ads ads ads ads

Friday, May 17, 2013

Modal Menjadi Pengusaha

Oleh : Ubaydillah, AN
 Jakarta, 17 April 2006 
 
Dua Modal Utama 

Menjelang tahun baru kemarin, saya pernah menerima email dari seseorang yang isinya kira-kira begini: 
 
Pak, saya agak bingung menghadapi tahun 2006 ini. Seringkali saya sudah merasa bosan pada pekerjaan sekarang ini. Pekerjaannya itu saja-saja, gajinya segitu-gitu aja, dan suasana kerjanya sudah tidak menarik lagi buat saya. Rasanya, langkah saya sudah menthok sampai di sini bila saya memilih untuk terus bekerja di tempat kerja sekarang ini. Obsesi saya saat ini adalah ingin punya usaha sendiri. Cuma saja, saya belum tahu usaha apa yang cocok dengan saya. Ada kawan yang mengajak mendirikan perusahaan kecil-kecilan secara patungan dengan modal senilai harga motor yang saya miliki. Saya ingin meng-iya-kan ajakan itu. Tetapi terkadang saya takut seperti kawan saya yang lain. Awalnya sih ingin punya usaha sendiri tetapi karena bangkrut, akhirnya menjadi karyawan lagi, menulis surat lamaran lagi, menunggu panggilan lagi. Dengan asumsi adanya peningkatan gelombang PHK akibat kenaikan BBM dan lain-lain, mencari pekerjaan baru lagi bukan soal yang mudah kan, Pak . . . . ? 

Saya yakin di dunia ini ada banyak orang yang menghadapi masalah antara kebosanan dan kebimbangan semacam itu, meski detail-detailnya berbeda. Kita sudah bosan dengan pekerjaan kita saat ini tetapi di sisi lain kita belum benar-benar punya kejelasan langkah (determination) yang utuh di kepala tentang pilihan yang baru. Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Antara penting dan utama
 
Penting manakah modal tangible dan modal intangible? Kalau pertanyaannya adalah penting mana, tentu harus dijawab keduanya penting. Berusaha butuh modal material – finansial seperti halnya juga butuh modal akal (intangible). Tetapi jika pertanyaannya adalah, manakah yang harus diutamakan lebih dulu, maka pengalaman sejumlah pengusaha dan kesimpulan pakar di bidang usaha, mengatakan bahwa modal intangible harus lebih dulu diutamakan. 
 
Tidak saja Henri Ford yang mengakui ini. Pak Bob Sadino, Pak Cik, dan Bu Martha Tilar, rupanya juga kesimpulan yang sama. "Banyak sekali orang yang menerjemahkan modal dengan uang atau benda-benda. Sebetulnya dari pengalaman saya, modal intangible itu awal yang nantinya diikuti oleh modal tangible", jelas Pak Bob (majalah Manajemen, April, 2003) 

Apa yang dikatakan Pak Bob itu rupanya memiliki esensi yang sama dengan kesimpulan George Torok
(George Torok,The Yukon Spirit: Nurturing Entrepreneurs, www.torok.com)
 
Torok yang banyak melakukan penelitian terhadap kehidupan para pengusaha menyimpulkan bahwa tidak semua orang yang punya modal tangible bisa disebut pengusaha. Bisa saja mereka menjadi pengusaha dalam waktu seminggu sebulan atau beberapa bulan ke depan tetapi selebihnya mereka bukan lagi pengusaha. Menurut Torok, modal intangible yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha adalah:
  • Memiliki dorongan batin yang kuat untuk maju (personal drive)
  • Memiliki fokus yang tajam tentang apa yang dilakukanya dan kemana dia akan membawa usahanya (focus)
  • Memiliki kemampuan yang kuat untuk berinovasi (produk, sistem, cara, metode, service, dst)
  • Memiliki sikap mental "Saya bisa" (The I can mental attitude) dalam menghadapi persoalan-persoalan yang kedatangannya seperti tamu tak diundang
  • Memiliki kemandirian dalam mengambil keputusan (berdasarkan pengetahuan, pengalaman, skill, intuisi, dan akal sehatnya)
  • Memiliki kemampuan untuk "tampil beda" atau memunculkan keunggulan-keunggulan (kreatif)
Mengapa harus lebih dulu diutamakan? Saya tidak tahu alasan spiritual-mistikal yang mengilhami para pengusaha itu berkesimpulan demikian. Tetapi secara logika, ada sedikitnya dua alasan yang bisa kita pahami: 

