ads ads ads ads

Thursday, May 2, 2013

Bolehkah Perusahaan Tidak Memberikan Tunjangan Melahirkan?

Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU Jamsostek”) dan peraturan-peraturan pelaksananya. Selain itu, kami juga berasumsi bahwa asuransi untuk persalinan yang tidak diikutkan oleh perusahaan untuk wanita tersebut maksudnya adalah asuransi kesehatan lain di luar jaminan sosial tenaga kerja.
 
Mengenai manfaat asuransi untuk melahirkan bagi karyawan wanita dianggap sudah didapat/ditanggung (di-cover) oleh asuransi suami karyawan wanita tersebut, kami berasumsi bahwa yang Anda maksud adalah hak karyawan wanita tersebut sudah termasuk dalam jaminan sosial tenaga kerja yang diperoleh oleh si suami.
 
Pada dasarnya, tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan tunjangan melahirkan kepada karyawannya. Ini dapat dilihat dari Pasal 94 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 Tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah, yang tidak mengatur secara terperinci mengenai kewajiban bagi perusahaan untuk memberikan tunjangan melahirkan kepada karyawannya.
 
Pasal 94 UU Ketenagakerjaan:
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
 
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa setiap tenaga kerja berhak atas jamsostek berdasarkan Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan serta Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 17 UU Jamsostek:
 
Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
“Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja.”
 
Pasal 3 ayat (2) UU Jamsostek:
“Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.”
 
Pasal 17 UU Jamsostek:
Pengusaha dan tenaga kerja wajib ikut serta dalam program jaminan sosial tenaga kerja.
 
Ruang lingkup program jamsostek berdasarkan Pasal 6 UU Jamsostek meliputi:
a.    Jaminan Kecelakaan Kerja (“JKK”);
b.    Jaminan Kematian (“JK”);
c.    Jaminan Hari Tua (“JHT”);
d.    Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (“JPK”).
 
Keempat program tersebut, 3 (tiga) dalam bentuk jaminan uang (JKK, JK dan JHT), dan 1 (satu) dalam bentuk jaminan pelayanan (JPK). Lebih jauh, simak artikel Harus Jamsostek atau Cukup Asuransi Kesehatan?
 
Dari empat program di atas, pengusaha wajib mengikutkan pekerjanya ke dalam tiga program selain JPK. Khusus untuk JPK, bagi pengusaha yang telah menyelenggarakan program JPK sendiri bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket JPK dasar PT Persero Jamsostek (JPK-Dasar) tidak wajib ikut dalam program JPK yang diselenggarakan oleh PT Persero Jamsostek. Demikian ketentuan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2012 (“PP Jamsostek”)..
 
Akan tetapi, karena dalam hal ini Anda mengatakan bahwa wanita tersebut tidak mendapatkan asuransi kesehatan lain, maka pengusaha seharusnya mengikutsertakan wanita tersebut dalam program jamsostek yang meliputi JPK.
 
Jaminan pemeliharaan kesehatan itu sendiri meliputi (Pasal 16 ayat [2] UU Jamsostek dan Pasal 35 PP Jamsostek):
a.    rawat jalan tingkat pertama;
b.    rawat jalan tingkat lanjutan;
c.    rawat inap;
d.    pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan;
e.    penunjang diagnostik;
f.     pelayanan khusus;
g.    pelayanan gawat darurat.
 
Yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan (Penjelasan Pasal 16 ayat [2] UU Jamsostek dan Penjelasan Pasal 35 PP Jamsostek).
 
Jadi, berdasarkan ketentuan di atas diketahui bahwa pekerja berhak mendapatkan manfaat minimal pertolongan persalinan seperti yang diberikan JPK. 
 
JPK itu sendiri merupakan hak dari tenaga kerja, suami atau isteri tenaga kerja, dan anak dari tenaga kerja tersebut (Pasal 16 ayat [1] UU Jamsostek). Ini berarti bahwa wanita tersebut, sebagai tenaga kerja berhak mendapatkan JPK dari perusahaan tempat dia bekerja. Dan jika dilihat dari segi suaminya sebagai pekerja, wanita tersebut juga berhak mendapatkan JPK dari perusahaan tempat suaminya bekerja.
 
Mengenai upaya yang dapat dilakukan, sebagaimana pernah dibahas dalam artikel yang berjudul Bantuan Biaya Persalinan yang Wajib Ditanggung Perusahaan, dapat dilakukan dengan cara-cara kekeluargaan yakni dengan menyampaikan kepada pihak perusahaan apa yang menjadi hak karyawan wanita tersebut dan kewajiban perusahaan. Jika upaya tersebut tidak membuahkan hasil, karyawan wanita tersebut bisa melaporkannya ke Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan setempat.
 
Upaya akhir yang dapat diambil adalah melaporkan perusahaan tersebut secara pidana ke pihak kepolisian atau petugas pengawas ketenagakerjaan setempat. Ancaman pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutkan pekerjanya dalam program jamsostek (juga tidak diikutsertakan asuransi kesehatan) adalah hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sesuai Pasal 29 ayat (1) UU Jamsostek.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
4.    Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah.

Setiap artikel dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline.

No comments:

Post a Comment