Oleh : RR. Ardiningtiyas Pitaloka, M.Psi.
Jakarta, 04 November 2008
Pernahkah Anda mendapatkan pertanyaan di atas? Dalam suatu percakapan
dengan rekan kerja, atau dalam wawancara? Dalam suatu wawancara baik untuk
tujuan mapping potensi maupun
rekrutmen, pertanyaan ini mungkin saja muncul. Beberapa mampu menjawab dengan
memuaskan, yakni tepat pada substansi pertanyaan: "bertemu dengan banyak orang,
kerjasama kelompok, banyak belajar hal baru, dsb"
Tapi di antara berjuta jawaban, yang sering terdengar justru : "saya sih paling
suka kalau pekerjaan selesai, kalau semuanya berjalan lancar, kalau pas tidak
ada masalah...". Bahkan tidak sedikit yang menjawab dengan tersipu-sipu, "Ah,
biasa saja, namanya juga tugas."
Perbedaan yang mencolok bukan?
PEKERJAAN FAVORIT
Pada kenyataannya, tidak semua orang bisa mendapatkan pekerjaan yang
diidamkan in the first place. Bagi kita
yang mengenyam pendidikan seperti dokter, mungkin menjadi dokter hampir pasti
menjadi profesi 'wajib'. Apabila ada di antara kita yang bergelar dokter
kemudian bekerja sebagai reporter di majalah kesehatan, hanya sedikit orang
yang tidak bertanya untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detil tentang "kenapa-nya". Pertanyaannnya, apakah ilmu kedokteran yang telah ditempuh selama ini
menjadi sia-sia?
Lantas, bagaimana halnya dengan jurusan-jurusan di universitas seperti Ilmu
Politik, haruskah menjadi politisi saja? Atau jurusan seni tari, hanya menjadi
penari saja ?
Apa sebenarnya "definisi" pekerjaan favorit ? Singkat kata, pekerjaan
favorit adalah ketika pekerjaan yang dilakukan membawa kenikmatan bagi kita. Membawa
kenikmatan artinya membuat kita bisa menemukan keasyikan dalam tumpukan tugas,
mampu mengangkat mutiara dari kedalaman laut dan bebatuan karang. Nah, bagaimana
cara menemukannya ?
Bless in disguise
Tidak bisa dipungkiri, banyak sekali orang di negeri ini yang merasa kesulitan
menikmati pekerjaannya. Faktanya, untuk diterima bekerja saja sudah sulit
dengan persaingan yang begitu ketat di antara pelamar. Itu dari sisi pekerja. Dari
sisi employer atau pebisnis,
menciptakan dan membagikan pekerjaan juga merupakan tantangan tersendiri yang
sama peliknya. Masalahnya adalah, apabila kita telah memiliki satu pekerjaan, namun
tidak mampu mengenali daya tarik yang ditimbulkannya terutama bagi diri kita sendiri,
bagaimana kita mengharapkan optimalitas? Bagaimana pula, orang lain, klien atau
atasan bisa mengharapkan yang terbaik dari kita ?
Menemukan hal positif dalam rentetan aktivitas yang terlihat biasa, memang
sesuatu yang subjektif dan butuh kesadaran usaha. Tanpa kesadaran bahwa proses
pencarian ini butuh usaha, maka jangan berharap bisa menemukan apa yang ingin
ditemukan. Belum lagi soal kejenuhan yang bisa hinggap di setiap orang yang
bekerja apapun profesinya. Apakah keluar merupakan solusi ? mengajukan tuntutan
pada "manajemen" dan pimpinan untuk lebih memperhatikan karyawan? Apakah
berbisnis sendiri supaya tidak perlu lagi di komando orang tapi memberi
komando...? Jawaban Ya atau Tidak di sini, tidak bisa digeneralisasi untuk
semua orang. Lantas, cara apa yang bisa di lakukan one for all ? Carilah makna di setiap pekerjaan kita!
Bayangkan, kalau ada orang yang bekerja tanpa tahu kenapa dia harus mengerjakannya
dan apa end product yang akan dihasilkan
dari seluruh mata rantai pekerjaan itu - kondisi ini saja sudah memperbesar kemungkinan
terjadinya kebosanan dan kehilangan makna.