Pertama, seandainya kita punya modal tangible yang bagus tetapi kita tidak memiliki modal intangible yang bagus, maka modal tangible kita bukan malah akan bertambah. Modal itu akan berkurang dan bahkan bukan tidak mungkin akan ludes. Contoh-contohnya sudah seabrek di sekeliling kita. Tetapi seandainya kita punya modal intangible yang bagus sementara kita tidak memiliki modal tangible yang berlimpah, ini masih bisa diatasi. Sudah banyak kita saksikan pengusaha yang mengawali usahanya dengan modal yang sedikit atau pas-pasan bahkan kurang (istilahnya modal dengkul), tetapi karena ulet, kreatif, tekun, dan punya jaringan yang luas, akhirnya usaha itu mengalami kemajuan yang menggembirakan. 

Kedua, keahlian tidak bisa dibeli atau tidak bisa dipinjam dari orang lain. "You cannot buy the skill to be great". Uang bisa dipinjam, gedung bisa disewa atau boleh numpang sementara, produk bisa ‘nge-sub’ tetapi keahlian menjalankan bisnis, tentu tak mengenal istil beli, pinjam, apalagi ngesub atau numpang. Kalau Anda tidak bisa atau tidak ahli, maka buktinya langsung nyata dalam bentuk antara lain: gagal, rugi, tidak efektif, tidak efisien, tidak untung, dan lain-lain. 

Ada kebenaran umum (folk wisdom) yang terkadang lupa kita pikirkan secara masak. Kita sering mendengar ada orang mengatakan, "Orang ahli kan bisa dibeli. Apa susahnya kita merekrut sarjana ahli lalu kita gaji untuk menjalankan bisnis kemudian kita tinggal menerima untungnya saja...". Kebenaran umum seperti ini memang benar tetapi prakteknya tidak benar bagi semua orang. Bagi mereka yang sudah ahli dalam me-manage manusia, kebenaran umum ini benar. Tetapi bagi yang belum punya keahlian dalam hal "managing people", seringkali kebenaran umum itu belum benar di lapangan. Belum benar di sini artinya rencana kita gagal karena kita tidak memiliki keahlian yang memadai dengan masalah yang kita hadapi. 

Kesimpulannya, menerjuni usaha di bidang apapun memang butuh uang, butuh dana, butuh fasilitas, butuh materi. Modal tangible seperti ini wajib hukumnya. Tetapi, memiliki modal tangible yang memadai belum dapat menjamin kelangsungan usaha. Untuk poin yang terakhir ini lebih banyak ditentukan oleh modal intangible yang kita miliki. Modal intangible di sini adalah "kualitas SDM" kita yang sesuai dengan bidang usaha yang kita geluti. Modal yang terakhir inilah yang akan menentukan apakah kita akan menjadi pengusaha sebulan atau seumur hidup. 

Memang benar bahwa yang diinginkan oleh semua orang adalah memiliki modal tangible yang berlimpah (punya cadangan uang cash berlipat, punya fasilitas kerja yang lengkap, dan punya kantor yang representatif) dan juga modal intangible yang bagus (punya kemampuan berbisnis yang handal, punya kemampuan mengolah produk yang bagus, punya kemampuan memasarkan produk yang jitu, punya kemampuan membina jaringan yang kokoh, dan lain-lain).Cuma saja, keadaan ideal itu sangat jarang terjadi. 

