Oleh : Ubaydillah, AN
Jakarta, 28 September 2004
Ada
petunjuk dari hasil studi ilmiah yang bisa kita pilih sebagai rujukan
dalam mencerdaskan dan mengelola karyawan atau bawahan. Salah satu
laporan menyebutkan bahwa perusahaan yang menaikkan fasilitas kerja
sebanyak 10 % ternyata hanya mampu menciptakan kemajuan usaha sebesar 3 %
saja. Sementara bagi perusahaan yang menambah program peningkatan
karyawan sebanyak 10 % bisa menambah 8 % kemajuan.
Sebelumnya
pernah ada studi ilmiah yang pernah dilakukan oleh Jim Collins, penulis
buku Good to Great Company (Random House: 2001). Studi ini memang dari
awal difokuskan untuk meneliti seperti apakah perusahaan yang bergerak
dari level good (bagus) ke great (hebat) itu dalam memperlakukan
teknologi kerja.
Penelusuran
ke lapangan menghasilkan temuan bahwa salah satu ciri khas menonjol
perusahaan yang bergerak dari kualitas Good ke Great itu adalah
kemampuan mereka dalam menentukan teknologi yang cocok dengan
perkembangan perusahaan. Mereka tidak ikut-ikutan asal tambah teknologi
baru yang sebetulnya di lapangan kurang bermanfaat. Di sisi lain mereka
juga tidak ketinggalan teknologi yang sebetulnya dibutuhkan oleh
kemajuan kerja. Mereka menguasai teknologi tertentu yang benar-benar
dibutuhkan oleh pekerjaan yang secara riil ada.
Merujuk
pada kedua hasil temuan di atas, kira-kira salah satu materi tersirat
yang ingin disampaikan kepada kita adalah, bahwa menambah kemampuan SDM
sebenarnya lebih dibutuhkan demi kemajuan sebuah usaha ketimbang
menambah fasilitas kerja, meskipun perlu disadari bahwa menambah
kecanggihan fasilitas kantor pun juga penting.
Metode Alamiah
Terus terang
bahwa kalau kita bicara praktek di lapangan nampaknya masih terlalu
sangat sedikit kesadaran di kita akan pentingnya meningkat kualitas
karyawan. Di luar persoalan yang selalu kita kaitkan dengan keuntungan
(manfaat) yang tidak menjajikan bagi perusahaan, kekhawatiran akan
hengkangnya karyawan setelah "dipinterkan", dan efisiensi kerja yang
terganggu, memang ada masalah lain yang juga sering menjadi persoalan
tersendiri, yakni masalah adalah cost (biaya tinggi).
Meskipun
tidak bisa kita katakan seluruhnya, tetapi bisa kita pastikan bahwa
sebagian dari kita mengahadapi persoalan itu. Ada keinginan untuk
mengirim orang ke tempat pelatihan, pendidikan atau lokakarya, tetapi
apa daya cash perusahaan belum menunjukkan angka yang memungkinkan untuk
melakukan itu. Angka yang tidak mendukung ini bisa bermacam-macam
bentuknya: mulai dari angka yang dibuat-buat atau angka yang memang
benar-benar angka. Apa yang mungkin bisa kita lakukan andaikan saja
persoalan di atas itu terjadi pada kita padahal di satu sisi kondisi
usaha yang kita inginkan adalah terciptanya kemajuan orang-orang yang
kita miliki yang kalau bisa secepat mungkin terwujud?
Dalam
situasi seperti itu mungkin sudah saatnya kita melirik ke metode lain
yang juga pada akhirnya akan memiliki minus-plus yang sama atau hampir
sama jika kita bicara tentang esensi atau tujuan akhir suatu aktivitas
pendidikan dan pelatihan. Seperti kata Galileo, esensi pendidikan di
dunia ini adalah mengantarkan orang pada tingkat kesadaran yang semakin
tinggi akan dirinya (peranan, tugas, tanggung jawab, keunggulan, dst).
Di antara metode yang mungkin bisa kita lirik untuk kita terapkan dan
(untungnya) sudah teruji hasilnya bagi orang lain adalah pilihan-pilihan
berikut ini:
1. Strorytelling
Roberto Goizueto,
seseorang yang pernah menduduki jabatan CEO Coca-Cola ini konon paling
gemar menggunakan metode pendidikan karyawan yang dikenal dengan istilah
"storytelling". Teknisnya bisa digambarkan bahwa dia memiliki jadwal
yang sudah teragendakan untuk memanggil karyawan. Di sini karyawan
kemudian diberi penjelasan tentang bagaimana dirinya ditempa oleh
keluarga untuk menjadi orang sederhana meskipun keluarga Roberto sendiri
adalah pengusaha (pemilik pabrik gula).
