Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 28 September 2004
Julukan kutu loncat ini sering kita alamatkan kepada
orang yang kerapkali pindah dan berpindah-pindah tempat kerja atau
bidang pekerjaan. Dan, kita semua memahami bahwa menjadi kutu loncat
merupakan ekspresi dari sebuah pilihan.
Dari praktek hidup sehari-hari kita temukan
orang-orang yang merasa diuntungkan dengan pernah menjadi kutu loncat.
Karena sering berpindah-pindah tempat kerja atau bidang pekerjaan,
mereka memiliki wawasan "tambahan" tentang isu-isu penting pekerjaan,
pengetahuan tentang perilaku seseorang (human behavior), dan pemahaman
tentang prosedur penyelesaian pekerjaan (ahli). Memang, pengetahuan ini
menambahkan kuantitas tertentu dalam diri si kutu loncat. "Untunglah
saya dulu bekerja di sana bertemu dengan orang bermacam-macam dan pernah
menghadapi berbagai persoalan sehingga membantu saya menghadapi dan
menguasai pekerjaan saya yang sekarang ini".
Tetapi di sisi lain, praktek hidup semacam ini juga
menampilkan bukti di mana tak sedikit orang yang karena pernah menjadi
kutu loncat akhirnya keberadaan karirnya tak jelas, meski sudah
kemana-mana. Pindah tempat kerja kemana-mana tetapi judul akhirnya sama
saja. Pindah bidang pekerjaan apapun tetapi tak memberikan keahlian
tertentu yang mencetak kualitas tertentu. Apa yang membedakan si kutu
loncat kelompok pertama dan si kutu loncat kelompok kedua?
Pembeda Utama
Menurut pendapat Charles Millhuf,
ada tiga hal mendasar yang mempengaruhi perbedaan antara jenis kutu
loncat yang satu dengan yang lain, yaitu:
1. Disiplin hidup yang kita pilih untuk kita taati.
Disiplin tertentu yang kita taati, punya hubungan
korelatif dengan kebiasaan dan karakter kita dalam menghadapi hidup.
Menurut Aristotle, kebiasaan dan karakter adalah dua hal yang mencetak
masa depan kita. "Isi pikiran melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan
kebiasaan. Kebiasaan melahirkan karakter. Karakter melahirkan "nasib".
Pendapat ini bisa kita jadikan dalil bahwa menjadi atau tidak menjadi
kutu loncat akan sama saja pengaruhnya terhadap nasib karir kita, sejauh
kita bisa berdisiplin terhadap hidup yang kita pilih.
Banyak kenyataan yang dapat kita lihat, bahwa
pindahnya tempat atau bidang pekerjaan yang tidak diimbangi dengan
pindahnya kebiasaan yang kita jalani, atau tidak diiringi dengan
berubahnya pola pikir dan sikap, maka perpindahan itu hanya menghasilkan
perubahan fisik yang sama sekali tidak berpengaruh pada peningkatan
kualitas diri. Sehari dua hari kita merasa telah terlahir kembali dengan
perpindahan yang baru kita jalankan, tetapi setelah itu kita menghadapi
persoalan yang akan kita selesaikan dengan cara lama yang sama dan lama
kelaman sama juga menghasilkan situasi yang sama.
Boleh jadi angka gaji bulanan kita berpindah, tetapi
perpindahan angka yang tidak diimbangi dengan kebiasaan dan karakter
serta keahlian kerja, cepat sekali angka itu dibikin tak berdaya oleh
perpindahan regulasi pemerintah terhadap naiknya harga barang / jasa
yang kita gunakan. Judul akhirnya memang tak jauh berbeda. Menurut
pengalaman banyak orang yang sudah berprestasi di pekerjaannya bisa kita
simpulkan bahwa jumlah gaji yang paling kokoh menghadapi naiknya
kebutuhan adalah gaji yang kita terima sebagai balasan dari keahlian
yang kita milikil (How good are you doing!!!)
