Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 17 April 2006
Dua Modal Utama
Menjelang tahun baru kemarin, saya pernah menerima email dari seseorang yang isinya kira-kira begini:
Pak,
saya agak bingung menghadapi tahun 2006 ini. Seringkali saya sudah
merasa bosan pada pekerjaan sekarang ini. Pekerjaannya itu saja-saja,
gajinya segitu-gitu aja, dan suasana kerjanya sudah tidak menarik lagi
buat saya. Rasanya, langkah saya sudah menthok sampai di sini bila saya
memilih untuk terus bekerja di tempat kerja sekarang ini. Obsesi saya
saat ini adalah ingin punya usaha sendiri. Cuma saja, saya belum tahu
usaha apa yang cocok dengan saya. Ada kawan yang mengajak mendirikan
perusahaan kecil-kecilan secara patungan dengan modal senilai harga
motor yang saya miliki. Saya ingin meng-iya-kan ajakan itu. Tetapi
terkadang saya takut seperti kawan saya yang lain. Awalnya sih ingin
punya usaha sendiri tetapi karena bangkrut, akhirnya menjadi karyawan
lagi, menulis surat lamaran lagi, menunggu panggilan lagi. Dengan asumsi
adanya peningkatan gelombang PHK akibat kenaikan BBM dan lain-lain,
mencari pekerjaan baru lagi bukan soal yang mudah kan, Pak . . . . ?
Saya
yakin di dunia ini ada banyak orang yang menghadapi masalah antara
kebosanan dan kebimbangan semacam itu, meski detail-detailnya berbeda.
Kita sudah bosan dengan pekerjaan kita saat ini tetapi di sisi lain kita
belum benar-benar punya kejelasan langkah (determination) yang utuh di
kepala tentang pilihan yang baru. Lantas, apa yang harus kita lakukan?
Antara penting dan utama
Penting
manakah modal tangible dan modal intangible? Kalau pertanyaannya adalah
penting mana, tentu harus dijawab keduanya penting. Berusaha butuh
modal material – finansial seperti halnya juga butuh modal akal
(intangible). Tetapi jika pertanyaannya adalah, manakah yang harus
diutamakan lebih dulu, maka pengalaman sejumlah pengusaha dan kesimpulan
pakar di bidang usaha, mengatakan bahwa modal intangible harus lebih
dulu diutamakan.
Tidak
saja Henri Ford yang mengakui ini. Pak Bob Sadino, Pak Cik, dan Bu
Martha Tilar, rupanya juga kesimpulan yang sama. "Banyak sekali orang
yang menerjemahkan modal dengan uang atau benda-benda. Sebetulnya dari
pengalaman saya, modal intangible itu awal yang nantinya diikuti oleh
modal tangible", jelas Pak Bob (majalah Manajemen, April, 2003)
Apa yang dikatakan Pak Bob itu rupanya memiliki esensi yang sama dengan kesimpulan George Torok
(George Torok,The Yukon Spirit: Nurturing Entrepreneurs, www.torok.com)
Torok yang banyak melakukan penelitian terhadap kehidupan para
pengusaha menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya modal tangible
bisa disebut pengusaha. Bisa saja mereka menjadi pengusaha dalam waktu
seminggu sebulan atau beberapa bulan ke depan tetapi selebihnya mereka
bukan lagi pengusaha. Menurut Torok, modal intangible yang dibutuhkan
untuk menjadi pengusaha adalah:
-
Memiliki dorongan batin yang kuat untuk maju (personal drive)
-
Memiliki fokus yang tajam tentang apa yang dilakukanya dan kemana dia akan membawa usahanya (focus)
-
Memiliki kemampuan yang kuat untuk berinovasi (produk, sistem, cara, metode, service, dst)
-
Memiliki sikap mental "Saya bisa" (The I can mental attitude) dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kedatangannya seperti tamu tak diundang
-
Memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan (berdasarkan pengetahuan, pengalaman, skill, intuisi, dan akal sehatnya)
-
Memiliki kemampuan untuk "tampil beda" atau memunculkan keunggulan-keunggulan (kreatif)
Mengapa
harus lebih dulu diutamakan? Saya tidak tahu alasan spiritual-mistikal
yang mengilhami para pengusaha itu berkesimpulan demikian. Tetapi secara
logika, ada sedikitnya dua alasan yang bisa kita pahami:
Pertama,
seandainya kita punya modal tangible yang bagus tetapi kita tidak
memiliki modal intangible yang bagus, maka modal tangible kita bukan
malah akan bertambah. Modal itu akan berkurang dan bahkan bukan tidak
mungkin akan ludes. Contoh-contohnya sudah seabrek di sekeliling kita.
Tetapi seandainya kita punya modal intangible yang bagus sementara kita
tidak memiliki modal tangible yang berlimpah, ini masih bisa diatasi.
Sudah banyak kita saksikan pengusaha yang mengawali usahanya dengan
modal yang sedikit atau pas-pasan bahkan kurang (istilahnya modal
dengkul), tetapi karena ulet, kreatif, tekun, dan punya jaringan yang
luas, akhirnya usaha itu mengalami kemajuan yang menggembirakan.
Kedua,
keahlian tidak bisa dibeli atau tidak bisa dipinjam dari orang lain.
"You cannot buy the skill to be great". Uang bisa dipinjam, gedung bisa
disewa atau boleh numpang sementara, produk bisa ‘nge-sub’ tetapi
keahlian menjalankan bisnis, tentu tak mengenal istil beli, pinjam,
apalagi ngesub atau numpang. Kalau Anda tidak bisa atau tidak ahli, maka
buktinya langsung nyata dalam bentuk antara lain: gagal, rugi, tidak
efektif, tidak efisien, tidak untung, dan lain-lain.
