kehabisan peluru atau menanggung hutang yang berat untuk kita. Kalau bisa, maksimalnya resiko itu hanya berupa kegagalan dalam bentuk meleset sementara atau belum untung banyak. Kita perlu keberanian melawan ketakutan yang biasanya membisikkan teror: "bagaimana nanti kalau gagal", "jangan-jangan nanti...", dan lain-lain. Selama ketakutan semacam itu belum bisa kita atasi, sebaiknya kita sembunyikan lebih dulu keinginan kita menjadi pengusaha. Kita juga perlu kesiapan mental untuk menumbuhkan bangkitnya kecerdasan yang bernama street smart.

Thursday, May 16, 2013

Tanda-Tanda Kedewasaan Seorang Pemimpin

Oleh : Zaenuddin Mutadin, S.Psi, Msi
 Jakarta, 04 Oktober 2002 
 
Istilah adult berasal dari bahasa latin yang diambil dari kata adultus berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa (Hurlock, 1992). Oleh karena itu seorang yang disebut dewasa adalah individu yang telah siap menerima kedudukan dalam masyarakat. Sedangkan kedewasaan atau kematangan adalah suatu keadaan bergerak maju ke arah kesempurnaan. Kedewasaan bukanlah suatu keadaan yang statis, tetapi merupakan suatu keadaan menjadi.... (a state of becoming). 

Meski tidak ada seorangpun yang sanggup untuk bertindak dan bereaksi terhadap semua situasi dan semua aspek-aspek kehidupan, dengan kedewasaan yang penuh. Tapi bagaimanapun juga, dalam dunia kerja seorang pimpinan akan dituntut untuk menangani permasalahan-permasalahan secara lebih dewasa. Oleh karena itu, ia setidaknya harus memiliki beberapa ciri yang menunjukkan kedewasaan tersebut. Kesuksesan dan kegagalan seseorang untuk memimpin dan mengarahkan bawahannya akan sangat tergantung pada kedewasaan sikap dan tindakan yang akan diambilnya. Bagaimana bentuk kedewasaan yang dituntut untuk dimiliki tersebut? Dibawah ini akan diungkapkan beberapa kualitas yang seharusnya dimiliki seorang pimpinan agar ia dianggap dapat bersikap dewasa. Setiap kualitas yang satu menjadi kewajiban untuk mencapai kualitas yang lainnya, dan menjadi bagian dari diri sang pemimpin dalam menunaikan tugas sebagai seorang yang dianggap sudah dewasa penuh. 

Adapun ciri-ciri kedewasaan yang harus dimiliki oleh sorang pemimpin adalah sebagai berikut:
Menghargai Orang Lain
 
Seorang pimpinan yang baik harus bekerja bersama dengan orang lain. Hal ini berarti bahwa ia harus bekerja dengan kekuatan- kekuatan, kelemahan-kelemahan, kesanggupan, dan kekurangan-kekurangan dari orang lain itu. Jika dia dewasa, dia akan menghargai perbedaan yang ada tersebut dan tidak akan mencoba untuk membentuk orang lain agar sesuai dengan keinginannya sendiri dan tidak memperalat bawahan untuk kepentingannya sendiri. Ia sanggup untuk menerima kenyataan yang ada, bahwa setiap orang memiliki andil terhadap hasil akhir suatu pekerjaan yang dikerjakan secara bersama-sama (teamwork). 

Hal ini bukan berarti bahwa seorang pemimpin yang dewasa mempunyai hati yang lemah. Ia menerima orang lain, bukan berarti memanjakan mereka untuk selamanya termasuk jika kekurangan mereka (bawahan) akan mengganggu dan mempengaruhi tujuan secara keseluruhan. Seorang pimpinan yang dewasa harus mampu memberhentikan atau memecat seseorang yang tidak lagi memberikan sumbangan terhadap kemajuan atau kebaikan organisasi. Hal ini penting sebab merupakan suatu ketidakadilan bagi perusahaan dan orang lain jika orang yang tidak lagi mampu memberikan kontribusi masih tetap dipertahankan. 

