ads ads ads ads

Thursday, April 25, 2013

Mengatasi Budaya Menyimpang

 Oleh : Ubaydillah, AN
  Jakarta, 31 Agustus 2006
Ada satu hal yang menarik ketika berbicara budaya kerja. Apa yang menarik? Sepertinya ada kesimpulan internasional yang senada atau sama seputar budaya kerja. Budaya kerja adalah sesuatu yang invisible (tak kelihatan) yang paling terkait dengan soal kinerja atau performansi. Kesimpulan ini memang tidak dibikin secara mengada-ada. Sudah banyak fakta atau bukti yang memperkuat kesimpulan itu.

Kekuatan Budaya Kerja
 
Soal korupsi di Indonesia pun kerap dikaitkan dengan masalah budaya. "Apa coba kalau bukan masalah budaya? Agama? Kita negara yang mewajibkan agama. Sampai Pancasila pun menomersatukan Tuhan. Undang-undang? Hukum? Secara konsep, ini semua sudah "beres" di kita." Kira-kira begitu opini nara sumber dalam debat publik di stasiun teve. 
 
Baru-baru ini saya membaca tulisan milik William E. Schneider, Ph.D. (Focus on Change Management:1998). Ada satu pertanyaan yang menurut saya perlu dijadikan refleksi oleh para pemimpin organisasi di situ. Pertanyaan itu begini: "Why Good Management Ideas Fail?" Secara ringkas di situ dijawab rahasianya adalah budaya kerja. 

Menurut hasil penelitian Prof. Yu She Wei di Cina, seperti dikutip Pak Sartono (Five Actions To Drive Change On Demand: 2006), budaya kerja ternyata punya kontribusi besar terhadap peningkatan produktivitas organisasi. Ketika organisasi A ingin meningkatkan produktivitasnya dan yang dilirik hanya pada faktor peningkatan keahlian orang-orangnya saja, hasilnya baru 1. Jika ditambah dengan perbaikan SOP, hasilnya 10. Tetapi, jika ditambah dengan perbaikan budaya kerja (disatukan), hasilnya menjadi 100. Fantastis, kan?

Apa itu budaya kerja? Konon, di dunia ini ada lebih dari seratus definisi budaya kerja. Satu yang menurut saya paling "tangible" adalah definisi yang mengatakan bahwa budaya kerja adalah bagaimana suatu organisasi (dari owner sampai seluruh karyawan) biasa "bekerja" untuk meraih kesuksesan yang diinginkan. 

Tentang bagaimana asal-usulnya budaya kerja itu lahir, ada yang menjelaskan bahwa budaya kerja itu lahir dari nilai-nilai, asumsi, pengetahuan, keyakinan atau pengalaman para pendiri perusahaan (individu atau kelompok). "Elemen-elemen intangible" itu kemudian "ter-transferkan" melalui apa yang disebut saluran budaya. Oleh Nigel MacLennan (Awesome Purpose:1999)dikatakan saluran budaya itu ada empat.

Simbol
 
Termasuk dalam pengertian simbol ini misalnya logo, atribut eksternal organisasi, konstruksi material organisasi, dan lain-lain. Biasanya, logo atau penjelasan filosofi logo itu mencerminkan nilai-nilai dasar yang dianut oleh para pendiri atau para senior.
1. Imitasi (duplikasi)
Orang-orang dalam organisasi biasanya meniru para seniornya: pola pikir, asumsi, keyakinan, perilaku atau kebiasaan yang kemudian menjelma menjadi budaya

2.  Edukasi (pendidikan)
Pendidikan dalam arti yang luas pun bisa disebut sebagai saluran budaya kerja. Pendidikan di sini termasuk: training, pembelajaran, peraturan, sistem kerja, norma kerja, on job coaching, teaching, dan lain-lain. 

