Masalah Internal
Menjadi karyawan baru atau pegawai baru kerapkali
tidak mudah. Sudah mencari pekerjaannya setengah mati susahnya, soal
adaptasi dengan lingkungan baru pun kerap menjadi masalah tersendiri.
Keadaan semacam inilah yang kerap membuat para karyawan baru harus
menelan pengalaman pahit. Mereka akhirnya mengambil keputusan untuk
berhenti dengan alasan tidak tahan atau terpaksa. Buntut-buntutnya cari
pekerjaan lagi.
Kalau melihat praktek sehari-hari, rupanya kejadian
demikian tidak hanya menimpa orang yang baru pertama kali kerja. Orang
yang sudah punya pengalaman kerja sekali pun sering terhambat oleh soal
adaptasi ini. Intinya, menjadi karyawan baru atau menjadi orang baru di
tempat yang sama sekali baru itu tidak bisa dibilang mudah seratus
persen. Ada sejumlah kesulitan, yang kalau tidak ditangani secara bijak,
dapat membuat rencana kita gagal atau terbengkalai di tengah jalan.
Dari praktek di lapangan, munculnya kesulitan itu
bisa bersumber dari dalam diri kita dan juga ada yang bersumber dari
atasan, pimpinan atau manajemen. Apa saja yang bersumber dari diri kita?
Ini juga tidak bisa didetailkan satu persatu di sini. Sekedar untuk
sebagai acuan, saya ingin memakai laporan sebuah studi. Meski ini
didasarkan pada angkatan kerja di Amerika, tetapi rasanya tidak ada
ruginya juga kalau kita menjadikannya sebagai semacam pedoman untuk
memperbaiki diri. Dalam laporan berjudul "Are They Really Ready To Work"
(The Conference Board, Inc: 2006), ada beberapa poin penting yang bisa
dicatat.
1. Skill atau kompetensi.
Skill atau kompetensi adalah sesuatu yang
membuat kita mampu mengerjakan pekerjaan. Motivasi adalah sesuatu yang
membuat kita mau mengerjakan pekerjaan. Sedangkan sikap adalah sesuatu
yang akan menentukan sebagus apa pekerjaan itu akan kita kerjakan. Kalau
skill kita defisit menurut ukuran tuntutan pekerjaan (workforce)
di tempat yang baru itu, ya mau tidak mau memang ini masalah dari kita
dan buat kita. Jika kita kebetulan masuk di perusahaan yang memiliki
unit atau badan EAP (Employee Assistance Program), dan lain-lain, kita bisa memanfaatkan sarana tersebut untuk meng-up grade skills
atau kemampuan kita. Kalau tidak tersedia., kita yang harus inisiatif
dan kreatif menambah ketrampilan dan kemampuan dengan sarana dan situasi
yang ada. Itu pun sudah menjadi ujian dari kemampuan kita to struggle beyond our own laziness and inner obstacle.
2. Profesionalisme dan etika kerja.
Profesionalkah kita? Ada pendapat yang menyatakan
bahwa orang akan disebut profesional kalau yang bersangkutan berpedoman
pada nilai-nilai dan etika kerja atau profesi yang disandangnya seperti
orang memedomani / mengimani ajaran agamanya dalam arti berpegang teguh.
Ini misalnya saja komitmen terhadap tugas, punya disiplin kerja, punya
semangat dedikasi yang tinggi, mentaati etika, kode etik atau kesopanan,
dan seterusnya..
3. Komunikasi (lisan & tulisan).
Kekurangan dalam hal kemampuan berkomunikasi, baik
lisan dan tulisan, inipun ikut mempersulit posisi kita di tempat yang
baru. Untuk yang baru lulus dari sekolah, biasanya masih belum terlatih
menggunakan bahasa-bahasa yang pas untuk orang yang pas di tempat kerja.
Ini bisa terjadi dari mulai yang kecil, misalnya memanggil orang,
menyatakan pendapat, menjawab telepon yang masuk, dan lain-lain. Bagi
yang sudah pernah kerja di tempat lain, kita pun perlu berhati-hati di
tempat baru ini. Kenapa? Bahasa yang kita ucapkan itu tidak selamanya
diartikan sama oleh orang yang berbeda di tempat yang berbeda.
4. Kerjasama atau tim
Kerjasama kelompok atau teamwork adalah
kemampuan seseorang dalam bekerja sama dengan orang lain atau menjadi
bagian dari suatu kelompok dalam melaksanakan suatu tugas.
Sedikit-sedikit mendebat, tidak mau dipimpin dan tidak siap memimpin,
kurang menyadari tanggung jawab tim, ingin mencari muka sendiri, kurang
mandiri atau kurang berkonsultasi, tidak mau mendengarkan masukan,
gampang tersinggung, terlalu sensitif, suka menggembosi orang lain, dan
lain-lain, kerap menjadi masalah yang serius untuk orang baru. Karena
itu, ini perlu dihindari.
