Tak dipungkiri, bahwa kantor kita, tempat kerja kita,
selain bisa menjadi sumber solusi bagi kebutuhan, keinginan dan
kelancaran hidup kita juga bisa menjadi sumber masalah bagi hidup kita.
Ada puluhan bahkan ratusan masalah setiap hari muncul yang berbeda-beda.
Ada yang hanya cukup dapat kita rasakan sendiri dan tak mungkin kita
utarakan kepada yang lain. Ada yang bisa kita omongkan dengan sesama
sekantor tetapi tidak dengan atasan atau dengan bawahan. Ada yang bisa
kita bawa pulang ke rumah tetapi ada yang sama sekali tak mungkin dibawa
pulang.
Dari sekian masalah yang muncul itu salah satunya
adalah persaingan dengan rekan kerja. Persaingan inipun bisa bermakna
luas seluas lautan hidup ini mulai dari persaingan merebut pendukung,
persaingan perhatian, persaingan sasaran proyek, persaingan kehebatan
kerja, persaingan fasilitas dan seterusnya. Pada dasarnya persaingan
adalah fakta hidup yang selalu akan ada di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Namun, makna dari persaingan itu tergantung dari diri
kita masing-masing. Dalam khazanah ilmu pengetahuan ada dua istilah
yang bunyinya hampir sama tetapi artinya kontras, yaitu kompetisi dan
kongkurensi. Kompetisi berarti persaingan yang diciptakan untuk saling
mengasah keunggulan guna mencapai kemenangan (keunggulan bersaing).
Selama berkompetisi, kita akan melakukan berbagai usaha untuk mengasah
elemen-elemen terbaik dari diri kita sampai ke tingkat yang paling "the
best"
Dengan pengertian seperti ini kemenangan tidak
membutuhkan objek yang dikalahkan. Mengambil istilah dari sastra Jawa,
kemenangan adalah hasil yang dicapai oleh seseorang yang punya watak
(kualitas) kesatria. Menangnya seorang kesatria itu adalah menang yang
tanpa merendahkan (Jawa: ngasorake). Hal ini berbeda dengan kongkurensi
yang secara harfiah punya arti: menaklukkan, mengalahkan, atau
menjatuhkan. Hasil yang dicapai oleh kongkurensi ini bukan winning
tetapi "beating" memukul mundur.
Meskipun persaingan adalah persaingan, sebuah
kenyataan hidup yang tak bisa kita hindari, tetapi kita tetap bisa
memilih maknanya antara kompetisi dan kongkurensi. Perbedaan makna yang
kita pilih inilah yang akan menciptakan gaya praktek kita menjalani
persaingan di tempat kerja.
Reaktif dan Proaktif
Di tingkat sikap mental, ada temuan
dari para ahli yang bisa kita jadikan akar yang dapat membedakan apakah
kita sedang mempraktekkan kompetisi secara kompetitif atau kita sedang
mempraktekkan kompetisi dengan isi kongkurensi. Temuan itu adalah
istilah yang sudah akrab kita dengar yaitu Proaktif dan Reaktif. Awalnya
istilah ini merupakan kata-kata biasa dan umum seperti halnya kata
lainnya. Tetapi begitu kita gunakan kata-kata tersebut dalam kaitannya
dengan makna hidup, maka akan membawa perbedaan besar.
Reaktif di sini adalah hilangnya kesadaran memilih
makna persaingan, sehingga persaingan menjadi sebuah kongkurensi. Begitu
ada isyarat persaingan, maka isyarat itu langsung kita terima sebagai
ajakan untuk saling menjatuhkan, mengalahkan, dan pertunjukan nafsu.
Proaktif adalah kemampuan kita untuk selalu ingat (self-awareness) bahwa
kita tetap masih memiliki pilihan menentukan makna dari persaingan:
bisa kongkurensi, kompetisi, ko-operasi, dst.