Ada
kebenaran umum (folk wisdom) yang terkadang lupa kita pikirkan secara
masak. Kita sering mendengar ada orang mengatakan, "Orang ahli kan bisa
dibeli. Apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk
menjalankan bisnis kemudian kita tinggal menerima untungnya saja...".
Kebenaran umum seperti ini memang benar tetapi prakteknya tidak benar
bagi semua orang. Bagi mereka yang sudah ahli dalam me-manage manusia,
kebenaran umum ini benar. Tetapi bagi yang belum punya keahlian dalam
hal "managing people", seringkali kebenaran umum itu belum benar di
lapangan. Belum benar di sini artinya rencana kita gagal karena kita
tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita hadapi.
Kesimpulannya,
menerjuni usaha di bidang apapun memang butuh uang, butuh dana, butuh
fasilitas, butuh materi. Modal tangible seperti ini wajib hukumnya.
Tetapi, memiliki modal tangible yang memadai belum dapat menjamin
kelangsungan usaha. Untuk poin yang terakhir ini lebih banyak ditentukan
oleh modal intangible yang kita miliki. Modal intangible di sini adalah
"kualitas SDM" kita yang sesuai dengan bidang usaha yang kita geluti.
Modal yang terakhir inilah yang akan menentukan apakah kita akan menjadi
pengusaha sebulan atau seumur hidup.
Memang
benar bahwa yang diinginkan oleh semua orang adalah memiliki modal
tangible yang berlimpah (punya cadangan uang cash berlipat, punya
fasilitas kerja yang lengkap, dan punya kantor yang representatif) dan
juga modal intangible yang bagus (punya kemampuan berbisnis yang handal,
punya kemampuan mengolah produk yang bagus, punya kemampuan memasarkan
produk yang jitu, punya kemampuan membina jaringan yang kokoh, dan
lain-lain).Cuma saja, keadaan ideal itu sangat jarang terjadi.
Tak
hanya itu, memiliki modal tangible yang bagus dan memiliki modal
intangible yang bagus pula, biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah
sebab, atau sebagai sebuah hasil dari sebuah proses. Artinya, pengusaha
yang memiliki keduanya adalah pengusaha yang sudah berhasil menjalankan
usahanya, bukan orang yang baru memulai berusaha. Untuk orang yang baru
memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi adalah problem yang
muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain: terbatas
modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas, materinya, terbatas fasilitasnya,
terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dan
lain-lain. Karena itulah, maka modal intangible jauh lebih perlu
didahulukan.
STREET SMART
Ada dilema
tersendiri yang harus dihadapi oleh calon pengusaha pemula. Kalau ia
batalkan keinginannya untuk menjadi pengusaha karena takut resiko, takut
pada berbagai kemungkinan buruk, tentu saja ia tidak akan pernah
menjadi pengusaha atau tidak akan pernah paham seluk beluk memulai
usaha. Tetapi, bila ia terus nekad untuk menjadi pengusaha dengan modal
pas-pasan, tidak berarti ini akan ada jaminan berhasil. Gagal dalam arti
"tembakan kita meleset" tentu ini biasa dalam usaha. Tetapi gagal dalam
arti kehabisan peluru, kehilangan sumber penghasilan, menanggung
hutang, kehilangan pekerjaan, tentu ini beda efeknya bagi kita.
Jadi,
bagaimana berkelit dari dilema yang sulit seperti ini? Kalau dijawab
dengan kata-kata, mungkin tidak akan habis kita menulisnya dengan tinta
air laut. Ada sekian jawaban, ada sekian alternatif, dan ada sekian
opsi. Sebagai tambahan dari jawaban yang sudah kita miliki, saya ingin
mengingatkan satu istilah yang sangat populer di dunia usaha. Istilah
itu adalah street smart. Menurut pengertian yang lazim dipahami, street
smart artinya cerdas di lapangan. Gambaran aplikatifnya mungkin pernah
dijelaskan oleh Pak Bob dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun
lalu (Majalah Manajemen, April 2003):
"Cukup
satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu
duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati.
Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus
dan mengatasi masalah."
Street
smart termasuk modal intangible yang luar biasa peranannya. Saya pernah
membaca hasil survei yang menanyakan tentang sejauhmana relevansi
antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan hari ini (ExecuNet:
2005). Hasilnya tercatat seperti berikut:
- 46 % menjawab relevansi itu sangat dekat.
- 39 % menjawab relevansi itu ada
- 15 % menjawab relevansi itu tidak ada sama sekali
- 84 % menjawab begini: "street smarts" is more important in business than an advanced degree.
Jadi,
yang diperlukan dari kita adalah kecermatan, keberanian dan kesiapan.
Kita perlu cermat agar terhindar dari resiko usaha yang bernama
kegagalan dalam bentuk kehabisan peluru atau menanggung hutang yang
berat untuk kita. Kalau bisa, maksimalnya resiko itu hanya berupa
kegagalan dalam bentuk meleset sementara atau belum untung banyak. Kita
perlu keberanian melawan ketakutan yang biasanya membisikkan teror:
"bagaimana nanti kalau gagal", "jangan-jangan nanti...", dan lain-lain.
Selama ketakutan semacam itu belum bisa kita atasi, sebaiknya kita
sembunyikan lebih dulu keinginan kita menjadi pengusaha. Kita juga perlu
kesiapan mental untuk menumbuhkan bangkitnya kecerdasan yang bernama
street smart.
No comments:
Post a Comment