5. Berpikir kritis dan kemampuan problem solving
Berpikir kritis, berpikir analitis, atau berpikir
logis adalah kemampuan seseorang dalam memahami situasi dengan cara
menguraikan masalah menjadi bagian-bagian yang lebih rinci
(faktor-faktor; penyebab masalah), atau mengamati akibat suatu tindakan /
keadaan tahap demi tahap berdasarkan pengetahuan, pengalaman dan
semangat (spirit). Sebetulnya, semua level jabatan
membutuhkan kemampuan ini meski bentuknya berbeda-beda. Ini misalnya
saja: teliti, keputusan yang logis, opini yang aktual dan faktual,
memiliki informasi yang relevan dengan pekerjaan, bisa melihat masalah
atau bagiannya sebagai sesuatu yang bisa dihadapi dengan
tindakan-tindakan yang logis, mengetahui sumber-sumber bahaya (the danger), dan lain-lain.
Itu semua adalah point yang berpotensi menyulitkan posisi kita apabila tidak kita perhatikan dengan bagus.
Masalah Eksternal
Tak hanya masalah-masalah di atas yang mempersulit
posisi kita di tempat yang baru. Ada masalah lain yang juga ikut
mempersulit. Sebut saja ini masalah eksternal. Inipun tidak bisa kita
detailkan satu persatu. Secara umum, masalah eksternal yang dihadapi
orang baru itu adalah masalah person. The person di sini, bisa atasan,
bawahan atau kolega. Ini yang pertama. Meminjam istilah yang dipakai
para ahli di bidang karir, person yang bisa mempersulit kita itu disebut "the difficult people".
Seperti apa orang yang sulit itu? Menurut kolomnis The CEO Refresher,
Paul B. Thornton (2002), ciri-ciri utama orang sulit itu adalah:
1. The Aggressor: memaksakan kehendak, menggunakan bahasa yang kasar, otoriter, main pecat, dan semisalnya
2. The Victim: selalu menyalahkan orang lain, selalu ngomel karena merasa dirugikan orang lain, selalu menuding karyawan sebagai faktor kerugian, dan seterusnya.
3. The Rescuer: selalu ingin ikut campur, terlalu takut dibenci orang dan terlalu ingin dipuji orang, dan semisalnya.
Selain person, terkadang miliu dan budaya juga
ikut mempersulit posisi kita. Miliu kerja adalah apa yang kita rasakan
di tempat kerja. Secara rasa, pasti berbeda antara tempat kerja yang
sudah dipenuhi permusahan dengan tempat kerja yang dipenuhi keharmonisan
atau kekeluargaan. Pasti ada perbedaan antara miliu kerja yang sehat
dengan yang sakit. Lingkungan yang "bersih" dan "kotor"; ada perusahaan
yang consumer-oriented ada yang tak peduli sama sekali; ada yang
disiplin dan tertib tetapi ada juga yang kendor dan tak beraturan.
Artinya, baik miliu atau budaya yang tidak pas dengan
hati kita terkadang juga menjadi masalah. Karena itu, tidak sedikit
dari kita yang memilih untuk hengkang saat menghadapi miliu yang tidak
klop atau budaya yang tidak pas.
Bagaimana menghadapinya?
Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, ketika kita
menghadapi persoalan di tempat kerja, pilihan yang tersedia di situ
mungkin hanya dua. Pertama, kita hengkang ke tempat lain yang lebih
bagus (Push out but better off). Ketika pilihan ini yang dipilih,
berarti pembahasannya selesai. Kedua, kita tetap akan masuk di
pekerjaan itu dan mengembangkan jurus-jurus baru di dalamnya (Staying on but building option).
Mungkin ada yang bertanya, jurus-jurus apa yang perlu diambil jika saya
tetap memilih opisi kedua? Untuk menjawab ini pasti tidak ada buku
panduannya. Di bawah ini ada beberapa yang mungkin bisa kita jadikan
acauan:
1. Fokuskan pada pengembangan diri
Dua agenda penting dalam pengembangan diri di sini
adalah: a) memiliki program pengembangan sendiri, entah itu skill kerja
atau mental yang terencana dengan bagus sesuai keadaan kita, dan b)
menjadi fasilitator atas apa yang ditugaskan kepada kita. Menjadi
fasilitator artinya kita menerima apapun yang ditugaskan kepada kita
sebagai sarana belajar. Jangan mengerjakan sesuatu hanya karena disuruh semata.
Ini beban buat kita dan terkadang mencerminkan kesan yang kurang bagus.
Apalagi jika itu kita barengi dengan menuntut hak-hak sebelum
kewajiban. Mengacu pada penjelasan di muka, kita bisa menjadikan tugas
itu sebagai latihan berpikir kritis, latihan meningkatkan skill atau
competency, dan lain-lain.