Persoalan nanti apakah kita akan meladani tawaran
persaiangan itu sama seperti tawaran yang kita terima, lebih baik atau
lebih buruk, tentu ini urusan yang berbeda. Tetapi, setiap pilihan kita
(proaktif atau pun reaktif) memiliki dampak emosional yang besar karena
di balik pilihan itu, terkandung kekuatan energi yang besar, yang bisa
bersifat negative atau positif. Jika kita yang dikontrol oleh kekuatan
energi negative, kemungkinan besar tanggapan terhadap ajakan bersaing
adalah ledakan reaksi yang membuat kita merasa tak punya pilihan lagi
kecuali harus meladeninya untuk saling menjatuhkan.
Dari praktek hidup, perbedaan antara reaksi dan proaksi ini bisa kita telaah sedikitnya terdapat pada tiga bagian. Pertama,
dari segi landasan, proaksi memiliki landasan pada niat (inisiatif)
yang kita maksudkan untuk mencapai sasaran tertentu. Sementara reaksi,
seringkali tidak memiliki landasan pada niat yang disengajakan. Kedua,
secara proses proaksi adalah sesuatu yang kita usahakan untuk terjadi
(to make it to happen); sedangkan reaksi, adalah sesuatu yang kita
biarkan terjadi (to let it to happen). Ketiga, secara
posisi mental, reaksi adalah menjadi korban ajakan orang lain; sedangkan
proaksi adalah keberanian berkorban. Menjadi korban rasanya berbeda
dengan berkorban baik berkorban untuk diri sendiri dan berkorban untuk
orang lain.
Manfaat Kompetisi
Ketika
kita menjawab tawaran bersaing dari rekan kerja secara proaktif (niat
meladeni) maka banyak sekali manfaat yang bisa kita pilih, antara lain:
1. Keunggulan
Perlombaan
dan persaingan di tempat kerja bisa menunjukkan di mana letak
keunggulan diri kita yang selama ini tidak begitu kita ketahui.
2. Perbandingan
Kita
adalah cermin bagi orang lain dan orang lain adalah cermin bagi kita.
Memasuki wilayah persaingan dan gesekan dengan orang lain akan
menunjukkan apa yang kurang dan apa yang lebih dari kita dengan
bercermin dari mitra bersaing.
3. Kematangan
Gesekan dan perlombaan akan mematangkan kemampuan kita terutama kemampuan dalam menangani konflik dengan orang lain.
Manfaat
demikian sulit kita pilih apabila jurus yang kita gunakan untuk
menanggapi ajakan bersaingan selalu kongkurensi. Padahal, dengan
kongkurensi, kita hanya akan melihat pada "kelemahan" orang lain maupun
diri sendiri. Perbandingan yang kita lakukan dengan kongkurensi bukan
perbandingan yang menghidupkan tetapi perbandingan yang mematikan
(negative comparison game). Konflik dan gesekan malah membuat kita tidak
matang tetapi justru membuat kita patah.
Proses Belajar
Ajaran
spiritual Jawa (kejawen) adalah salah satu dari sekian kekayaan leluhur
kita. Meskipun (mungkin) ajaran ini tidak menjadi mata kuliah wajib di
perguruan tinggi atau universitas saat ini sekalipun di Jawa, tetapi
dalam praktek hidup sehari-hari, gema dan vibrasi riil dari ajaran ini
masih sangat kuat di kehidupan beberapa tokoh senior di negeri ini baik
di bidang bisnis, kepemimpinan publik, karir, atau politik.
