Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 13 Juli 2004
Studi ilmiah pernah melaporkan sebuah temuan bahwa karyawan yang punya motivasi kerja hanya
untuk mendapatkan gaji, ternyata memiliki perbedaan tingkat motivasi
kerja dan kreativitas dibanding dengan karyawan yang punya motivasi
kerja untuk meraih prestasi. Karyawan kelompok kedua ini lebih kreatif
dan lebih besar kemauannya untuk maju dibanding karyawan kelompok
pertama (Unlocking The Creativity Within: Executive Update: May 2000).
Mungkin ada pertanyaan, bisakah kita ngantor
tanpa niat untuk mendapatkan gaji? Kalau ini kita jawab BISA, tentu saja
ini diprotes banyak orang: mengada-ngada, tidak rasional, tidak alamiah
dan sudah pasti bertentangan dengan kenyataan hidup. Lalu apakah yang
membedakan kedua kelompok karyawan itu? Sekali lagi, ini bukan
mempersoalkan apakah gaji itu penting atau tidak penting, karena
jawabannya sudah pasti penting buat semua orang. Hal yang membedakan
adalah apakah yang menjadi sasaran kita di kantor? Apakah sasaran kita hanya uang atau selain uang?
Hanya Uang ATAU Selain Uang
Sedikitnya ada dua sikap yang biasa kita gunakan
dalam menyikapi pekerjaan kita. Pertama, sikap menjadikan uang sebagai
sasaran tunggal (Hanya Uang) dan kedua, sikap menempatkan uang sebagai
salah satu dari sasaran aktivitas (Selain Uang).
Hal yang harus kita sadari bersama bahwa perbedaan
pilihan, akan membawa dampak mental yang berbeda. Dan, menurut cara
kerja Hukum Kreasi (the law of creation) yang bekerja di alam
raya ini, karena punya dampak mental yang berbeda maka berbeda pula
dampaknya di tingkat nyata di kemudian hari seperti yang ditemukan hasil
studi ilmiah di atas.
Ketika yang kita pilih hanya uang maka secara alamiah
akan hanya uang pula yang akan kita dapatkan, tetapi ketika kita
memilih "selain" uang, maka tidak hanya uang pula yang akan kita
dapatkan. Sampai di tingkat kalkulasi ini mungkin masih terlalu jauh
hubungannya dengan persoalan motivasi dan kreativitas. Mengapa demikian?
Secara umum lebih enak mendapatkan uang ketimbang mendapatkan imbalan
kerja lain selain uang. Gampangnya, kalau uang yang kita miliki, orang
se-kreatif apapun bisa kita ‘beli’. Lalu di mana letak persoalan
yang bisa menjelaskan hubungan yang relevan?
Alam Pikiran & Uang
Jika uang dikatakan sebagai sasaran, berarti posisi
uang adalah Akibat dari sebuah Sebab. Uang dengan kata lain adalah hasil
pencapaian usaha tertentu yang kita niatkan untuk mendapatkan uang.
Kalau posisinya menduduki kursi Akibat, berarti uang tidak punya
kekuasan sebagai faktor penentu. Usahalah yang menjadi penentunya.
Jika usaha yang menjadi penentu maka semua usaha itu
punya konsekuensi yang tidak bisa kita pilih, yaitu antara meleset dan
tepat sasaran. Berdasarkan tabiat hukum alam, meskipun semua usaha itu
sudah dijamin pasti mendapatkan balasan tetapi balasan itu variatif: ada
yang langsung, diundur, diberikan sebagian, dan diberikan keseluruhan.
Balasan yang variatif inilah yang memiliki hubungan korelatif dengan
pola penyikapan yang kita pilih.
Ketika kita memilih Hanya Uang sementara balasan dari
usaha kita oleh hukum alam atas rahasia tertentu diundur atau diberikan
sebagiannya, maka kenyataan inilah yang membuat kita merasa tidak
mendapatkan apa-apa. Hal ini akan berbeda di tingkat beban mental dengan
ketika kita memilih pola penyikapan Selain Uang yang kita maknai secara
optimal. Berbeda di tingkat beban mental akan berbeda pula jenis
langkah yang akan kita ambil sebagai jawaban dari kenyataan demikian.