2. Lingkungan yang kita pilih
Tentang hubungan antara "nasib" dan model lingkungan
(orang) nampaknya tak jauh berbeda antara kesimpulan Charles Millhuf dan
Jim Rohn yang pernah mengatakan bahwa kalau dalam lima tahun ke depan
kita masih tetap menemui orang yang bermodel sama atau membaca buku yang
isinya sama, maka nasib kita akan sama.
Tanpa harus kita kasta-kastakan sendiri sebetulnya
hukum alam ini sudah membuat semacam pengkastaan berdasarkan kualitas
kelompok manusia yang oleh para pakar ilmu pengetahuan disebut Hukum
Asosiasi (The Law of Association) yang kira-kira bisa dijabarkan bahwa
kita secara naluri akan berkelompok dengan orang yang sejenis atau
setara kualitasnya dengan kita.
"Lingkungan memang tidak bisa mencetak diri kita,
tetapi lingkungan yang kita pilih mencerimankan siapa diri kita".
Pendapat demikian sudah klop dengan petuah leluhur yang berwasiat: "Jika
kau ingin mengetahui profil seseorang, tak usah kau tanya langsung
kepada yang bersangkutan tetapi lihatlah lingkungan seperti yang dia
masuki."
Kaitan semua ini dengan kutu loncat bisa kita ambil
pelajaran bahwa pada bagian yang paling menentukan, perpindahan tempat /
bidang pekerjaan tidak banyak menolong pindahnya nasib karir kita
ketika kita berada di dalam lingkaran orang-orang yang modelnya sama
saja dengan orang-orang yang kita jumpai di masa lalu. Model orang yang
kita jumpai di tempat kerja itu meskipun jenis kuantitasnya beragam
tetapi level kualitasnya bisa kita petakan menjadi antara orang yang
punya kemauan keras untuk maju dari lokasi kerjanya dan orang yang
menolak kemauan keras untuk maju (keras kepala).
Kalau kepindahan kita, membawa konsekuensi berubahnya
kualitas lingkungan kita (secara mentalitas, kualitas diri dan
professionalisme serta kematangan - bukan kelompok "borjouis"), maka
perpindahan itu dapat mempengaruhi nasib karir kita. Dan demikian pula
sebaliknya; bahkan kita dengan mudah tertular hal-hal negatif yang ada
di lingkungan yang negatif. Hal yang negatif tak perlu di-aktivasi sudah
aktif sendiri, tetapi untuk hal yang positif, selain butuh aktivasi,
pun juga tak cukup hanya berusaha sekali-sekali.
3. Model paradigma yang kita pilih untuk kita pertahankan.
Pemahaman, nilai, paradigma berpikir atau filsafat
hidup tertentu yang kita anut adalah prinsip yang kita ikuti dalam
menjalani kehidupan. Pemahaman kita tentang diri kita, orang lain, dan
pekerjaan (keadaan) atau tentang apa saja, akan menjadi materi utama
yang akan kita libatkan dalam keputusan atau pilihan hidup kita dari
mulai apa yang kita pikirkan sampai ke tingkat apa yang kita lakukan
terhadap apa yang menimpa kita.
"Nasibmu tidak berubah oleh keadaanmu tetapi berubah oleh pilihanmu" begitu kata Jim Rohn. "Nasib anda tidak ditentukan oleh keadaan yang melingkupi anda tetapi oleh pemahaman anda tentang keadaan", begitu kata Zig Ziglar. "Nasib
anda tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada diri anda (What ON)
tetapi oleh apa yang terjadi di dalam diri anda (what IN)", begitu kesimpulan John C. Maxwell.
Kalau dikaji menurut pendapat Ralph Marston,
paradigma hidup yang dibawa orang ke tempat kerja itu bisa digolongkan
menjadi tiga. Pertama adalah paradigma mengambil (to take). "Apa yang bisa saya ambil dari kantor?." Kedua adalah paradigma mendapatkan (to get). "Apa yang akan diberikan oleh kantor kepada saya?" Ketiga adalah paradigma memberi (to give): "Apa yang bisa saya berikan kepada kantor saya?"
