Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 19 April 2004
Manusia adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan,
melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks.
Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah
makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan
bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini
dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai
faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.
Sayangnya, menurut Leonardo Da Vinci, kebanyakan
manusia me-nganggur-kan kecerdasan itu. Punya mata hanya untuk melihat
tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan
tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi
tidak untuk mendengarkan dan seterusnya.
Penemuan Seputar Kecerdasan
Thorndike adalah salah satu ahli yang membagi
kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu kecerdasan Abstrak -- Kemampuan
memahami simbol matematis atau bahasa, Kecerdasan Kongkrit -- kemampuan
memahami objek nyata dan Kecerdasan Sosial - kemampuan untuk memahami
dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah
Kecerdasan Emosional ( Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash
University: 1994)
Pakar lain seperti Charles Handy juga punya daftar
kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika (menalar dan
menghitung), Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide),
Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan
Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal
(berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial
(Inside Organizaion: 1990)
Bahkan pakar Psikologi semacam Howard Gardner &
Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia termasuk
misalnya saja Kecerdasan Visual / Spasial, Kecerdasan Natural (kemampuan
untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik
(kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar
atau menghitung), Kecerdasan Kinestik / Fisik (kemampuan mengolah fisik
seperti penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi
Intrapersonal dan Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and
leadership, Colloquium in Business, Fall: 2002).
Kecerdasan Intelektual, Emosional & Spiritual
1. Seputar Kecerdasan Intelektual
Sudah
bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan
promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai
standar mengukur kecerdasan seseorang. Tetapi namanya juga temuan
manusia, istilah tehnis yang berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini
(1857 - 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka
mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut
untuk diperbaruhi, yaitu:
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ.
Steve Hallam berpandangan, pendapat
yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan
tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada
fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir,
sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan
bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak
pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu
bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama
berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan
dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan
ring tinju.
2. Seputar Kecerdasan Emosional (EQ)
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional
Intelligence (1994) menyatakan bahwa "kontribusi IQ bagi keberhasilan
seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh
serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama
tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi
pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan
berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan
kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang
buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
3. Seputar Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ
(Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke
luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga
perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi
‘pusat-diri’ ( Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate
intelligence: 2001).
Kecerdasan ini adalah
kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri
yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di
balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama
dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah
menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih
berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap
peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi
makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan
perbuatan dan tindakan yang positif.
Penerapan IQ-EQ-SQ Dalam Kehidupan
IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang
hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita
buat, berasal dari proses :
1. merumuskan keputusan,
2. menjalankan keputusan atau eksekusi,
3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada
fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi) - bukan
berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka - tidak suka.
Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir
untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko,
melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil - hasil dari
penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata
demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita
hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain.
Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami
(empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam
menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini,
yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan
logika - matematis untung rugi.
Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor
human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang
terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita
tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya
"kekeluargaan" sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian
bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Kesimpulan
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat
yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait
(interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita
pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap
membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap
membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau
Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan
pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam
pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang.
Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah
satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee,
strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di
dalam diri kita. "Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan
strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi
belajar berkelahi)". Selamat mencoba. (Jr)
Manusia adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan,
melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks.
Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah
makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan
bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini
dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai
faktor yang membedakan antara orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.
Sayangnya, menurut Leonardo Da Vinci, kebanyakan
manusia me-nganggur-kan kecerdasan itu. Punya mata hanya untuk melihat
tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan
tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi
tidak untuk mendengarkan dan seterusnya.
Penemuan Seputar Kecerdasan
Thorndike adalah salah satu ahli yang membagi
kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu kecerdasan Abstrak -- Kemampuan
memahami simbol matematis atau bahasa, Kecerdasan Kongkrit -- kemampuan
memahami objek nyata dan Kecerdasan Sosial - kemampuan untuk memahami
dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah
Kecerdasan Emosional ( Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash
University: 1994)
Pakar lain seperti Charles Handy juga punya daftar
kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika (menalar dan
menghitung), Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide),
Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan
Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal
(berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial
(Inside Organizaion: 1990)
Bahkan pakar Psikologi semacam Howard Gardner &
Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia termasuk
misalnya saja Kecerdasan Visual / Spasial, Kecerdasan Natural (kemampuan
untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik
(kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar
atau menghitung), Kecerdasan Kinestik / Fisik (kemampuan mengolah fisik
seperti penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi
Intrapersonal dan Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and
leadership, Colloquium in Business, Fall: 2002).
Kecerdasan Intelektual, Emosional & Spiritual
1. Seputar Kecerdasan Intelektual
a. Pemahaman absolut terhadap skor IQ.
Steve Hallam berpandangan, pendapat
yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan
tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada
fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir,
sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b. Cakupan kecerdasan manusia : kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan
bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak
pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu
bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama
berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan
dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan
ring tinju.
2. Seputar Kecerdasan Emosional (EQ)
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional
Intelligence (1994) menyatakan bahwa "kontribusi IQ bagi keberhasilan
seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh
serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama
tehnis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi
pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan
berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan
kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang
buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
3. Seputar Kecerdasan Spiritual
Danah Zohar, penggagas istilah tehnis SQ
(Kecerdasan Spiritual) dikatakan bahwa kalau IQ bekerja untuk melihat ke
luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga
perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi
‘pusat-diri’ ( Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate
intelligence: 2001).
Kecerdasan ini adalah
kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri
yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di
balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama
dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah
menjadi ter-kavling-kavling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih
berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber – SQ tinggi mampu
memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap
peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi
makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan
perbuatan dan tindakan yang positif.
Penerapan IQ-EQ-SQ Dalam Kehidupan
IQ, EQ, dan SQ bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang
hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita
buat, berasal dari proses :
1. merumuskan keputusan,2. menjalankan keputusan atau eksekusi,3. menyikapi hasil pelaksanaan keputusan.
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada
fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi) - bukan
berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka - tidak suka.
Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir
untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko,
melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil - hasil dari
penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata
demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita
hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain.
Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami
(empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam
menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini,
yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan
logika - matematis untung rugi.
Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor
human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang
terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita
tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya
"kekeluargaan" sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian
bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Kesimpulan
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat
yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait
(interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita
pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap
membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap
membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau
Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan
pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam
pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang.
Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah
satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee,
strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di
dalam diri kita. "Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan
strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi
belajar berkelahi)". Selamat mencoba. (Jr)
No comments:
Post a Comment