Oleh : Arbono Lasmahadi
Jakarta, 29 April 2004
Bagaimana Mengelola Hubungan Industrial Tanpa Kehadiran Serikat Pekerja
Wajah Ginandjar tampak
berseri-seri sore itu ketika ia baru saja keluar dari sebuah kantor di
Kawasan Bisnis Segitiga Emas. Betapa tidak, Ia baru saja menanda-tangani
kesepakatan kerja dengan sebuah perusahaan di Kawasan Elite tersebut,
sebagai seorang Manajer di Divisi Sumber Daya Manusia (SDM). Di
perusahaan yang baru ini dan dengan posisinya yang baru, Ginandjar akan
mendapatkan tanggung jawab kerja dan wewenang yang lebih luas dari peran
yang selama ini ia jalankan di perusahaan tempatnya bekerja saat ini.
Posisinya saat ini adalah sebagai Manajer Pelatihan dan Pengembangan
yang bertanggung Jawab untuk mengelola proses rekrutmen dan seleksi ,
pelatihan dan pengembangan karyawan. Sementara di posisinya yang baru,
ia akan bertanggung jawab untuk mengelola seluruh spektrum dari Fungsi
SDM yang ada di perusahaan yang bersangkutan, yaitu dimulai dari proses
rerutmen dan seleksi, pelatihan dan pengembangan, remunerasi,
administrasi personalia, dan hubungan industrial, hingga penanganan
masalah pensiun.
Bila melihat tanggung jawab yang akan diembannya di
perusahaan yang baru, wajar saja bila Ginandjar cukup senang atas
tantangan yang ditawarkan oleh perusahaan yang baru. Namun di balik
keceriaan yang ditampilkannya sore itu, ada terbesit di dalam pikiran
Ginandjar, satu peran baru yang membuatnya sedikit cemas, yaitu mengenai
pengelolaan hubungan industrial di perusahaan. Masalahnya adalah adanya
perbedaan persepsi yang ada pada dirinya mengenai hubungan industrial
dengan keinginan dari pihak manajemen perusahaan. Dalam pandangan
Ginandjar , fungsi hubungan industrial sebaiknya dikelola dengan
melibatkan serikat pekerja. Sedangkan dari pihak manajemen perusahaan
menginginkan bahwa pengelolaan hubungan industrial dilakukan tanpa
kehadiran serikat pekerja. Hal ini terjadi karena manajemen perusahaan
percaya bahwa hubungan industrial yang positif dapat dibangun tanpa
perlu hadirnya serikat. Sepanjang pengetahuannya semua perusahaan yang
mempekerjakan minimum 25 orang karyawan wajib mempunyai sebuah serikat
pekerja. Mungkinkan hubungan industrial yang positif terjalin tanpa
kehadiran dari serikat pekerja?
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di dalam benak
Ginandjar sering pula menjadi kekhawatiran para praktisi SDM yang
mungkin sedang mengalami situasi yang mirip seperti yang dihadapi oleh
Ginandjar atau yang berkeinginan untuk mengembangkan karirnya menjadi
seorang generalis di bidang SDM. Pada dasarnya di dalam mengelola
hubungan industrial di perusahaan, keberadaan Serikat Pekerja bukanlah
sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Bila kita merujuk
kepada Undang Undang Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 pasal 106
dinyatakan :
1. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50
(lima puluh) orang pekerja/buruh atau lebih wajib membentuk lembaga
kerja sama bipartit.
2. Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi
mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan
3. Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan
unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis
untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan
Berdasarkan Undang-undang tersebut di atas, yang
wajib dipenuhi oleh perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya
adalah adanya lembaga kerjasama bipartite, dan tidak harus melulu
melalui hubungan dengan Serikat Pekerja. Dengan perkataan lain,
perusahaan dimungkinkan untuk mengelola hubungan industrialnya tanpa ada
keterlibatan dari Serikat Pekerja. Meskipun Undang Undang
Ketenaga-kerjaan No. 13 Tahun 2003 memberikan kemungkinan untuk itu,
bukan berarti perusahaan dapat melakukan kampanye anti serikat pekerja
di perusahaan dalam mengelola hubungan industrialnya, karena hal ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh,yang mengamanatkan :
"Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus
atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota
dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat
pekerja/serikat buruh dengan cara :
1. Melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi
2. Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh
3. Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun
4. Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh"
Apabila anda menjadi Ginandjar, apa yang akan anda
lakukan dalam mengelola hubungan industrial di perusahaan tanpa
melibatkan serikat pekerja ? Uraian-uraian berikut ini akan menjelaskan
mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengelola hubungan
industrial di dalam perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja.