Paradigma ini merupakan muatan diri kita dan tidak
ada hubungannya dengan jabatan, kekayaan atau kekuasaan yang kita
miliki, kecuali kita memilih untuk menghubung-hubungkannya sendiri.
Siapa pun kita tetap punya pilihan untuk menentukan salah satu dari
ketiga paradigma itu. Mengapa? Contohnya adalah paradigma memberi.
Meskipun kita tidak bisa memberikan semua yang diminta orang lain /
instansi tetapi kita tetap memiliki sesuatu yang bisa kita berikan dari
yang paling gratis misalnya saja senyuman sampai ke tingkat pengorbanan
yang mahal nilainya. Sekali lagi, ini persoalan apa yang kita pilih di
kepala kita.
Bicara tentang paradima ini dan hubungannya dengan
nasib karir kita, kalau dirujukkan pada sejarah dunia dan pengalaman
sejumlah orang berprestasi, nampaknya ada kesamaan. Dunia ini hanya
memberikan piala paling banyak kepada orang yang memberikan terlepas
dari apapun yang secara fisik diberikan.
Kalau kita kembalikan ke ajaran agama, paradigma ini
mencetak niat. Perbedaan niat akan menentukan perbedaan "spirit" suatu
tindakan. Perbedaan spirit akan menentukan perbedaan balasan tindakan di
tingkat "rasa" dan "kenyataan" meskipun (biasanya) balasan di tingkat
kenyataan itu seringkali "disembunyikan" sekaligus diletakkan di bagian
akhir dari episode aktivitas sesuai dengan cara kerja Hukum Pembalasan
Akhir (The law of farmer).
Proses Belajar
Pasti tidak semua kebiasaan masa lalu kita itu baik
dan pasti tidak semuanya buruk. Pasti juga, tidak semua orang yang
selama ini kita ajak bergaul itu mendukung meskipun tidak seluruhnya
melawan. Dan pasti juga tidak semua paradigma hidup yang kita bawa
selama ini keliru, meskipun tidak seluruhnya benar. Selalu ada dua sisi
yang kontras yang menunggu sentuhan kreatif kita agar perjalanan karir
kita bisa indah.
Ada banyak acuan yang sudah
dirumuskan oleh para ahli yang bisa kita pilih sebagai jurus
pembelajaran memaknai ke-kutu-loncat-an kita supaya lebih bermakna.
Salah satu dari sekian jurus itu adalah:
1. Menentukan model kebiasaan, model orang dan model paradigma lama yang masih bisa dipertahankan (what to hold on). Untuk mengetahui ini kita membutuhkan perbandingan yang alatnya bisa kita ambil dari pekerjaan lama dan pekerjaan baru.
2. Menentukan kebiasaan, pola pikir, model orang dan model paradigma lama yang sudah tak layak lagi kita abadikan (what to eliminate).
Menurut praktek hidup dan menurut pendapat Seth Godin ternyata:
"Tantangan bagi setiap orang adalah bagaimana membuang ide lama yang
menghalangi realisasi ide baru bukan bagaimana menggagas ide baru"
3. Menentukan program pembelajaran (what to learn).
Pembelajaran adalah proses yang kita lakukan untuk mengubah
ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Kemampuan di
sini bisa berbentuk kuantitas atau kualitas dari kebiasaan, orang yang
kita ajak bergaul dan paradigma dalam arti apa yang kita lakukan untuk
mengabadikan warisan lama yang masih bagus dan apa yang kita lakukan
untuk mengadopsi hal baru yang lebih bagus.
4. Menentukan metode pembelajaran (what to suit)
yang cocok dengan keberadaan dan kemampuan kita. Apa yang sering
membuat kita gagal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik,
adalah adanya faktor belumnya kita menemukan metode yang cocok dengan
diri kita.