Menceritakan
riwayat hidup tentang bagaimana kita mengusahakan sesuatu yang didengar
oleh orang yang secara kualitas prestasi dan posisi berada di bawah
kita memang sudah tak bisa diragukan lagi muatan pendidikannya, terutama
sekali pendidikan mental. Di samping itu, kalau kita bicara aspek
manusiwi, metode storytelling ini lebih menyentuh ke dalam. Apalagi
kalau sanggup diutarakan dengan ungakapan bahasa yang soft. Ia akan
seperti salju yang semakin halus akan semakin meresap.
Manfaat
lain lagi adalah berkurangnya hambatan-manusiawi (human barrier) di
lapangan yang disebabkan oleh munculnya kesalahpahaman tentang diri
kita. Seperti yang sering kita alami, bahwa dalam praktek organisasi
nampaknya sudah tak terhitung jumlah keputusan yang baik dan benar di
tingkat atas, tetapi ketika dibumikan ke bawah ternyata terganjal oleh
hal-hal yang sumbernya adalah kesalahfahaman karena pulau yang bernama
"Human aspect" itu belum tersentuh oleh kita.
2. Action learning
Metode
ini bisa kita ambil acuannya dari hasil eksplorasi Professor Reg Revan
yang kemudian dibakukan dengan istilah "Action Learning" (mengambil ilmu
pengetahuan dari praktek yang kita jalankan di lapangan). Di negara
tempat Reg Revan dibesarkan (Inggris), hasil eksplorasinya ini mendapat
sambutan yang cukup positif dari kalangan akademisi hingga kemudian
dijadikan materi mata kuliah di beberapa universitas di Eropa dan negara
lain yang terus bertambah jumlahnya.
Kalau kita bicara Action Learning
hari ini, mungkin elaborasi konsepnya sudah jauh kemana-mana yang
kemungkinan besar sudah banyak yang tidak cocok lagi dengan kondisi kita
alias butuh biaya tinggi pula. Hanya saja, apa yang pasti dapat kita
terapkan dari metode ini adalah prinsip dasarnya. Metode ini berangkat
dari sebuah landasan bahwa praktek yang kita lakukan sehari-hari
merupakan sumber ilmu dan oleh karena itu perlu digali sedalam dan
seluas mungkin untuk ditemukan materi yang bisa dipedomani.
Jika
prinsip itu kita jadikan acuan, tentu semua orang dan semua bentuk
usaha yang kita kelola hari ini memiliki kesanggupan untuk
menerapkannya. Kita bisa membuka forum kecil-kecilan di kantor untuk
membedah praktek yang sudah kita jalankan guna menemukan pembeda antara
apa yang menghasilkan akibat positif dan apa yang menghasilkan akibat
negatif. Menemukan pembeda inilah yang juga bisa disebut refleksi
(menemukan pemahaman baru tentang sesuatu) yang oleh Charles Handy
diletakkan di tahapan puncak suatu proses pembelajaran (learning).
Salah satu manfaat menerapkan prinsip dasar Action Learning ini adalah mengurangi besarnya "gap knowing-doing"
dalam suatu usaha yang sering menjadi salah satu sumber pemborosan
terbesar. Dengan mempelajari praktek, kita akan mendapatkan ilmu dari
praktek (Tacit Knowledge) dan sekaligus akan menambah cara-cara
yang kita miliki dalam mempraktekkan ilmu. Berubahnya status kita dari
"tidak mau tahu" (ignorance) ke menjadi "tahu" (knower)
ini umumnya bisa dilakukan oleh sebagian besar orang. Namun yang mungkin
hanya sanggup dilakukan oleh sedikit orang adalah mengubah status dari
tidak tahu ke tahu lalu ke menjalankan apa yang diketahui. Di sinilah Action Learning saatnya kita lirik.
3. Exampling
Metode
ini paling mudah diucapkan, paling banyak diketahui orang, paling sulit
diterapkan tetapi paling mujarab ketika dijalankan. Tak sedikit dari
pakar SDM yang memberi saran bahwa salah satu jurus yang bisa kita
lakukan untuk mempertebal kepercayaan diri adalah melihat orang yang
sudah memiliki kepercayaan-diri. Saran ini kalau kita kembalikan ke
konsep pendidikan bukanlah saran yang bohong-bohongan. Vernon A.