Sabar
 
Pemimpin yang dewasa dapat belajar menerima kenyataan bahwa untuk beberapa permasalahan memang tidak ada penyelesaian atau pemecahan yang mudah. Ia tidak akan dengan mudah menerima pemecahan masalah pertama yang disarankan. Ia akan menghargai fakta dan akan mengumpulkan sebanyak mungkin informasi sebelum memberi saran pemecahan. Bukan saja ia bersedia sabar, tetapi ia tahu benar perlunya beberapa alternatif untuk mengambil suatu keputusan dalam pemecahan masalah. 

Penuh Daya Tahan
 
Semua mahluk hidup pasti pernah mengalami sakit, kesulitan dan kekecewaan. Begitupun dengan seorang pemimpin tidak akan pernah luput dari permasalahan seperti itu. Biarpun demikian seorang pemimpin yang dewasa akan bangkit lagi dan sehat lagi setelah diterpa kemalangan yang bertubi-tubi dengan harapan dan daya tahan yang dimilikinya. Ia akan berusaha jujur dan tidak akan berpura-pura semua keadaan baik-baik saja. Ia menerima kenyataan bahwa rasa sakit harus dipikul, kesalahan-kesalahan diperbaiki dan ia tidak akan membuang waktu untuk menyesali dan meratapi kesalahan yang sudah berlalu. Kegagalan akan meremukan dan menghancurkan orang yang lemah, sedangkan seorang dengan kepribadian dewasa akan mengambilnya sebagai pelajaran dari pengalaman yang sangat berharga.

Sanggup Mengambil Keputusan
 
Orang yang dewasa, disamping kesabaran dan ketabahannya untuk mencari pemecahan masalah, juga harus mampu untuk mengambil suatu keputusan, walaupun hanya menggunakan data atau informasi yang sangat minim, kurang lengkap atau masih kabur. Setelah menimbang fakta yang ada, ia akan segera menyadari bahwa dalam suatu waktu suatu tidakan harus segera diambil. Dengan menyadarkan dirinya terhadap keyakinan dirinya dan terhadap orang-orang disekitarnya ia harus sanggup untuk mengambil dan memikul resiko yang sudah diperhitungkan olehnya. 

Peter Drucker pernah menyatakan bahwa masa depan tidak pernah ada kepastian, tetapi hanya ada kemungkinan-kemungkinan. Seorang pemimpin yang dewasa harus belajar menerima hal ini. Ia harus mampu untuk membuat keputusan-keputusan berdasarkan perkiraan-perkiraan atau kemungkinan-kemungkinan terbaik yang dapat diperoleh, sebab ia tahu jika menunggu untuk memperoleh kepastian yang menyeluruh maka keputusan yang diambil mungkin sudah terlambat. 

Menyenangi Pekerjaan
 
Seseorang yang memiliki emosi yang sehat atau memiliki kepribadian dewasa akan mengetahui bagaimana menikmati pekerjaannya. Apapun jenis pekerjaannya seseorang yang dianggap dewasa akan jarang bermalas-malasan. Ia mengetahui bagaimana menemukan kepuasan dalam melakukan tugas dengan baik dan ia merasa bangga melaksanakan tugas tersebut. Para pemimpin yang dewasa akan memperoleh kepuasan dalam menangani suatu pekerjaan dan tidak menggagap pekerjaan sebagai beban hidup. 

Bagi seorang yang berkepribadian dewasa pekerjaan sangat perlu untuk kelangsungan hidupnya sebagai seorang individu. Pekerjaan merupakan jalan bagi dirinya untuk mengungkapkan dirinya (aktualisasi diri). Dengan bekerja dirinya akan merasa terjamin untuk tidak berkubang dengan kecemasan-kecemasan dan permasalahan-permasalahan dirinya sendiri. 

Menerima Tanggung Jawab
 
Orang yang tidak dewasa akan mengeluh dan menyesal tentang kegagalan yang mereka alami. Mereka akan merasa bahwa kegagalan yang mereka alami merupakan kesalahan orang lain dan nasib baik sedang menjauhi mereka. Untuk menghindari kegagalan, mereka cenderung untuk tidak menerima tanggung jawab. Sebaliknya bagi mereka yang berkepribadian dewasa segala kesuksesan dan kegagalan merupakan tanggungjawab diri sendiri. Mereka menyadari bahwa setiap orang memerlukan ketabahan dan kekuatan serta tempat berlindung pada saat-saat sulit, dan yang bertanggung jawab untuk menangani hal tersebut adalah diri sendiri 