Uraian-uraian ini dibuat berdasarkan pengalaman yang dialami oleh
penulis; yang pernah bekerja di perusahaan yang mengelola hubungan
industrialnya dengan keterlibatan dari serikat pekerja dan tanpa serikat
pekerja; serta dari studi literatur yang ada
A.
Hubungan Industrial Tanpa Serikat Pekerja
Perusahaan-perusahaan yang membangun hubungan
industrial yang produktif namun tidak ingin melibatkan serikat pekerja
di dalam keseluruhan prosesnya dapat mempertahankan kondisi tersebut
apabila :
1. Mampu meningkatkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja
2. Manajemen perusahaan mampu dan
berkeinginan untuk menawarkan kondisi kerja yang sama atau lebih baik
dari yang dapat mereka harapkan dari serikat pekerja (Mondy, Noe, &
Premeaux, 2002)
A.1. Faktor faktor yang dapat menurunkan kesempatan terjadinya pengorganisasian serikat pekerja
Menurut American Federation of Labor and Congress of Industrial Organizations; AFL - CIO (Nation Business
No. 54, 1966) ada sejumlah faktor yang dapat menurunkan kesempatan bagi
terjadinya pengorganisasian serikat pekerja di perusahaan, seperti
berikut :
-
Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak memanfaatkannya.
-
Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.
-
Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik
disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka
mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.
-
Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang
sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Stone (1998) yang mengemukakan
bahwa Kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan dari manajemen mendorong
pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja
-
Tidak adanya favoritisme; yang biasanya diperoleh melalui mekanisme diluar prestasi kerja.
-
Para supervisor yang mempunyai hubungan baik dengan para bawahannya.
Walaupun faktor-faktor tersebut muncul di Amerika
Serikat, namun berdasarkan pengalaman penulis menunjukkan bahwa
faktor-faktor tersebut masih relevan untuk dipertimbangkan dalam konteks
hubungan industrial di Indonesia. Sebagai contoh : penulis dalam
kapasitasnya sebagai Manajer SDM pernah menyelesaikan pembuatan
peraturan perusahaan dengan baik tanpa menimbulkan konflik, di
perusahaan yang tidak memiliki serikat pekerja. Dalam proses pembuatan
peraturan perusahaan ini, para perwakilan karyawan dilibatkan dalam
memberikan usulan perubahan terhadap peraturan perusahaan yang ada.
Memang tidak semua usulan perwakilan karyawan dapat diterima. Namun
demikian, dengan pendekatan ini para karyawan tidak merasa diperlakukan
sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Dengan pendekatan ini pula, para
perwakilan karyawan akan mempunyai rasa memiliki terhadap aturan-aturan
yang ada. Hal ini kelak akan memudahkan pihak manajemen dalam menegakkan
peraturan yang ada. Disamping itu hubungan baik yang terjalin antara
penulis dengan perwakilan karyawan yang ada memudahkan penulis untuk
menjelaskan alasan-alasan yang menyebabkan usulan-usulan perwakilan
karyawan belum dapat dipenuhi.