Magnesen menulis bahwa belajar dengan cara melihat dan mendengar bisa
berperan sebanyak 30 – 50 %.
Di
sisi lain pengalaman alamiah kita juga telah mewahyukan bukti-bukti
nyata bahwa banyak hal dari kemampuan yang kita miliki saat ini ternyata
bukan berasal dari diri kita (temuan) melainkan karena kita meniru
orang lain yang pernah kita jadikan contoh. Kita melakukan jurus
tertentu karena dulu kita pernah melihat orang lain menggunakan jurus
itu dan sering berhasil.
Merujuk
pada konsep ilmiah dan bukti alamiah di atas maka memberikan contoh
tentang bagaimana suatu pekerjaan itu harus dikerjakan menurut standar
yang telah kita buat merupakan persoalan mendasar dalam pendidikan atau
pelatihan. Albert Einstein malah berani mengatakan bahwa memberikan
contoh bukan salah satu metode pendidikan tetapi satu-satunya metode
pendidikan.
Beberapa Hambatan
Meskipun
pilihan-pilihan di atas bisa kita jalankan dengan gratis, tetapi dalam
prakteknya bukan berarti bisa dijalankan seperti orang membalik tangan.
Banyak masalah yang muncul dan menghambat pelaksanaan keputusan kita. Di
antara masalah itu adalah:
1. Kesadaran Proses
Mendidik
orang itu diibaratkan seperti orang menanam kelapa. Tentu ini sebuah
ungkapan simbolik yang kira-kira kalau kita terjemahkan dengan merujuk
pada teori pendidikan atau petuah Aristotle akan membunyikan sebuah
kalimat bahwa mendidik orang itu perlu dimulai dari mengisi muatan
pikiran (mind) yang lebih baru, lalu sikap (attitude), lalu perilaku
(behavior), lalu kebiasaan (habit), dan barulah karakter (character).
Artinya, tidak seperti orang memukul benda keras dengan palu yang
langsung ke efek fisik.
2. Salah Sasaran
Meneruskan
ide besar yang ditulis oleh Jim Collins dalam bukunya itu, ada yang ia
temukan dari para pemimpin perusahaan yang sanggup bergerak dari Good ke
Great dalam memilih orang. Mereka lebih menekankan pilihan pada mental
skill ketimbang job skill (keahlian kerja) dari orang-orang yang
hendak direkrut menjadi pengikutnya. Pasalnya, keahlian kerja itu bisa
diajarkan dan dapat ditransformasikan dari luar dengan waktu yang lebih
cepat melalui sebuah transfer paket ilmu pengetahuan. Tetapi urusan
keyakinan, kemauan, pandangan positif, dan semisalnya adalah sesuatu
yang sudah mengakar di dalam diri orang sehingga kalau ingin diubah tak
hanya cukup ditransfer dari luar (knower) melainkan membutuhkan inisiatif dari dalam (learner).
Belajar
dari petunjuk di atas maka hal penting yang perlu kita perjelas dalam
pemahaman kita adalah, siapakah orang yang perlu kita didik itu?. Jim
Collins menggambarkan bahwa menaikkan gaji atau imbalan tidak banyak
sanggup mengubah "wrong people" menjadi right people in right place. Menaikkan teknologi, fasilitas, gaji atau imbalan akan banyak mengubah (mencipatakan manfaat) the right people supaya tetap betah lebih lama berada in the right place.
Di
sinilah saatnya kita mulai menerapkan sistem seleksi dan pengecualian
dalam metode dan model orang. Praktek hidup menunjukkan bahwa ternyata
tidak semua SDM itu aset bagi usaha. Hanya the right people yang
menjadi aset. Orang yang menjadi aset ini biasanya menempati porsi
minoritas yang kalau dirujukkan pada temuan Paretto bisa jadi jumlahnya
hanya 20 % dari yang ada di samping kiri-kanan kita. Meskipun hanya
sedikit tetapi kalau benar-benar menjadi aset dan kita asetkan, maka
yang sedikit itu sudah lebih dari cukup.
3. Mematikan
Hambatan
lain adalah kecenderungan kita untuk menggunakan pola berpikir tidak
rasional (irrational thinking) ketika kita menjumpai praktek yang salah
dari orang yang kita didik. Kalau kita merujuk pada praktek hidup, fakta
yang paling rasional dalam sebuah pendidikan adalah munculnya kesalahan
sehingga ketika kesalahan ini kita tolak atau tidak diolah sebagai
materi pendidikan untuk menemukan apa yang harus dilakukan dan apa yang
harus dihindari, sama saja artinya dengan mematikan proses.