Percaya pada orang lain/kekuatan lain seperti dukun, pimpinan, nasib baik, dll, untuk memecahkan masalah merupakan suatu tanda ketidakdewasaan. Kepercayaan terhadap kekuatan diri sendiri dan berani menerima tanggung jawab dalam kehidupan sangat penting untuk menimbulkan rasa aman dan kebahagiaan 

Percaya Pada Diri Sendiri
 
Seorang pimpinan yang dewasa akan menyambut baik partisipasi orang lain, walaupun menyangkut pengambilan keputusan yang sulit. Hal tersebut terjadi karena mereka sangat yakin dan percaya terhadap kemampuan mereka sendiri sehingga tidak ada rasa takut untuk berkompetisi. Mereka akan mudah melihat dan mengenal bahwa orang lain yang memiliki ide-ide dan fikiran yang berharga. Bagi mereka kekuatan orang lain hanya akan menjadi ancaman bagi orang yang tidak merasa aman, dan yang tidak ada kepercayaan terhadap dirinya sendiri. 

Seorang pimpinan yang dewasa akan memperoleh kepuasan berdasarkan prestasi yang dilakukan oleh bawahannya. Ia akan merasa bangga dalam keyakinan dan kesadaran bahwa bawahannya adalah tanggung jawabnya. Sebaliknya bagi seorang pimpinan yang tidak dewasa akan merasa sebagai suatu hal yang pahit dan menyakitkan apabila diberikan situasi yang serupa. 

Memiliki Rasa Humor
 
Tertawa adalah sehat. Orang yang dewasa atau matang setuju dengan ucapan itu. Namun demikian orang yang dewasa tidak akan membuat orang tertawa dengan cara merugikan atau melukai perasaan orang lain. Mereka juga tidak akan tertawa jika orang lain dalam keadaan susah atau terluka perasaannya. 

Orang yang sehat emosinya akan selalu mengingat bahwa humor itu harus baik sifatnya dan menyebarkan kebahagiaan bagi yang mendengarkannya. Orang yang dewasa akan menggunakan humor bukan sebagai alat pemukul atau menjatuhkan orang lain, tetapi sebagai alat untuk melicinkan suasana dan mengendorkan ketegangan. 

Memiliki Kepribadian yang Utuh
 
Orang yang dewasa, bukanlah orang yang membuang-buang dan menyia-nyiakan energinya dengan memakai dan menggerakkan seluruh energinya ke berbagai arah yang tidak menentu, bahkan sering bertentangan arah. Pada umumnya mereka adalah orang yang teratur dan sudah terorganisir serta dapat menangani problemnya dengan efektif. Mereka bukan orang yang mudah beralih perhatian atau menyimpang dari rencana oleh karena keinginan-keinginan yang muncul dengan tiba-tiba, tetapi mereka dapat dengan mudah beralih dari kegiatan yang satu ke kegiatan yang lain tanpa kebingunagan dan kekacauan.
 
Seimbang
Seorang pemimpin yang dewasa akan hidup dalam suatu kehidupan yang seimbang. Ia merasa bangga menjadi bagian dari perusahaan dan tahu persis posisi dan peranannya di dalam perusahaan. Ia pintar menempatkan diri sehingga tidak menyulitkan dirinya dan perusahaan. Ia sanggup untuk bekerja keras dan selalu siap mengatasi tekanan yang diterimanya serta dapat menikmati masa senggangnya dengan baik. 

Menerima Diri Sendiri
Para pemimpin yang efektif mempunyai pandangan dan penilaian yang baik terhadap kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan yang dimilikinya. Pada kenyataannya hal ini sangat menentukan kesuksesan seorang pemimpin. Namun hanya pemimpin yang memiliki kedewasaan yang dapat memilih dan mengumpulkan pembantu-pembantu dan orang-orang dekatnya untuk saling menutupi kekurangan dan kelemahan. Karena ia dapat melihat dan menilai diri sendiri dengan baik secara objektif dan realistis, maka ia akan sanggup untuk menggunakan kelebihan dan bakatnya secara efektif. Ia juga akan terbebas dari rasa frustrasi yang mungkin timbul karena kegagalan mencapai suatu hal yang diluar kemampuan dirinya.