Hal lain yang perlu kita perhatikan juga adalah cara
kerja pikiran. Teori ilmiah mengatakan bahwa pikiran manusia itu punya
kemampuan yang lebih dahsyat dari yang paling optimal sanggup kita
bayangkan. Kalau kita belum sanggup membuktikan itu setidaknya kita
sudah bisa melihat bukti-bukti dari orang-orang yang sudah sanggup.
Belajar dari kebiasaan mereka itu, pola penyikapan yang dipilih adalah
Selain Uang.
Dari sejumlah bukti faktual yang berkembang ternyata
ada yang sepertinya paradoks antara apa yang sebenarnya dan apa yang
kita benarkan tentang cara kerja pikiran. Menurut yang sebenarnya
pikiran ini malah lebih senang kalau diberi tugas mencapai sasaran yang
banyak. Pikiran ini - menurut penjelasan pakar pendidikan - kalau
dinyalakan tidak berarti bahan bakarnya akan habis tetapi malah makin
bertambah.
Tetapi umumnya kita malah membenarkan yang
sebaliknya, yaitu memberi sasaran pendek dan sedikit, termasuk salah
satunya adalah Hanya Uang. Pikiran yang tidak kita beri tugas untuk
memikirkan sasaran hidup atau kita beri "makanan" berupa tantangan dan
pelajaran hidup yang sedikit sekali, terbatas, terpusat pada uang.
Andaikan pengakuan sejumlah ahli dan bukti faktual
itu ternyata tidak benar, dengan menugaskan pikiran untuk mencapai
sasaran yang banyak, namun hal itu bukanlah tindakan yang melanggar
hukum dan tidak membuat kita rugi. Tetapi alangkah ruginya kita kalau
ternyata benar. Mestinya kita punya kemampuan untuk mencapai sasaran dan
tantangan kerja yang banyak tetapi gara-gara kita memilih Hanya Uang
akhirnya yang lain-lain tidak kita dapatkan.
Hal lain yang bisa digunakan untuk menjelaskan kepada
diri kita tentang hubungan antara sasaran dan kreativitas adalah bagian
misteri dari pintu rahasia uang. Ditinjau dari konsep bisnis modern,
dan kenyataan yang kita saksikan, salah satu pintu rahasia uang itu
ternyata bukan pekerjaan tetapi sentuhan kreativitas yang kita gunakan
untuk menjalankan pekerjaan.
Pada tingkat yang paling spesifik semua benda dan
semua pekerjaan di dunia ini akan menjadi uang atau akan tidak menjadi
uang bukan karena bendanya (komoditas) tetapi lebih karena, ditangani
oleh siapa benda itu? Besi tua bagi kebanyakan kita hanyalah besi tua
tetapi akan berbeda lagi kalau besi tua itu disentuh oleh tangan kreatif
pengusaha besi. "Find need and Fill it", kata konsep bisnis.
Saya yakin bahwa semua orang punya definisi sama
tentang jumlah uang yang sedikit dan jumlah uang yang banyak. Tetapi di
tingkat paling riil dan pribadi, banyak dan sedikitnya jumlah uang
menjadi relatif. Sedikit bagi Capres dan Cawapres bisa jadi terlalu
banyak bagi orang lain. Nah, jika kita bicara jumlah pendapatan (uang)
dalam wilayah riil-pribadi maka yang perlu kita audit lagi adalah, boleh
jadi bukan karena pekerjaaan itu, kantor itu, atau bidang itu yang
tidak sanggup membukakan sumber keuangan bagi kita tetapi jangan-jangan
gara-gara pikiran kita yang kurang kreatif dengan hanya menangani
sedikit tantangan dan mengarahkan pikiran pada sasaran yang terbatas.