3. Eksperiensi (pengalaman)
Pengalaman organisasi dalam mengatasi masalah atau dalam merealisasikan gagasan pun bisa menjadi saluran budaya. Pengalaman itu biasanya menjadi semacam prosedur tak tertulis atau hukum tertulis yang memformat pola prilaku atau pola kebiasaan.
Budaya Menyimpang
 
Dalam prakteknya, yang menjadi masalah bagi banyak orang sepertinya bukan budaya itu punya kontribusi besar atau kecil atas peningkatan kinerja. Soal kontribusi ini sepertinya sudah bisa diamini. Yang menjadi masalah adalah adanya pola-pola praktek atau kebiasaan atau budaya kerja yang menyimpang.
 
Menyimpang dari apa? Tentu, menyimpang dari nilai-nilai dasar, menyimpang dari asumsi-asumsi logis atau menyimpang dari keyakinan atau menyimpang dari prosedur / pelajaran tertentu yang kita peroleh dari pengalaman. Satu dari penyimpangan itu, misalnya, para pendiri sudah menggariskan nilai-nilai dasar yang super fantastis luhurnya, seperti: kejujuran, tanggung jawab, peduli pelanggan, dan lain-lain, tetapi prakteknya adalah ketidakjujuran, lari dari tanggung jawab atau ketidakpedulian. Pendeknya: lain di konsep, lain di praktek. 

Adanya penyimpangan yang kerap terjadi itulah yang oleh para ahli dikatakan bahwa budaya itu bukan pernyataan nilai-nilai yang kita tulis di tembok organisasi, bukan kalimat yang kita cantumkan di bawah logo, bukan jargon yang kita ucapkan di dalam rapat, tetapi yang kita buktikan dalam praktek atau "How we do things around here".

"An organisation s true culture is reflected in how its people behave, not on what is written on a value statement on the wall."

Bagaimana penyimpangan itu bisa terjadi? Masalah penyimpangan antara konsep yang kita nyatakan dengan praktek yang kita buktikan ini memang masalah klasik manusia. Meski begitu, ia tak pernah basi untuk diperbincangkan. Terkait dengan soal penyimpangan budaya ini, saya yakin setiap orang punya pandangan yang spesifik berdasarkan kasus di lapangan yang dihadapinya. Di sini saya hanya ingin menambahkan sedikit sebagai bahan untuk melakukan audit:

1. Kurang Keteladanan
Mentransfer pemahaman, nilai-nilai atau asumsi yang kita pedomani kepada orang lain (dalam bentuk orang banyak), itu sama pengertiannya dengan mendidik manusia (educating people). Dengan nilai-nilai yang kita pedomani itu kita ingin orang lain mempraktekkannya. Bukan begitu? 
 
Nah, ketika sudah bicara pendidikan ini, maka peranan keteladanan sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Katanya, keteladanan itu bukanlah salah satu teori pendidikan, melainkan satu-satunya teori. Mendidik manusia memang tidak cukup dengan hanya memberi teladan, tetapi ruh pendidikan akan mati suri apabila keteladanan ini sudah hilang.

Kita bisa ambil contoh bagaimana keteladanan ini bekerja dalam lembaga pendidikan: universitas, akademi, pesantren, kursus, atau apa saja. Pada tingkat yang paling umum, kita bisa mengatakan semua lembaga pendidikan itu sama. Sama dalam arti pasti mengajak orang untuk menjadi yang lebih baik, dengan seperangkat peraturan, norma, kurikulum yang dibuat masing-masing lembaga. 

Namun begitu, yang menjadi masalah di lapangan kerapkali bukan itu. Masalahnya adalah: ada lembaga pendidikan yang berwibawa dan ada yang tidak. Ada lembaga yang memang benar-benar terasa miliu edukasinya, tetapi ada yang sama sekali tidak terasa. Kurikulum sama. Peraturan sama. Keinginan sama. Tapi, kenapa wibawanya berbeda? Salah satu jawabnya adalah keteladanan. Saya kira inipun terjadi dalam perusahaan atau organisasi usaha.

2. Belum dijadikan pemahaman bersama
Selain karena faktor keteladanan, penyimpangan juga bisa terjadi karena nilai-nilai, asumsi, keyakinan, atau pengalaman sang pimpinan itu belum dijadikan materi yang "teacheable", sehingga bisa dijadikan pemahaman bersama. Namanya orang di dalam organisasi itu bermacam-macam. Ada yang sudah tersentuh dengan keteladanan tetapi ada yang sama sekali tidak tersentuh. Bahkan ada yang baru tersentuh setelah dikeluarkan SP.
 