Memiliki Prinsip yang Kuat
 
Banyak pemimpin yang sungguh-sungguh melihat perusahaan sebagai suatu mahluk hidup yang harus dijaga dan dipelihara. Mereka memandang dirinya sebagai pengawal bagi keselamatan dan kebaikan perusahaan. Mereka menganggap dirinya berperan sebagai pengasuh dan pelindung perusahaan yang kemudian meneruskan dan menyerahkan pengawalan dan fungsi mengasuh tersebut kepada penerusnya.

Hal tersebut pula yang menjelaskan mengapa pemimpin tidak akan segan-segan untuk bersikap keras dan tegas dalam menghadapi orang lain bila menyangkut keselamatan dan kelangsungan hidup perusahaan. Mereka memegang teguh prinsip-prinsip yang telah ditanamkan dalam perusahaan dan tidak akan kenal kata menyerah jika dihadapkan paa soal hidup matinya perusahaan.
 

The Map Is Not The Territory

Oleh : Ubaydillah, AN
 Jakarta, 02 Juli 2003 
 
Wanita muda itu hampir memutuskan untuk kembali ke perusahaan tempat ia bekerja dulu. Bagaimana tidak, dengan jabatan terakhirnya sebagai seorang Manager di sebuah hotel bintang empat, jalur ke arah pengembangan karir masih sangat terbentang luas dan jelas. Sementara keputusannya untuk menjalankan bisnis di bidang jasa Catering yang ditekuninya saat ini masih berupa tanda tanya besar. Bayangannya tentang dunia wirausaha ketika ia masih bekerja di hotel dulu tiba-tiba terasa sangat jauh dengan apa yang terjadi di lapangan dan dirasakannya saat ini. Semula "map" (peta) yang dipegang menjelaskan bahwa suatu bisnis adalah anda menciptakan produk kemudian pelanggan atau pembeli menukarnya dengan uang lalu dari hasil penukaran tersebut keuntungan diciptakan. Dari akumulasi keuntungan itulah kemudian asset perusahaan ditingkatkan. 

Tetapi "territory" (kenyataan) atau fakta berbicara lain. Sudah berbulan-bulan bahkan nyaris satu tahun, usahanya belum menghasilkan transaksi yang melegakan. Bahkan keuntungan transaksi yang sedikit dan masih jarang itu habis untuk menutup biaya tak terduga akibat hambatan-hamabatan teknis seperti: handling complain pelanggan yang kurang efektif, biaya marketing yang kurang terkontrol, produk yang kurang memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan, dsb. Sudah begitu, terkadang ia terpaksa "nombok" ketika tanggal gajian tiba. Pendek kata, ia dihadapkan pada situasi yang serba salah. 

Saat ia lupa dengan cita-cita menjadi seorang wirausawan dan pemilik suatu bisnis, terkadang muncul keinginan untuk menghentikan dengan paksa usahanya. Tetapi tiba-tiba ia ingat bahwa cita-citanya untuk menjadi wirausahawan adalah sesuatu yang sudah final; tidak bisa ditawar. Dengan melintasi siklus antara lupa dan ingat dengan cita-citanya, wanita lajang itu terus melakukan sesuatu antara creating customer dan handling jobs serta terkadang meng-istirahatkan diri. Seed of action tetap ia taburkan meskipun tidak membuahkan hasil yang diharapkan pada detik-detik ia membutuhkannya. Hingga suatu saat yang ia lupa tanggalnya, telephone berdering dari seseorang yang ingin mengadakan acara pernikahan sederhana. Ternyata penelpon itu adalah orang yang membaca surat penawaran via facsimile kantor yang dikirim sekian bulan yang lalu. Dari hasil pembicaraan disepakati bahwa seluruh menu yang dipesan tergolong mudah dilayani. Walhasil kepuasan bisa dicapai baik oleh penyedia dan pengguna jasa. Inilah yang disebut "The window of opportunity".
 