Tak hanya itu, memiliki modal tangible yang bagus dan memiliki modal intangible yang bagus pula, biasanya terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab, atau sebagai sebuah hasil dari sebuah proses. Artinya, pengusaha yang memiliki keduanya adalah pengusaha yang sudah berhasil menjalankan usahanya, bukan orang yang baru memulai berusaha. Untuk orang yang baru memulai merintis usaha, problem umum yang dihadapi adalah problem yang muncul sebagai akibat adanya keterbatasan, antara lain: terbatas modalnya, terbatas SDM-nya, terbatas, materinya, terbatas fasilitasnya, terbatas dalam mengantisipasi perubahan, terbatas pelanggannya, dan lain-lain. Karena itulah, maka modal intangible jauh lebih perlu didahulukan.

STREET SMART
 
Ada dilema tersendiri yang harus dihadapi oleh calon pengusaha pemula. Kalau ia batalkan keinginannya untuk menjadi pengusaha karena takut resiko, takut pada berbagai kemungkinan buruk, tentu saja ia tidak akan pernah menjadi pengusaha atau tidak akan pernah paham seluk beluk memulai usaha. Tetapi, bila ia terus nekad untuk menjadi pengusaha dengan modal pas-pasan, tidak berarti ini akan ada jaminan berhasil. Gagal dalam arti "tembakan kita meleset" tentu ini biasa dalam usaha. Tetapi gagal dalam arti kehabisan peluru, kehilangan sumber penghasilan, menanggung hutang, kehilangan pekerjaan, tentu ini beda efeknya bagi kita. 
 
Jadi, bagaimana berkelit dari dilema yang sulit seperti ini? Kalau dijawab dengan kata-kata, mungkin tidak akan habis kita menulisnya dengan tinta air laut. Ada sekian jawaban, ada sekian alternatif, dan ada sekian opsi. Sebagai tambahan dari jawaban yang sudah kita miliki, saya ingin mengingatkan satu istilah yang sangat populer di dunia usaha. Istilah itu adalah street smart. Menurut pengertian yang lazim dipahami, street smart artinya cerdas di lapangan. Gambaran aplikatifnya mungkin pernah dijelaskan oleh Pak Bob dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa tahun lalu (Majalah Manajemen, April 2003):

"Cukup satu langkah awal. Ada kerikil saya singkirkan. Melangkah lagi. Bertemu duri saya sibakkan. Melangkah lagi. Terhadang lubang saya lompati. Melangkah lagi. Bertemu api saya mundur. Melangkah lagi. Berjalan terus dan mengatasi masalah." 

Street smart termasuk modal intangible yang luar biasa peranannya. Saya pernah membaca hasil survei yang menanyakan tentang sejauhmana relevansi antara latar belakang pendidikan dengan pekerjaan hari ini (ExecuNet: 2005). Hasilnya tercatat seperti berikut: 

- 46 % menjawab relevansi itu sangat dekat.
- 39 % menjawab relevansi itu ada
- 15 % menjawab relevansi itu tidak ada sama sekali
- 84 % menjawab begini: "street smarts" is more important in business than an advanced degree. 

Jadi, yang diperlukan dari kita adalah kecermatan, keberanian dan kesiapan. Kita perlu cermat agar terhindar dari resiko usaha yang bernama kegagalan dalam bentuk kehabisan peluru atau menanggung hutang yang berat untuk kita. Kalau bisa, maksimalnya resiko itu hanya berupa kegagalan dalam bentuk meleset sementara atau belum untung banyak. Kita perlu keberanian melawan ketakutan yang biasanya membisikkan teror: "bagaimana nanti kalau gagal", "jangan-jangan nanti...", dan lain-lain. Selama ketakutan semacam itu belum bisa kita atasi, sebaiknya kita sembunyikan lebih dulu keinginan kita menjadi pengusaha. Kita juga perlu kesiapan mental untuk menumbuhkan bangkitnya kecerdasan yang bernama street smart.

No comments:

Post a Comment