Pengalaman saya ini mungkin juga pernah Anda saksikan. Ada suatu perusahaan di mana pimpinannya itu sangat disiplin, tidak banyak ngomong, dan jarang marah. Kalau menegur, selalu pakai bahasa kiasan yang menghibur. Orang luar mengenalnya dia adalah sosok yang sangat bijak. Tapi apa yang terjadi pada karyawannya? Sebagian karyawan yang mengerti akan malu kalau sedikit berbuat indisipliner. Tapi sebaliknya, karyawan yang ‘ndablek’ (low sensitivity), justru malah memanfatkan kepemimpinan yang "nyaman" itu. Kelemahlembutan sang pimpinan itu malah dimanfaatkan, bukan dihormati atau diteladani.

3. Kurang tangkas dalam menerapkan wewenang dan kekuasaan
Organisasi atau perusahaan jelas punya banyak kekuasaan. Power yang dimiliki perusahaan atas karyawannya tak cukup didetailkan dengan penjelasan Charles Handy. Intinya, dalam pengertian yang sangat luas, perusahaan memiliki banyak kekuasaan dan kewenangan dengan kemampuannya dalam memberi reward atau punishment sebagai tool untuk mendorong orang mengikuti nilai-nilai yang digariskan.
 
Yang ingin saya soroti secara spesifik berkaitan dengan kekuasaan ini adalah ketidaktangkasan perusahaan untuk memainkan reward dan punishment kepada orang yang mendukung dan kepada orang yang menyimpang. Perusahaan tidak memberikan reward yang lebih kepada orang yang sudah berbuat baik, pun juga tidak memberi hukuman kepada orang yang menyimpang atau melanggar. Di sini benih-benih chaos dan demotivator sosial muncul.

Saya pernah bertanya kepada seorang karyawati seputar hal ini. Katanya: "Di sini Pak, tak ada bedanya kita kerja jungkir balik dengan yang leha-leha. Gajinya sama saja. Bahkan kalau kita menunjukkan kelebihan, malah akan diperas. Malah akan disuruh menangani yang macam-macam". Saya menduga jawaban itu keluar sebagai respon atas kekurang-sensitif-an manajemen. Manajemen tidak peduli dengan orang yang sungguh-sungguh ingin berbuat baik, pun juga kurang memperhatikan orang yang sungguh-sungguh menyimpang atau berperilaku tidak supportif. Padahal, manajemen pasti punya kekuasan dan kewenangan untuk itu namun tidak digunakan dengan baik dan benar. 

Mengatasi Penyimpangan
Mengatasi Saya yakin masalah penyimpangan budaya ini tidak bisa diselesaikan semudah membalik tangan. Namun begitu, bukan berarti tidak bisa diselesaikan. Cuma, pasti tidak ada solusi yang sifatnya one-off. Solusi itu berbentuk resep yang perlu dijalankan atau proses yang terus menerus. Nah, untuk sebagian kita yang sedang menghadapi masalah penyimpangan ini, saya ingin mengusulkan beberapa resep-berproses seperti di bawah ini:

1. Prioritas pada masalah
Penyimpangan seperti apa yang benar-benar mengancam? Penyimpangan seperti apa yang sudah benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai, asumsi, keyakinan atau pengalaman hidup kita. Karena penyimpangan itu pasti banyak kalau dicari apalagi dicari-cari, maka sebaiknya kita perlu membuat prioritas penyelesaian penyimpangan. 
 
Apa manfaatnya kita perlu berangkat dari prioritas penyimpangan? Ini untuk menghindari keinginan-keinginan yang ditunggangi dorongan keinginan atau mood sesaat. Terkadang, kita menginginkan situasi atau kondisi yang langsung baik dan sempurna dari seluruh segi yang sama persis seperti firman kitab suci, sama persis seperti saran konsultan, atau sama persis seperti khutbah para pakar manajemen di buku-buku. Padahal, secara resource, kita belum mampu ke sana. Kesempurnaan itu adalah upaya untuk selalu menyempurnakan kekurangan / penyimpangan. 