Dari pengalaman inilah ia memahami "Ilmu pengetahuan khusus" untuk menjalankan bisnis dengan pendekatan improvisasi setapak demi setapak. Memahami bahwa seed of action itu tidak pernah bermakna sia-sia dalam arti yang kasat mata. Memahami bahwa peluang itu datangnya sangat tersembunyi setelah diciptakan persiapan internal yang matang. Memahami bahwa anak tangga yang dipasang oleh Hukum Alam tentang entrepreneurship tidak bisa dilewati melainkan butuh bimbingan untuk mempercepat langkah. Memahami bahwa saat-saat yang masih diliputi kegagalan demi kegagalan dalam menciptakan transaksi yang profitable punya makna sebagai referensi dan memperkokoh postur diri. 

Sistem
 
Cerita wanita muda di atas mewakili sekian banyak umat manusia yang mengawali hidupnya sebagai pejuang gagasan di bidang apapun. Tetapi memang seperti yang dikatakan Alford Korzybski bahwa " The map is not the territory". Artinya persepsi anda tentang suatu realitas bukanlah realitas melainkan persepsi itu sendiri. Selamanya pemahaman konseptual tidak pernah tepat seratus persen dengan realitas dunia oleh karena itu gap selalu ada dan gap itulah yang harus anda letakkan ke dalam perspektif tantangan untuk diubah. 

Tidak salah jika membangun bisnis diawali dengan persepsi menciptakan produk, menemukan pelanggan atau pembeli, dan menikmati keuntungan. Tetapi di sisi lain begitu mudahnya persepsi itu kabur sehingga tidak segagah seperti pada saat anda merumuskannya di atas kepala, menjadi sekedar human-talk, menjadi harapan yang jauh dari fakta atau dokumen sia-sia. Apa masalahnya? 

Kalau merujuk pada cerita wanita muda di atas, maka jelas yang ia butuhkan sebenarnya adalah THE EFFORTS OF FINDING OUT THE SYSTEM THAT WORKS - menemukan suatu sistem yang tepat. Sebagai business owner maka yang dibutuhkan oleh si wanita adalah tindakan bagaimana ia menemukan celah di mana produk makanannya dalam kondisi siap untuk menciptakan benefit bagi pembeli pada saat yang tepat dengan nilai transaksi yang mendatangkan keuntungan dan terjadi secara rutin, predictable atau identified. Inilah yang disebut Sistem.
 
Jika muncul pertanyaan, mengapa tidak semua pebisnis meraih keuntungan meskipun diperkuat dengan modal besar; mengapa tidak semua kaum professional mandiri dengan professionalitasnya; dan mengapa terkadang masih bisa ditemukan seorang penjual air mineral di sebuah pangkalan Angkutan Kota yang bisa mandiri dengan keadaan hidupnya. Jawabannya tentu saja bukan persoalan kasta intelektual atau akademik, modal, atau lokasi strategis melainkan upaya menabur seed of action yang telah menemukan sistem untuk berbuah dalam bentuk prestasi dan kemandirian. Penjual air mineral yang telah memiliki sistem memahami dengan pasti siapa pelanggannya hari itu, air mineral merek apa yang disukai, dan kapan membeli. Jika ada calon pelanggan baru, ia sudah tahu bagaimana cara menggiringnya supaya membeli produk dagangannya. 

Menemukan Sistem
 
Dalam artikelnya berjudul "The Slight Edge Philosophy", seperti yang ditayangkan oleh Top Achievement (1998, Gene Donohue, Marlborough NH), Jeff Olson menyebut sistem itu dengan nama "The Slight Edge", yaitu sebuah sistem tentang kesuksesan yang didasarkan pada akumulasi perbaikan-perbaikan kecil. "It is based on doing things that are easy-little disciplines which done consistently over time, add up to the biggest accomplishments". Cuma masalahnya, karena sifatnya yang kecil dan gampang dilakukan, maka anda pun puya pilihan yang gampang untuk tidak melakukannya. Apalagi resikonya tidak membahayakan sama sekali. Artinya jika anda memilih tidak melakukan, anda tidak bakal mati atau terganggu hidup anda seketika. 