A.2. Faktor-faktor di dalam perusahaan yang dapat menahan munculnya keinginan membentuk serikat pekerja
Menurut Mondy, Noe, Premeaux ( 2002) ada sejumlah
faktor yang apabila tidak dikelola dengan baik akan dapat mengundang
munculnya serikat pekerja. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Supervisor lini pertama yang berfungsi efektif
Hal yang paling penting bagi perusahaan agar tetap
mempunyai kemampuan dalam mempertahankan status bebas serikat pekerja
adalah efektifitas dari manajemennya, khususnya para Supervisor pada
lini pertama. Para Supervisor ini merupakan pertahanan awal pihak
manajemen terhadap serikat pekerja. Kemampuan para Supervisor ini dalam
menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pekerjaan, penilaian
karya , keluhan karyawan, penegakkan disiplin dan pemberian penghargaan,
akan mempengaruhi sikap karyawan terhadap perusahaan. Bila mereka mampu
menangani masalah-masalah yang muncul dengan baik, kemungkinan besar
sikap karyawan akan lebih positif terhadap perusahaan. Dengan demikian
dapat menghindarkan karyawan untuk berpikir mencari alternatif pemecahan
masalah yang lain, yang salah satunya melalui serikat pekerja. Peran
para Supervisor ini tidak dapat diabaikan, walaupun mereka adalah
tingkatan manajemen terendah di dalam perusahaan. Hal ini terjadi karena
para Supervisor biasanya mempunyai pengaruhi yang lebih besar kepada
para karyawan dibandingkan dengan para Manajer lainnya.
b. Adanya kebijakan bebas serikat pekerja
Apabila perusahaan mempunyai sasaran untuk tetap
mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibatan serikat pekerja,
maka kebijakan tersebut seharusnya dikomunikasikan dengan baik dan
berulang-ulang pada seluruh karyawannya. Para karyawan harus diberikan
informasi yang lengkap dan tepat tentang alasan-alasan yang mendasari
pihak manajemen organisasi untuk mengambil kebijakan ini dan dampak
kebijakan ini terhadap seluruh karyawan. Komunikasi yang efektif
diperlukan untuk meyakinkan para karyawan tentang manfaat yang diperoleh
oleh organisasi dan juga para karyawan atas penetapan kebijakan bebas
serikat pekerja ini. Khususnya di Indonesia, penetapan dan penerapan
kebijakan bebas serikat pekerja ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya
seperti yang dilakukan di Amerika Serikat. Dengan demikian hal ini harus
dilakukan secara hati-hati untuk memastikan bahwa langkah yang diambil
organisasi ini tidak dianggap sebagai upaya untuk melakukan kampanye
anti serikat pekerja. Sesuatu kebijakan yang akan dianggap melanggar
pasal 28 Undang Undang No. 21 Tahun 2000.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis, banyak
perusahaan di Indonesia yang tidak secara resmi atau tertulis
menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan bebas serikat pekerja. Namun
dalam prakteknya mereka melakukan hal tersebut. Hal ini mungkin bagian
dari taktik perusahaan agar tidak dianggap melanggar undang undang.
Namun demikian menurut hemat penulis, seandainya memang perusahaan ingin
mengelola hubungan industrialnya tanpa keterlibaan serikat pekerja,
maka sebaiknya perusahaan tidak perlu menetapkan dan menyatakan
kebijakan ini secara terbuka kepada siapapun. Selain itu, praktisi SDM
yang ada di perusahaan harus memahami dengan baik ketentuan-ketentuan
yang mengatur mengenai serikat pekerja.
c. Komunikasi yang efektif
Agar tetap bebas dari serikat pekerja, perusahaan
harus mampu membangun sebuah komunikasi yang efektif dengan seluruh
elemen yang ada di dalam organisasi. Berbagai cara dapat dilakukan untuk
membangun proses komunikasi yang efektif di dalam perusahaan, antara
lain melalui :
1. Manajemen partisipatif
Melalui manajemen partisipatif ini, para karyawan
diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan
atau pembuatan kebijakan tertentu oleh atasannya. Dengan pendekatan ini
demikian para manajer dapat mendengarkan dan memahami gagasan-gagasan,
umpan balik, maupun keberatan dari para karyawan. Dampak utama yang
diharapkan dari pendekatan ini adalah terbentuknya sikap positif dan
keyakinan dari para karyawan bahwa mereka telah diperlakukan dengan baik
dan bahwa atasan mereka merupakan pihak yang tepat untuk menyalurkan
aspirasi mereka, dan bukan serikat pekerja.
2. Manajemen Kinerja (Performance Management)
Salah satu bentuk dari komunikasi yang efektif adalah
apabila para karyawan memahami tugas-tugas yang harus dilakukannya,
diberikan informasi yang diperlukan mereka untuk melakukan pekerjaan
dengan baik, dan diberikan umpan balik atas kinerja yang ditampilkannya.