Dengan menemukan makna, kita bisa melihat manfaat dari pekerjaan kita,
apapun kondisinya. Dan hanya kita sendiri yang bisa memaknai pekerjaan itu,
bukan orang lain karena lagi-lagi ini soal persepsi adalah soal subyektif. Kalau
orang lain yang disuruh memaknai pekerjaan kita, bisa-bisa tidak cocok. Karena
sekali lagi, setiap orang punya kesejarahan yang berbeda. Jadi semua harus
kembali pada diri sendiri, untuk menemukan apa yang dianggap bernilai, berkah
yang tidak terlihat dari apapun situasi dan kesulitan yang dihadapi.
Unik seunik diri
Banyak buku yang memotivasi orang supaya tidak selamanya menjadi pegawai,
untuk segera menjadi pengusaha, untuk memiliki bisnis sendiri, memiliki waktu
luang sendiri, jadi boss. Pertanyaannya,
bisakah hal ini diterapkan pada semua orang ? Secara teknis, atau pun hitungan
di atas kertas bisa membawa pada fakta yang berbeda dengan kenyataan di
lapangan. Karena, otak manusia tidak hanya terdiri dari sel-sel kelabu yang
merekam satu hingga ribuan informasi dan merekam keahlian, tapi pada otak manusia
juga terdapat amygdala, bentuknya
seperti biji almond, yang berfungsi mengatur proses-proses emosi dan memori. Apapun
yang telah dan pernah tertanam dalam benak kita, sanggup mempengaruhi
perspektif kita dalam melihat dan memaknai sesuatu. Mungkin saja sebuah kondisi dirasa sebagai
beban oleh seseorang dan dianggap training
ground oleh yang lain.
Prioritas
Sebagian dari kita mungkin lebih menikmati pekerjaan yang stabil dengan
titian karir yang berirama sedang. Bagi orang-orang yang mengutamakan kestabilan
dan kemapanan, biasanya cara mereka memkitang pekerjaan adalah dengan kalimat
̢۪pekerjaan itu harus ditekuni̢۪. Ditekuni dalam hal ini adalah dengan merintis
dari awal, misalnya dari level marketing dua tahun, kemudian supervisi, hingga
level manager, dan seterusnya di mana semua itu dirintis dalam satu
perusahaan yang sama. Bisa jadi penitian karir ini juga berpindah tempat kerja,
tapi masih dalam bidang yang sama Hal ini bisa jadi karena orang tersebut memandang
perusahaan lain sebagai tempat 'kenaikan tingkat' nya.
Lain lagi untuk mereka yang tidak jarang dianggap 'kutu loncat'. Sebagian
orang menganggap hidup adalah eksperimen. Mereka tidak segan melepas sesuatu
yang dianggap mapan oleh orang lain, tapi membosankan bagi dirinya. Kalimat "apa
lagi sih yang dicari?" tidak berlaku bagi mereka.
Orang-orang ini sangat mungkin tiba-tiba menjadi pengusaha dalam berbagai
tingkatan dan variasi, dari keroyokan dengan rekan satu visi hingga menjadi freelancer di sana dan di sini.
Kemungkinan besar, mereka juga memiliki pekerjaan lebih dari satu, tidak adanya
batasan dinding kantor memungkinkan mereka untuk bergerak lebih leluasa.
Beberapa
point di atas bisa menghadirkan makna bagi orang yang mau mencari
makna; namun hal ini tidak berlaku bagi mereka yang tidak mampu melihat
'mutiara' di balik kerang. Contohnya mudah, bagi yang bekerja di kantor
akan
selalu mengeluh 'bosan, bosan dan bosan' tetapi ia telah dan tetap di
kantor
yang katanya membosankan itu selama bertahun-tahun lamanya.
Juga bagi yang tidak memiliki kantor tetap, siap-siap saja dengan makanan
sehari-hari 'susah, susah dan susah' namun tetap berloncatan ke sana ke mari.
Jangan salahkan rekan seperjuangan kalau lama-lama mereka mundur teratur karena
hilang motivasi dan semangat kerja karena seringnya melihat roma frustrasi di
wajah "boss"nya.
MANAJEMEN DIRI
Manajemen diri tidak pandang bulu. Apapun pijakan kita, apapun profesinya harus
tetap dikenakan, di kantor dengan sistem pengawasan ketat, freelancer dengan banyak kantor hingga yang menjadi pemilik bisnis
sendiri.