Katakanlah, andaikan wanita muda di atas tidak pernah mengirim facsimile ke kantor orang yang sekarang ini menjadi pelanggannya, tentu saja ia tidak merasakan apapun dari resiko itu. Toh mengirim facsimile atau tidak mengirim hanya dibedakan oleh waktu yang bisa dihitung dengan jumlah menit. Tetapi waktu yang hanya berukuran menit itulah yang sebenarnya menjadi "The Slight Edge" - untuk memulai kesuksesan. Dengan istilah yang berbeda tetapi esensinya sama, Aristotle menyebutnya dengan Kebiasaan (The habit). "We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit." Anda menjadi sosok yang dihasilkan dari apa yang berulang-ulang anda kerjakan. Kesuksesan di bidang apapun tidak pernah dibangun dari tindakan sekali jadi melainkan kebiasaan. Excellency lahir dari kebiasaan yang excellent.
 
Menurut Jeff Olson, Excellency atau Quality of life, atau apapun bentuknya adalah side effect dari pembenahan kecil dan terus-menerus terhadap empat wilayah berikut:
  • Philosophy
  • Attitude
  • Action
  • Result
Philosophy adalah paradigma, pedoman, Ilmu Pengetahuan Khusus yang anda gunakan sebagai jurus untuk bermain di dalam kehidupan ini guna mendapatkan apa yang benar-benar anda inginkan. Dalam urutannya, paradigma merupakan muatan software internal anda yang menjadi sumber utama sebuah sikap dan tindakan. Untuk mencapai Excellent quality of life, maka anda harus menjadikan "The Slight Edge System" sebagai pedoman hidup. Paradigma yang tepat akan membentuk pola sikap yang tepat pula terhadap diri anda, orang lain, dan keadaan dunia pada umumnya dalam kaitan dengan upaya menjadi pejuang gagasan. Sikap yang tidak tepat akan mempercepat keinginan untuk "lupa" dengan gagasan awal anda, mudah putus asa, dan patah. Ketika anda lupa, maka action anda berhenti atau berpindah ke tempat lain. Dengan sendirinya struktur dari kebiasaan anda pudar. Dan pada saat sudah terjadi demikian, anda bisa menjawab sendiri bagaimana result yang dihasilkan. 

Pertanyaannya kemudian, apa yang anda butuhkan agar pembenahan yang anda lakukan di empat wilayah di atas terjaga sinergisitasnya dengan keadaan anda dan keadaan dunia. Tak lain adalah knowledge yang menurut Jeff Olson ditemukan sumbernya dari tiga hal: 

1. Studied Knowledge
Bacalah materi pengembangan yang sudah ditulis oleh para ahli sesuai kebutuhan anda. Membaca adalah escalator yang memungkinkan untuk mempercepat pemahaman anda tentang manusia dan dunia . Begitu pemahaman sudah anda peroleh lebih dulu ketimbang orang lain, maka pemahaman itu bisa menjadi competitive advantage bagi anda. 

2. Activity Knowledge
Sudah jelas bahwa hidup ini merupakan proses oleh karena itu jalan menuju kesuksesan selalu dalam posisi sedang diperbaiki. Kuncinya adalah anda harus melakukan sesuatu yang anda butuhkan. Jangan menunggu sesuatu yang anda butuhkan lalu baru melakukan. Melakukan berarti menyelami territory ke tingkat yang lebih dalam untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih dalam. Knowledge oleh sebab itu, is power

3. Modeled Knowledge
Selain materi yang sudah ditulis oleh para pakar di bidangnya, kehidupan ini masih menyisakan tanda tanya yang tidak tertulis tetapi mempunyai pengaruh konkrit dalam hidup anda. Contoh saja "The Law of Association". Menurut Hukum ini, anda mendapatkan apa yang benar-benar anda inginkan sebanding kurang lebihnya dengan apa yang didapatkan oleh sepuluh orang pertama yang dekat dengan anda. Pepatah lama mengatakan, Jika anda ingin mengetahui seseorang, cukup anda mengetahui dengan siapa ia berteman dan berasosiasi. 

Energi
 
Di luar bagan yang telah dirumuskan oleh Jeff Olson di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa anda membutuhkan energi atau "mental fuel" yang berfungsi sebagai mobilisator. Energi itulah yang akan menggerakkan anda ke arah kiblat tertentu yang anda tuju. Energi tersebut meliputi: 

1. Konsentrasi
Awalnya semua orang punya bakat alamiah untuk merealisasi apa yang benar-benar diinginkan dari kehidupan ini. Jika kemudian terjadi kenyataan yang sebaliknya, tentu saja sebabnya yang paling utama adalah pilihan konsentrasi. Satu sisi anda punya keinginan untuk maju dengan cita-cita dan gagasan anda tetapi pada sisi lain muncullah keinginan untuk tidak mau melawan virus yang mengajak anda mundur. Keinginan meraih sesuatu versus keinginan menghindar dari sesuatu; keinginan mengingat versus keinginan melupakan. 