Pasti
masih banyak metode lain yang bisa kita terapkan untuk meningkatkan
kualitas karyawan, ketika kita dalam posisi masih memperhitungkan bahwa
mengirim orang ke tempat lain itu merupakan bagian dari biaya tinggi
(belum terbukti sebagai aset). Semoga bisa dipraktekkan.
Ada
petunjuk dari hasil studi ilmiah yang bisa kita pilih sebagai rujukan
dalam mencerdaskan dan mengelola karyawan atau bawahan. Salah satu
laporan menyebutkan bahwa perusahaan yang menaikkan fasilitas kerja
sebanyak 10 % ternyata hanya mampu menciptakan kemajuan usaha sebesar 3 %
saja. Sementara bagi perusahaan yang menambah program peningkatan
karyawan sebanyak 10 % bisa menambah 8 % kemajuan.
Sebelumnya
pernah ada studi ilmiah yang pernah dilakukan oleh Jim Collins, penulis
buku Good to Great Company (Random House: 2001). Studi ini memang dari
awal difokuskan untuk meneliti seperti apakah perusahaan yang bergerak
dari level good (bagus) ke great (hebat) itu dalam memperlakukan
teknologi kerja.
Penelusuran
ke lapangan menghasilkan temuan bahwa salah satu ciri khas menonjol
perusahaan yang bergerak dari kualitas Good ke Great itu adalah
kemampuan mereka dalam menentukan teknologi yang cocok dengan
perkembangan perusahaan. Mereka tidak ikut-ikutan asal tambah teknologi
baru yang sebetulnya di lapangan kurang bermanfaat. Di sisi lain mereka
juga tidak ketinggalan teknologi yang sebetulnya dibutuhkan oleh
kemajuan kerja. Mereka menguasai teknologi tertentu yang benar-benar
dibutuhkan oleh pekerjaan yang secara riil ada.
Merujuk
pada kedua hasil temuan di atas, kira-kira salah satu materi tersirat
yang ingin disampaikan kepada kita adalah, bahwa menambah kemampuan SDM
sebenarnya lebih dibutuhkan demi kemajuan sebuah usaha ketimbang
menambah fasilitas kerja, meskipun perlu disadari bahwa menambah
kecanggihan fasilitas kantor pun juga penting.
Metode Alamiah
Terus terang
bahwa kalau kita bicara praktek di lapangan nampaknya masih terlalu
sangat sedikit kesadaran di kita akan pentingnya meningkat kualitas
karyawan. Di luar persoalan yang selalu kita kaitkan dengan keuntungan
(manfaat) yang tidak menjajikan bagi perusahaan, kekhawatiran akan
hengkangnya karyawan setelah "dipinterkan", dan efisiensi kerja yang
terganggu, memang ada masalah lain yang juga sering menjadi persoalan
tersendiri, yakni masalah adalah cost (biaya tinggi).
Meskipun
tidak bisa kita katakan seluruhnya, tetapi bisa kita pastikan bahwa
sebagian dari kita mengahadapi persoalan itu. Ada keinginan untuk
mengirim orang ke tempat pelatihan, pendidikan atau lokakarya, tetapi
apa daya cash perusahaan belum menunjukkan angka yang memungkinkan untuk
melakukan itu. Angka yang tidak mendukung ini bisa bermacam-macam
bentuknya: mulai dari angka yang dibuat-buat atau angka yang memang
benar-benar angka. Apa yang mungkin bisa kita lakukan andaikan saja
persoalan di atas itu terjadi pada kita padahal di satu sisi kondisi
usaha yang kita inginkan adalah terciptanya kemajuan orang-orang yang
kita miliki yang kalau bisa secepat mungkin terwujud?
Dalam
situasi seperti itu mungkin sudah saatnya kita melirik ke metode lain
yang juga pada akhirnya akan memiliki minus-plus yang sama atau hampir
sama jika kita bicara tentang esensi atau tujuan akhir suatu aktivitas
pendidikan dan pelatihan. Seperti kata Galileo, esensi pendidikan di
dunia ini adalah mengantarkan orang pada tingkat kesadaran yang semakin
tinggi akan dirinya (peranan, tugas, tanggung jawab, keunggulan, dst).
Di antara metode yang mungkin bisa kita lirik untuk kita terapkan dan
(untungnya) sudah teruji hasilnya bagi orang lain adalah pilihan-pilihan
berikut ini:
1. Strorytelling
No comments:
Post a Comment