2. Fokuskan pada pembuktian
Sebagai orang baru, mungkin pesan Jet Li ini perlu
diingat. Pertama, ketuklah pintu. Kedua, buatlah orang lain tahu bahwa
Anda datang. Ketiga, buktikan siapa dirimu. Jika Anda sudah berhasil
membuktikan diri, maka Anda tidak kesulitan mengontrol orang dan
keadaan. Minimalnya, ketika kita sudah berhasil membuktikan diri secara
bertahap, maka kita tidak gagap, tidak takut, tidak minder atau diliputi
perasaan yang tidak-tidak tanpa alasan yang jelas.
Sebagai orang baru, kerapkali banyak penilaian yang bermacam-macam pada kita. Ada yang minor, underestimate,
kurang ini, kurang itu, dan lain-lain. Satu sisi ini perlu kita pahami
sebagai kewajaran. Namun begitu, jika kita pada akhirnya sanggup
membuktikan diri, opini orang sekitar yang bermacam-macam pada kita akan
kalah oleh realitas yang kita buktikan. Inilah salah satu esensi
profesionalitas. Terkadang lebih bagus kita dinilai lima tetapi sanggup
membuktikan sampai tujuh ketimbang kita dinilai tujuh tetapi hanya
sanggup sampai lima.
3. Pelajari cara hidup
Cara hidup di sini termasuk bahasa-hidup, kebiasaan,
dan budaya yang berlaku di tempat baru. Untuk bisa mempelajari ini
memang terkadang menuntut agar kita ikut lebih dulu. Kalau bicara resiko
sosial, bebannya akan lebih ringan kalau kita lebih dulu mengikuti cara
hidup orang lama ketimbang kita langsung memberontak. Tentu ini untuk
beberapa hal yang sifatnya bukan pelanggaran. Agar kita bisa ikut dan
belajar, yang diperlukan di sini adalah kemampuan untuk mendengarkan,
mengobservasi, melihat, menanyakan dan mempertanyakan serta memahami.
Hindari upaya-upaya untuk menonjolkan diri sendiri secara mencolok atau
ekstrim, apalagi membual terlalu jauh. Jadikan ini sebagai sarana untuk
memperbaiki kemampuan berkomunikasi.
4. Hindari keberpihakan "gang"
Biar di tempat kerja pun ada politik, seperti di Senayan. Namanya sering disebut office politic (OP). OP ini adalah cara informal atau cara yang halus untuk mendapatkan kekuasaan, baik itu formal (authority) atau non-formal (power). Dalam prakteknya, OP ini kerap menimbulkan konflik antar-gang di tempat kerja. Sebagai orang baru, akan lebih safe
kalau kita menghindari keberpihakan pada gang tertentu secara fanatik.
Akan lebih bagus kalau kita bermain netral yang bijak dan asertif. Bijak
di sini artinya punya kemampuan mengakomodasi dua hal yang kontras dan
memberikan respon yang proper (tepat) dan proporsional. Asertif artinya
kita tetap menjadi asli tetapi juga bisa beradaptasi dengan cara yang
bagus (polite but firm). Ini juga termasuk latihan berkomunikasi (dealing with others).
5. Membangun mentalitas baja
Jurus ini kerap berhasil digunakan menghadapi atasan yang kita sebut difficult people
di atas pada saat belum punya alternatif lain. Tentu ini tidak untuk
semua jenis dan tipe. Sebut saja di sini misalnya kita punya atasan yang
"tidak mudah puas". Jika itu kita terima dengan pemahaman yang dangkal
tentang diri si atasan itu, akan mempersulit hidup kita sendiri atau
memperberat beban batin kita. Akan mungkin berbeda masalahnya seandainya
kita mampu melihat atasan kita dengan angle atau sudut pemahaman yang berbeda.
Bermental baja – bukan berarti ndablek, tidak
mempan perubahan dan tidak punya perasaan. Untuk punya mental baja,
justru kita perlu punya pemikiran luas, pengertian bijak dan pandangan
yang obyektif dalam menilai sebuah kejadian, misal ketika dimarahi,
dikasih tugas yang berat, ditegur, dikritik, dsb. Kita tidak menilai
atasan atau kolega dari sikap / reaksi emosi / perilaku mereka. Selama
kita terpancing oleh hal-hal yang ada dipermukaan / yang terlihat / pada
kasusnya semata, pada perilakunya semata, sebenarnya asumsi kita
didasari oleh pemahaman yang sangat dangkal tentang orang itu atau
situasi yang muncul. Itu yang membuat kita akhirnya lebih focus ke sakit
hati-nya dari pada melihat hikmah atau pelajarannya.
Bagi yang ingin coba, silahkan!
No comments:
Post a Comment