Salah satu kearifan yang diajarkan untuk
memperlakukan berbagai persoalan yang timbul dari gesekan antar sesama,
perlombaan hidup atau persaingan prestasi, adalah makna yang terdapat di
balik kalimat simbolik (Dentawiyanjan) dalam abjad kesusasteraan jawa
yang berjumlah 20 (di luar tambahan huruf). Kalimat simbolik itu antara
lain berbunyi:
HO-NO–CO-RO-KO : Ada dua utusan dari hamba Tuhan (manusia)
DO-TO-SO-WO-LO : Keduanya saling memedomani instruksi (tanggung jawab hidup)
PO-DO-JO-YO-NYO : Keduanya meraih kemenangan / kejayaan (winners)
MO-GO-BO-TO-NGO : Keduanya mulia di hadapan Tuhan
Dalam konteks persaingan, petuah di atas mengajarkan
bagaimana kita meraih kemenangan (winning) dari persaingan. Atau seperti
kata Stephen Covey, bagaimana membentuk karakter hidup kuat dari
menjalani persaingan di kantor? Merujuk pada makna petuah itu, gerakan
yang mungkin kita pilih untuk dilakukan adalah:
1. Menjadi pemimpin bagi diri sendiri
Semua manusia di hadapan Tuhan adalah hamba, tetapi
Tuhan menugaskan kita agar menjadi pemimpin (the leader), bagi diri kita
dan di hadapan diri kita. Kepemimpinan diri ini bersumber dari
kemampuan untuk menyuruh dan menjaga diri kita. Kalau kita sudah sanggup
mendorong diri kita untuk menunaikan tugas yang prioritas, penting atau
mendesak dan sudah sanggup melarang diri kita menghindari distraksi
(sesuatu yang tak penting, tak mendesak tetapi menyita banyak waktu dan
energi) berarti kita sudah belajar menjadi pemimpin. Di sini berarti
kita perlu menyuruh diri sendiri untuk menyikapi persaingan secara
proaktif dan belajar melarang diri sendiri menyikapi persaingan secara
reaktif.
2. Mempertanggung jawabkan tujuan hidup.
Pelajaran kedua adalah memiliki rumusan tujuan hidup
yang jelas dan benar-benar kita pertanggung jawabkan. Rumusan tujuan,
baik tertulis di atas kertas atau di kepala tentu sangat diperlukan bagi
seorang pemimpin-diri karena kalau rumusan itu tidak kita miliki, sulit
rasanya kita bisa menyuruh dan melarang. Ibaratnya adalah, andaikan
peraturan itu tidak ada, tak akan ada pelanggaran atau ketataan. Adapun
tanggung jawab di sini adalah kemampuan kita untuk menjawab persoalan
yang muncul selama proses usaha meraih tujuan berlangsung. Persaingan
adalah persoalan dan jawaban yang tersedia antara lain adalah memilih
makna antara proaktif dan reaktif. Pilihan kita akan membedakan apakah
kita hanya asal-asalan menjawab atau bertanggung jawab.
3. Mengasah keunggulan-diri
Bentuk tanggung jawab di sini adalah mengasah
kemampuan yang kita miliki. Memfokuskan diri pada kekuatan yang bisa
kita berdayakan, tidak mudah tergoda untuk merasa harus lebih unggul
dari orang lain dengan cara menurunkan atau menjegal mereka karena yang
kita pedomani adalah tujuan dan tanggung jawab yang kita emban.
Seperti yang diajarkan oleh konsep bisnis modern,
persaingan bisa dimenangkan dengan cara menaikkan keunggulan kompetitif
dan elemen mendasar agar keunggulan itu bisa kita miliki adalah
menciptakan perbedaan dalam pengertian plus. Karena kita ini adalah
makhluk yang secara individu berbeda satu sama lain, maka ketika yang
kita asah adalah keunggulan di dalam diri kita, tentu saja secara
otomatik perbedaan yang akan muncul adalah perbedaan yang mengandung
arti "nilai plus".
Dengan menjadi pemimpin bagi diri kita, yang bisa
menyuruh dan melarang menurut standar tujuan hidup yang sudah kita
rumuskan - untuk menggali potensi yang kita miliki melalui cermin orang
lain, maka persaingan apapun akan tetapi membuat kita sama-sama jaya
(podojoyonyo). Kenyataan sudah selalu menunjukkan bahwa persaingan yang
dijalankan oleh pemimpin besar tidak membuat salah satunya hancur atau
unggul tetapi sama-sama unggul.
Hal ini berbeda ketika kita mempraktekkan persaingan
dengan gaya kongkurensi di mana yang kita inginkan adalah kejatuhan
orang lain (bukan kemenangan-diri). Kongkurensi tak jarang mengantarkan
kita pada hasil akhir seperti yang dikatakan pepatah: kalah-menang jadi
abu. Semoga berguna.
No comments:
Post a Comment