Selain itu, memutuskan perbaikan yang dasarnya masalah, akan membuat keputusan kita lebih membumi, lebih memfokus, lebih riil sasarannya. Para motivator sering mengatakan pikiran ini akan bekerja lebih bagus kalau diberi sasaran yang lebih jelas, lebih spesifik, atau lebih terukur. Sebaliknya, ia akan "bingung" kalau disuruh memikirkan sasaran yang tidak jelas, terlalu normatif, atau terlalu abstrak.

2. Konseptualisasi
Seperti yang saya katakan di atas, agar kemauan kita itu menjadi pemahaman bersama, kita perlu mengkonsepkannya, menyatakannya dalam bentuk pedoman yang bisa dipahami orang lain. Beberapa organisasi memang telah memiliki rumusan tertulis dari nilai-nilai yang diinginkan untuk terwujud dalam praktek. Tetapi ini masih banyak juga yang belum memiliki. 
 
Selain bisa menjadi instrumen pemahaman bersama, rumusan tertulis juga akan menjadi pedoman perlakuan. Ini supaya jangan sampai kita tidak care terhadap penyimpangan dan tidak care pula terhadap prestasi atau performansi kerja sebagian orang. Jangan sampai karyawan memendam kesimpulan: "Biar gimanapun ujung-ujungnya sama saja." 

Mestinya, kalau kita menginginkan budaya yang positif dan lingkungan kerja yang mendukung, kita pun perlu mendukung (memberi reward) orang-orang yang sudah menunjukkan dukungannya. Dan pada saat yang sama, kita pun perlu memberikan punishment kepada orang yang terbukti menunjukkan penyimpangannya. Kelemahan kita, terkadang, kita menginginkan kebaikan, tetapi kurang appreciate pada orang yang baik dan lemah ATAU ignorance (tidak peduli / acuh tak acuh) menghadapi orang yang tidak baik.

3. Membuka fasilitas dan peluang pembelajaran
Pengalaman kita bersama menunjukkan bahwa untuk membuat orang melakukan sesuatu, ini membutuhkan effort yang jauh lebih banyak dibanding dengan membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu. Yang terakhir ini cukup dengan diberi tahu melalui mulut atau tulisan. Adapun untuk yang pertama, apalagi jika yang kita inginkan menjadi budaya, pasti tidak cukup dengan identikasi masalah prioritas dan konseptualisasi keinginan. 
 
Budaya menyimpang, perlu diluruskan melalui proses belajar yang benar agar hasilnya benar. Esensi mendasar dari prinsip pembelajaran ini adalah memperbaiki keadaan (mengubah ke arah yang lebih baik) dengan cara melakukan sesuatu (proses) berdasarkan masalah yang muncul dengan berbagai cara yang mungkin. Intinya, kita tidak melihat penyimpangan budaya yang terjadi sebagai sebuah kesimpulan akhir, melainkan sebagai sebuah proses untuk diperbaiki. Kita tidak melihat penyimpangan sebagai penyimpangan tetapi sebagai isyarat untuk melakukan perubahan dan pengembangan.Titik.

Adapun bentuk fasilitas itu bisa kita sesuaikan berdasarkan keadaan, kemampuan dan keinginan. Pokoknya, apapun fasilitas yang bisa menyentuh orang untuk terdorong memperbaiki keadaan (dirinya, orang lain, dan lingkungan), itu perlu kita buka, dari mulai yang paling mahal sampai yang paling gratis menurut ukuran kita. Ini misalnya saja, training, konseling, coaching, teaching, dialog, pertemuan rutin, pengawasan langsung, pengarahan, dan lain-lain. Semua orang bisa menjalani kegiatan ini, disesuaikan dengan konteks, keadaan, kemampuan, kesempatan dan kesulitan yang dihadapi. Tidak ada kata "buntu", tidak ada kata "tak ada jalan keluar"...semua pasti ada jalan keluar, asal mau belajar....Semoga bermanfaat !
 

No comments:

Post a Comment