Inipun sepertinya muncul semacam paradok lagi kalau
kita rujukkan pada pengalaman para pebisnis yang sudah banyak
menghasilkan uang. Henry Ford tidak meletakkan uang sebagai dewa penentu
keamanan tetapi justru menjadikan pengetahuan, pengalaman dan keahlian
sebagai sumber keamanan usahanya. Peter Drucker merumuskan bahwa tujuan
bisnis bukan uang tetapi menciptakan pelanggan. Tentu sebuah kesimpulan
yang terburu-buru dan bertentangan kalau kita tafsirkan Ford sudah tidak
butuh uang lagi atau Drucker mengeluarkan nasehat konyol untuk para
pebisnis
Tafsiran yang kira-kira tidak bertentangan adalah,
ilmu pengetahuan, pengalaman (praktek) dan keahlian adalah kunci
kreativitas mengolah peluang-peluang bisnis. Sebanyak apapun peluang
tetapi kalau tiga kunci itu tidak kita miliki, peluang itu adalah
peluang yang hampa. Demikian juga dengan pelanggan. Bisnis apapun ketika
sudah bicara keuntungan maka sumber keuntungan itu adalah pelanggan.
Sebesar apapun modal sebuah bisnis tetapi kalau tidak memiliki pelanggan
ya mau tidak mau akan habis.
Proses Belajar
Keikhlasan ini sudah masuk dalam ajaran leluhur jauh
sebelum kita dilahirkan. Sebagai ajaran sikap mental, memang terkadang
terlalu sempit dan seringkali berlawanan ketika kita memaknai keikhlasan
ini hanya sebatas pada persoalan meneriama imbalan dan tidak menerima
imbalan.
Dalam ajaran sikap mental terhadap kenyataan hidup,
keihklasan, adalah melakukan sesuatu dengan sasaran tak terbatas pada
satu objek sasaran saja. Pakar pengetahuan seperti Abraham Maslow dan
lain-lain, menamakan sasaran tak terbatas itu dengan prestasi,
aktualisasi-diri, atau optimalisasi potensi yang tak mengenal batas.
Adapun persoalan imbalan dalam konteks hubungan kita
dengan manusia, tentu tergantung kesepakatan yang telah kita buat.
Namun, kita tetap bisa mengajarkan diri kita untuk ikhlas baik dengan
imbalan atau tanpa imbalan. Sebab, pokok utamanya adalah sikap mental
dalam menjalankan tanggung jawab hidup. Karena keikhlasan ini merupakan
elemen hidup, maka semua orang sebetulnya punya kapasitas untuk belajar
mempraktekkan ajaran keikhlasan ke tingkat yang lebih tinggi untuk
membangun sikap positif terhadap kerja, selain uang semata.
Makna tak terbatas ini akan sangat berguna dalam
hubungannya dengan motivasi dan kreativitas kerja, terutama ketika kita
tidak mendapatkan apa yang kita inginkan. Siapa pun bisa mengatakan,
bahwa kantor yang fair, gaji yang tinggi, lingkungan kerja yang enak,
atau bisnis yang berjalan lancar itu akan membuat orang bersemangat atau
hidup pikirannya. Tetapi yang perlu kita sadari, semua itu adalah
temuan yang benar di atas teks, dan selama itu yang terjadi, tentu
namanya bukan persoalan hidup.
Pertanyaannya, bagaimana supaya
motivasi kerja kita tetap tinggi dan kreativitas kita tetap hidup, pada
saat gaji di rasa kurang memadai, jarak ke kantor jauh dan macet,
fasilitas kurang memadai, dsb. Di sinilah kita perlu mencari kebahagiaan
yang dapat ditemukan, melalui keikhlasan diri dalam berkarya dan
berkreasi. Dengan cara itu, setiap pekerjaan dan kreasi akan menjadi
sebuah oase yang memberikan kesegaran, dan pertumbuhan bagi setiap orang
dalam karya dan usahanya. Jadi, jika kita memusatkan pikiran pada
"bagaimana mengembangkan diri dari dalam", maka kita akan terpacu dan
termotivasi untuk menghadapi tantangan yang jauh lebih besar dan
bernilai pada diri kita, karena hasil (uang) bukan lagi menjadi sebuah
tujuan, namun "the process" – penciptaan, penguasaan,
penaklukkan dari setiap tantangan - itulah yang jauh lebih bermakna dan
memberikan kepuasan dalam bekerja. Semoga berguna!
No comments:
Post a Comment