5. Melakukan
koreksi konstruktif (membangun). Apa perbedaan antara koreksi
konstruktif dan koreksi destruktif? Salah satu yang membedakan adalah
pada saat apa koreksi itu kita lakukan. Koreksi yang kita lakukan pada
saat kita sedang MENJALANKAN program pembelajaran adalah koreksi
konstruktif: akurat apa yang salah dan apa yang perlu dibetulkan.
Koreksi yang kita lakukan pada saat kita hanya MENGKHAYALKAN perbaikan,
biasanya cenderung destruktif: selain tidak akurat juga sering membikin
kita takut dan membatasi diri kita.
Jurus lain yang juga masih mungkin kita pilih adalah
menggunakan formula Sinergisasi, dan Akumulasi untuk meraih keahlian
menangani pekerjaan (kompetensi). Sinergisasi adalah menemukan bentuk
keunggulan ketiga dari dua perbedaan, yang lama dan yang baru. Jadi,
tidak ada hubungan yang terputus sama sekali antara kenyataan masa lalu
dengan masa kini (misal, dulu kita bekerja di bidang pariwisata dengan
sekarang kita bekerja di bidang pendidikan). Pasti ada bagian yang
saling mendukung meskipun juga ada bagian yang secara "kelihatannya"
kontras.
Akumulasi adalah proses yang kita jalankan untuk
mengumpulkan supaya menjadi terkumpul untuk kita gunakan seperti
layaknya kita menabung uang di bank. Memang, tidak berarti orang yang
sering pengalaman ber-kutu loncat itu ahli di pekerjaannya! Tetapi
pemahaman yang tepat adalah, semua orang ahli dipastikan memiliki
pengalaman, pengetahuan dan pembelajaran yang secara akumulatif lebih
banyak dibanding orang yang tidak/belum ahli. Semoga berguna.
Julukan kutu loncat ini sering kita alamatkan kepada
orang yang kerapkali pindah dan berpindah-pindah tempat kerja atau
bidang pekerjaan. Dan, kita semua memahami bahwa menjadi kutu loncat
merupakan ekspresi dari sebuah pilihan.
Dari praktek hidup sehari-hari kita temukan
orang-orang yang merasa diuntungkan dengan pernah menjadi kutu loncat.
Karena sering berpindah-pindah tempat kerja atau bidang pekerjaan,
mereka memiliki wawasan "tambahan" tentang isu-isu penting pekerjaan,
pengetahuan tentang perilaku seseorang (human behavior), dan pemahaman
tentang prosedur penyelesaian pekerjaan (ahli). Memang, pengetahuan ini
menambahkan kuantitas tertentu dalam diri si kutu loncat. "Untunglah
saya dulu bekerja di sana bertemu dengan orang bermacam-macam dan pernah
menghadapi berbagai persoalan sehingga membantu saya menghadapi dan
menguasai pekerjaan saya yang sekarang ini".
Tetapi di sisi lain, praktek hidup semacam ini juga
menampilkan bukti di mana tak sedikit orang yang karena pernah menjadi
kutu loncat akhirnya keberadaan karirnya tak jelas, meski sudah
kemana-mana. Pindah tempat kerja kemana-mana tetapi judul akhirnya sama
saja. Pindah bidang pekerjaan apapun tetapi tak memberikan keahlian
tertentu yang mencetak kualitas tertentu. Apa yang membedakan si kutu
loncat kelompok pertama dan si kutu loncat kelompok kedua?
Pembeda Utama
Menurut pendapat Charles Millhuf,
ada tiga hal mendasar yang mempengaruhi perbedaan antara jenis kutu
loncat yang satu dengan yang lain, yaitu:
1. Disiplin hidup yang kita pilih untuk kita taati.
Disiplin tertentu yang kita taati, punya hubungan
korelatif dengan kebiasaan dan karakter kita dalam menghadapi hidup.