Semua bentuk konflik keinginan di atas terjadi di dalam diri anda, dan oleh sebab itu konsentrasi anda butuhkan dalam kaitan dengan bagaimana keberadaan anda setiap saat selalu barada di atas garis menuju realisasi gagasan (staying on track). Jika anda tiba-tiba lupa dengan cita-cita anda, cepatlah menarik diri untuk ingat. Gunakan konsentrasi untuk memperpanjang durasi ingatan, maju, dan meraih sesuatu. Buatlah kavling atau pembatas yang jelas agar pikiran bisa bekerja melawan semua distraksi yang akan menjauhkan anda dari keinginan meraih sesuatu. Dalam hal ini memang dibutuhkan pengorbanan untuk melupakan sesutau yang tidak penting yang terkadang setelah anda sadari tidak ada kaitan apapun dengan misi, visi, dan tujuan anda. 

2. Komitmen
Komitmen adalah bentuk tanggung jawab anda terhadap cita-cita dan gagasan anda. Berbeda dengan human talk atau keinginan umum yang tidak dipertanggung jawabkan. Sekedar bicara gagasan dan cita-cita, semua orang pasti menyimpan gagasan di kepalanya tentang hal yang enak-enak. Tetapi kenyataannya memperjuangkan gagasan tidak selamanya berhubungan dengan hal yang enak atau tidak enak melainkan mau tidak mau berupa responsible action.
Komitmen terjadi di dalam proses merealisasikan apa yang anda inginkan sementara hal yang enak-enak itu merupakan efek sampingan saja. Di bidang bisnis misalnya, uang adalah efek samping dari benefit yang anda berikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Kesuksesan adalah daya tarik yang anda ciptakan di dalam diri anda. Tanpa komitmen terhadap The Slight Edge System, sangat mudah bagi anda untuk segera terperangkap dalam pengembaraan asumsi yang terkadang sia-sia di mana anda menghabiskan waktu untuk mencari dan menghindar dari orang lain. Padahal mestinya anda mengeluarkan sesuatu dari dalam diri anda untuk menciptakan benefit bagi orang lain lalu terjadi feedback setimpal bahkan terkadang lebih besar.

3. Integritas
Dalam hubungannya dengan memperjuangkan gagasan, integritas lebih gampang diartikan dengan ukuran cinta dan rasa sayang anda terhadap cita-cita, gagasan, dan keinginan. Dengan kata lain seberapa hebat anda mampu "living with them". Keluarga Jackson berlatih musik yang dibimbing oleh orang tuanya selama dua puluh enam jam dalam satu hari. Bayangkan, sementara semua manusia hanya memiliki waktu dua puluh empat jam. Memang, awalnya anda harus lebih dulu membangkitkan energi yang membuat anda memiliki integritas terhadap cita-cita dan gagasan anda. Begitu integritas sudah tercipta, andalah yang dibangkitkan. 

Inilah rahasia mengapa Edison atau Abraham Lincoln tidak pernah kapok dengan sekian kegagalannya padahal kalau diukur dengan kualitas manusia umum mereka sudah memiliki alasan yang sangat cukup kuat untuk menghentikan eksperimennya. Bukan Edison, Abraham, atau Soekarno yang menyuruhnya untuk maju tetapi mereka telah digerakkan oleh energi intergritas yang tidak mampu dibendung meskipun oleh dirinya sendiri. 

Kembali ke perihal "The map is not the territory", maka jadikan peta itu sebagai guideline. Biarkan ia sebagai bintang yang bersinar. Jangan disobek atau dibuang di tong sampah ketika anda menemukan gap antara the map dan the territory. Karena yang benar-benar anda perlukan adalah menyempurnakannya seiring dengan kemajuan penyelaman terhadap kawasan teritorial. Jagalah agar peta anda tetap akurat sehingga tidak menyesatkan anda ketika hendak dijadikan referensi hidup berikutnya. Semoga berguna. (jp)