Bagaimana menjalankan manajemen diri ini? Buku, pelatihan dan banyak lagi
sumber yang bisa menjadi inspirasi juga teman seperjalanan. Satu saran yang
bisa penulis ajukan adalah dengan dengan mencocokkannya pada diri sendiri,
karena pengaturan diri sangat berbeda dengan penyiksaan diri. Pengaturan diri
itu dilkitasi oleh kesadaran akan tanggung jawab yang diembannnya, kesadaran
atas komitmen yang telah dibuatnya, kesanggupan untuk taking care the consequences of his / her choices; serta kesadaran
bahwa setiap pilihan dan tindakannya membawa pengaruh dan akibat pada
orang-orang lain. Sementara, penyiksaan diri merupakan upaya represif dan
opresif terhadap keinginan. Dengan menekan keinginan, maka tertekan pula
aspirasi dan antusiasme kerja. Kalau antusiasme
kerja menghilang, bagaimana bisa menemukan kenikmatan di dalam kerja ?
Sense of belonging
Keasyikan dan kenikmatan kerja akan sulit muncul ketika kita disconnected
dengan pekerjaan dan
lingkungan kerja kita. Mungkin kita berpikir bahwa kita bisa "melarikan
diri" dari lingkungan tidak mengenakkan dengan cara betul-betul
berkonsentrasi pada
pekerjaan. Namun, setiap orang yang bekerja, merupakan bagian dari
komunitas
kerja, dan pekerjaan yang ditekuni hanyalah salah satu mata rantai dari
pekerjaan orang lain. Akan sangat positif dan bermanfaat, bahkan lebih
bermakna
jika seseorang bisa melihat bahwa setiap orang yang terlibat, punya
kontribusi
yang sama-sama bernilai. Oleh karena itu, jika ada program pengembangan
atau
pun perbaikan di tempat kerja, alangkah baiknya disambut secara positif
dari
pada negatif atau apatis. Kenapa demikian ? balik lagi, cara setiap
orang memandang
kesempatan bisa membuat realita itu bermakna atau tidak bagi pertumbuhan
dirinya.
Assessment Psychology
Bila kantor mengadakan asessment psikologi dengan wawancara sebagai salah
satu penekanannya, manfaatkanlah! Jadikan ajang itu sebagai ajang evaluasi dan rekoleksi
diri sendiri, dengan mengetahui detil diri sendiri, kita juga bisa tahu
kekurangan dan kelemahan yang menghalangi pekerjaan serta hidup kita selama
ini.
Brainstorming
Biasanya
ada pertanyaan mengenai kritik atau masukan bagi perusahaan tempat
kita bekerja atau perusahaan sebelumnya. Bedakan antara keluhan dan
kritik.
Keluhan bisa menjadi indikasi bahwa kita tidak mampu beradaptasi,
apalagi jika
ternyata kita tidak bisa mengungkapkan apa yang menarik dari pekerjaan
kita selain 'asal pekerjaan selesai dengan baik'. Lebih parah lagi jika
ternyata kita berada
dalam perusahaan itu bertahun-tahun lamanya, namun kacamata yang utama
adalah
kacamata hitam.
Kesempatan untuk berkumpul bersama, merupakan ajang untuk membangun sense of belongingness. Ketika kita
merasa bahwa "saya adalah bagian dari perusahaan ini" maka kritik yang akan kita
ajukan pun bukan kritik yang dilandasi kebencian dan keinginan untuk
menghancurkan pihak lain, menyalahkan dan menghujat, melainkan kritik yang dilandasi
keinginan untuk menemukan solusi terbaik
bagi masalah yang ada. Kalau itu yang menjadi
landasan, maka tidak akan terjadi perang urat syarat atau pun perang antar
ego.
Bersahabat dengan diri sendiri
Bersahabat dengan diri sendiri bukan kalimat asing, namun seringkali kita
tertipu. Ketika kita mampu menerima diri dengan segala dinamikanya, maka akan
lebih mudah kita menikmati beragam nada di sekiktar kita. Tidak hanya itu, kita
pun akan mampu menyusun nada-nada dalam satu partitur tersendiri, hingga
membentuk alunan yang mungkin tidak bisa dinikmati semua orang, tapi jelas
merdu bagi diri kita sendiri. Penegasan kata diri di sini tidak pernah lepas
dalam konteks sosial yang melingkari. Seperti malam yang tidak hanya indah oleh
bintang, tapi karena gelap malam yang melatari.
Kini, apakah mulai terbayang mutiara-mutiara dalam aktivitas keseharian
Anda? Selamat menyelami samudera kehidupan dalam detik, hingga kita mampu
melihat keindahan ilalang di terik matahari.