Menurut Aristotle, kebiasaan dan karakter adalah dua hal yang mencetak
masa depan kita. "Isi pikiran melahirkan tindakan. Tindakan melahirkan
kebiasaan. Kebiasaan melahirkan karakter. Karakter melahirkan "nasib".
Pendapat ini bisa kita jadikan dalil bahwa menjadi atau tidak menjadi
kutu loncat akan sama saja pengaruhnya terhadap nasib karir kita, sejauh
kita bisa berdisiplin terhadap hidup yang kita pilih.
Banyak kenyataan yang dapat kita lihat, bahwa
pindahnya tempat atau bidang pekerjaan yang tidak diimbangi dengan
pindahnya kebiasaan yang kita jalani, atau tidak diiringi dengan
berubahnya pola pikir dan sikap, maka perpindahan itu hanya menghasilkan
perubahan fisik yang sama sekali tidak berpengaruh pada peningkatan
kualitas diri. Sehari dua hari kita merasa telah terlahir kembali dengan
perpindahan yang baru kita jalankan, tetapi setelah itu kita menghadapi
persoalan yang akan kita selesaikan dengan cara lama yang sama dan lama
kelaman sama juga menghasilkan situasi yang sama.
Boleh jadi angka gaji bulanan kita berpindah, tetapi
perpindahan angka yang tidak diimbangi dengan kebiasaan dan karakter
serta keahlian kerja, cepat sekali angka itu dibikin tak berdaya oleh
perpindahan regulasi pemerintah terhadap naiknya harga barang / jasa
yang kita gunakan. Judul akhirnya memang tak jauh berbeda. Menurut
pengalaman banyak orang yang sudah berprestasi di pekerjaannya bisa kita
simpulkan bahwa jumlah gaji yang paling kokoh menghadapi naiknya
kebutuhan adalah gaji yang kita terima sebagai balasan dari keahlian
yang kita milikil (How good are you doing!!!)
2. Lingkungan yang kita pilih
Tentang hubungan antara "nasib" dan model lingkungan
(orang) nampaknya tak jauh berbeda antara kesimpulan Charles Millhuf dan
Jim Rohn yang pernah mengatakan bahwa kalau dalam lima tahun ke depan
kita masih tetap menemui orang yang bermodel sama atau membaca buku yang
isinya sama, maka nasib kita akan sama.
Tanpa harus kita kasta-kastakan sendiri sebetulnya
hukum alam ini sudah membuat semacam pengkastaan berdasarkan kualitas
kelompok manusia yang oleh para pakar ilmu pengetahuan disebut Hukum
Asosiasi (The Law of Association) yang kira-kira bisa dijabarkan bahwa
kita secara naluri akan berkelompok dengan orang yang sejenis atau
setara kualitasnya dengan kita.
"Lingkungan memang tidak bisa mencetak diri kita,
tetapi lingkungan yang kita pilih mencerimankan siapa diri kita".
Pendapat demikian sudah klop dengan petuah leluhur yang berwasiat: "Jika
kau ingin mengetahui profil seseorang, tak usah kau tanya langsung
kepada yang bersangkutan tetapi lihatlah lingkungan seperti yang dia
masuki."
Kaitan semua ini dengan kutu loncat bisa kita ambil
pelajaran bahwa pada bagian yang paling menentukan, perpindahan tempat /
bidang pekerjaan tidak banyak menolong pindahnya nasib karir kita
ketika kita berada di dalam lingkaran orang-orang yang modelnya sama
saja dengan orang-orang yang kita jumpai di masa lalu. Model orang yang
kita jumpai di tempat kerja itu meskipun jenis kuantitasnya beragam
tetapi level kualitasnya bisa kita petakan menjadi antara orang yang
punya kemauan keras untuk maju dari lokasi kerjanya dan orang yang
menolak kemauan keras untuk maju (keras kepala).
Kalau kepindahan kita, membawa konsekuensi berubahnya
kualitas lingkungan kita (secara mentalitas, kualitas diri dan
professionalisme serta kematangan - bukan kelompok "borjouis"), maka
perpindahan itu dapat mempengaruhi nasib karir kita. Dan demikian pula
sebaliknya; bahkan kita dengan mudah tertular hal-hal negatif yang ada
di lingkungan yang negatif. Hal yang negatif tak perlu di-aktivasi sudah
aktif sendiri, tetapi untuk hal yang positif, selain butuh aktivasi,
pun juga tak cukup hanya berusaha sekali-sekali.
3. Model paradigma yang kita pilih untuk kita pertahankan.
Pemahaman, nilai, paradigma berpikir atau filsafat
hidup tertentu yang kita anut adalah prinsip yang kita ikuti dalam
menjalani kehidupan. Pemahaman kita tentang diri kita, orang lain, dan
pekerjaan (keadaan) atau tentang apa saja, akan menjadi materi utama
yang akan kita libatkan dalam keputusan atau pilihan hidup kita dari
mulai apa yang kita pikirkan sampai ke tingkat apa yang kita lakukan
terhadap apa yang menimpa kita.
"Nasibmu tidak berubah oleh keadaanmu tetapi berubah oleh pilihanmu" begitu kata Jim Rohn. "Nasib anda tidak ditentukan oleh keadaan yang melingkupi anda tetapi oleh pemahaman anda tentang keadaan", begitu kata Zig Ziglar. "Nasib
anda tidak ditentukan oleh apa yang terjadi pada diri anda (What ON)
tetapi oleh apa yang terjadi di dalam diri anda (what IN)", begitu kesimpulan John C. Maxwell.
Kalau dikaji menurut pendapat Ralph Marston,
paradigma hidup yang dibawa orang ke tempat kerja itu bisa digolongkan
menjadi tiga. Pertama adalah paradigma mengambil (to take). "Apa yang bisa saya ambil dari kantor?." Kedua adalah paradigma mendapatkan (to get). "Apa yang akan diberikan oleh kantor kepada saya?" Ketiga adalah paradigma memberi (to give): "Apa yang bisa saya berikan kepada kantor saya?"
Paradigma ini merupakan muatan diri kita dan tidak
ada hubungannya dengan jabatan, kekayaan atau kekuasaan yang kita
miliki, kecuali kita memilih untuk menghubung-hubungkannya sendiri.
Siapa pun kita tetap punya pilihan untuk menentukan salah satu dari
ketiga paradigma itu. Mengapa? Contohnya adalah paradigma memberi.
Meskipun kita tidak bisa memberikan semua yang diminta orang lain /
instansi tetapi kita tetap memiliki sesuatu yang bisa kita berikan dari
yang paling gratis misalnya saja senyuman sampai ke tingkat pengorbanan
yang mahal nilainya. Sekali lagi, ini persoalan apa yang kita pilih di
kepala kita.
Bicara tentang paradima ini dan hubungannya dengan
nasib karir kita, kalau dirujukkan pada sejarah dunia dan pengalaman
sejumlah orang berprestasi, nampaknya ada kesamaan. Dunia ini hanya
memberikan piala paling banyak kepada orang yang memberikan terlepas
dari apapun yang secara fisik diberikan.
Kalau kita kembalikan ke ajaran agama, paradigma ini
mencetak niat. Perbedaan niat akan menentukan perbedaan "spirit" suatu
tindakan. Perbedaan spirit akan menentukan perbedaan balasan tindakan di
tingkat "rasa" dan "kenyataan" meskipun (biasanya) balasan di tingkat
kenyataan itu seringkali "disembunyikan" sekaligus diletakkan di bagian
akhir dari episode aktivitas sesuai dengan cara kerja Hukum Pembalasan
Akhir (The law of farmer).
Proses Belajar
Pasti tidak semua kebiasaan masa lalu kita itu baik
dan pasti tidak semuanya buruk. Pasti juga, tidak semua orang yang
selama ini kita ajak bergaul itu mendukung meskipun tidak seluruhnya
melawan. Dan pasti juga tidak semua paradigma hidup yang kita bawa
selama ini keliru, meskipun tidak seluruhnya benar. Selalu ada dua sisi
yang kontras yang menunggu sentuhan kreatif kita agar perjalanan karir
kita bisa indah.
Ada banyak acuan yang sudah
dirumuskan oleh para ahli yang bisa kita pilih sebagai jurus
pembelajaran memaknai ke-kutu-loncat-an kita supaya lebih bermakna.
Salah satu dari sekian jurus itu adalah:
1. Menentukan model kebiasaan, model orang dan model paradigma lama yang masih bisa dipertahankan (what to hold on). Untuk mengetahui ini kita membutuhkan perbandingan yang alatnya bisa kita ambil dari pekerjaan lama dan pekerjaan baru.
2. Menentukan kebiasaan, pola pikir, model orang dan model paradigma lama yang sudah tak layak lagi kita abadikan (what to eliminate).
Menurut praktek hidup dan menurut pendapat Seth Godin ternyata:
"Tantangan bagi setiap orang adalah bagaimana membuang ide lama yang
menghalangi realisasi ide baru bukan bagaimana menggagas ide baru"
3. Menentukan program pembelajaran (what to learn).
Pembelajaran adalah proses yang kita lakukan untuk mengubah
ketidakmampuan masa lalu menjadi bentuk kemampuan baru. Kemampuan di
sini bisa berbentuk kuantitas atau kualitas dari kebiasaan, orang yang
kita ajak bergaul dan paradigma dalam arti apa yang kita lakukan untuk
mengabadikan warisan lama yang masih bagus dan apa yang kita lakukan
untuk mengadopsi hal baru yang lebih bagus.
4. Menentukan metode pembelajaran (what to suit)
yang cocok dengan keberadaan dan kemampuan kita. Apa yang sering
membuat kita gagal dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik,
adalah adanya faktor belumnya kita menemukan metode yang cocok dengan
diri kita.
5. Melakukan
koreksi konstruktif (membangun). Apa perbedaan antara koreksi
konstruktif dan koreksi destruktif? Salah satu yang membedakan adalah
pada saat apa koreksi itu kita lakukan. Koreksi yang kita lakukan pada
saat kita sedang MENJALANKAN program pembelajaran adalah koreksi
konstruktif: akurat apa yang salah dan apa yang perlu dibetulkan.
Koreksi yang kita lakukan pada saat kita hanya MENGKHAYALKAN perbaikan,
biasanya cenderung destruktif: selain tidak akurat juga sering membikin
kita takut dan membatasi diri kita.
Jurus lain yang juga masih mungkin kita pilih adalah
menggunakan formula Sinergisasi, dan Akumulasi untuk meraih keahlian
menangani pekerjaan (kompetensi). Sinergisasi adalah menemukan bentuk
keunggulan ketiga dari dua perbedaan, yang lama dan yang baru. Jadi,
tidak ada hubungan yang terputus sama sekali antara kenyataan masa lalu
dengan masa kini (misal, dulu kita bekerja di bidang pariwisata dengan
sekarang kita bekerja di bidang pendidikan). Pasti ada bagian yang
saling mendukung meskipun juga ada bagian yang secara "kelihatannya"
kontras.
Akumulasi adalah proses yang kita jalankan untuk
mengumpulkan supaya menjadi terkumpul untuk kita gunakan seperti
layaknya kita menabung uang di bank. Memang, tidak berarti orang yang
sering pengalaman ber-kutu loncat itu ahli di pekerjaannya! Tetapi
pemahaman yang tepat adalah, semua orang ahli dipastikan memiliki
pengalaman, pengetahuan dan pembelajaran yang secara akumulatif lebih
banyak dibanding orang yang tidak/belum ahli. Semoga berguna.
No comments:
Post a Comment