Semua kondisi tersebut di atas hanya dapat terjadi apabila proses
manajemen kinerja di dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik. Dengan
penerapan manajemen kinerja yang baik maka akan menghindarkan munculnya
konflik di tempat kerja yang disebabkan oleh ketidak-jelasan
tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para karyawan. Konflik yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik dapat menciptakan ruang bagi kemungkinan
munculnya keinginan dari karyawan untuk membentuk serikat pekerja.
Khususnya bila karyawan yang bersangkutan merasa tidak puas dengan
penyelesaian konflik yang dilakukan oleh atasannya atau pihak manajemen
perusahaan.
3. Open door policy
Open door policy adalah kebijakan
perusahaan yang memberikan hak kepada para karyawan untuk membawa
berbagai masalah/keluhan kepada atasan dari atasan langsung, apabila
penyelesaian yang memuaskan tidak dapat diperoleh dari atasannya
langsung. Dengan kebijakan ini, maka para karyawan didorong untuk
mencari penyelesaian masalah yang dihadapinya tetap dalam kerangka
struktur organisasi yang ada. Dengan demikian dapat memastikan bahwa
berbagai masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan memuaskan Dengan
demikian memperkecil ruang bagi munculnya keinginan untuk mencari
penyelesaian di luar struktur organisasi.
Agar kebijakan ini berjalan dengan efektif maka para
karyawan tidak boleh merasa takut bahwa dengan melaporkan masalah yang
dihadapinya kepada atasan dari atasan langsungnya, akan menghambat
karirnya. Untuk itulah para pihak yang terlibat dalam proses ini harus
memiliki sikap dewasa, terbuka dan saling percaya satu dengan lainnya.
Kebijakan ini akan menjadi kontra produktif bila karyawan yang
melaporkan keluhannya kemudian dihukum atau dihambat karirnya karena
telah mem"bypass" atasannya langsung.
d. Kepercayaan dan keterbukaan
Kepercayaan dan keterbukaan dari para manajer dan
para karyawan merupakan hal yang tidak dapat dilupakan bagi perusahaan
untuk tetap dapat mengelola hubungan industrialnya tanpa kehadiran dari
serikat pekerja. Kredibilitas yang didasarkan atas kepercayaan harus ada
diantara manajemen dan para karyawan. Bila para karyawan mempersepsikan
bahwa manajernya cukup terbuka dan dapat menerima gagasan-gagasan dari
mereka, maka akan muncul lebih banyak umpan balik kepada manajernya.
Manajer membutuhkan umpan balik ini untuk melaksanakannya pekerjaannya
secara efektif. Bila manajer memberikan kesan bahwa perintah-perintahnya
tidak boleh dipertanyakan, maka komunikasi akan tersumbat dan
kredibilitas manajer perlahan-lahan akan hilang.
e. Program-program kompensasi yang efektif
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa program kompensasi
yang efektif akan menjadi daya tahan tersendiri bagi perusahaan dari
"gempuran" pihak-pihak yang menginginkan berdirinya serikat pekerja di
perusahaan. Kompensasi yang efektif berarti bahwa sistim penggajian dan
kesejahteraan diberikan secara tepat guna kepada karyawan untuk
mendorong mereka berprestasi secara maksimal di dalam perusahaan. Contoh
: Pemberian bonus bagi para karyawan yang berprestasi di atas
rata-rata, kenaikan gaji berkala yang dilakukan sesuai dengan kemampuan
perusahaan dan kenaikan gaji pada industri sejenis, bantuan biaya
pendidikan bagi karyawan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi yang relevan dengan pekerjaannya, dll.
Berdasarkan pengalaman penulis dalam menangani
permasalahan serikat pekerja, diketahui bahwa umumnya isu yang menjadi
bahan perselisihan oleh serikat pekerja adalah menyangkut hal-hal yang
bersifat normatif, seperti kenaikan gaji, uang lembur, jaminan
kesehatan, jamsostek , dan sebagainya. Dengan demikian, apabila
perusahaan telah mempunyai program-program kompensasi yang efektif, maka
sebagain besar potensi masalah yang dapat menjadi titik awal munculnya
perselisihan perburuhan, yang dapat mengarah pada upaya pembentukan
serikat pekerja telah dapat dieleminir. Namun demikian, program
kompensasi yang efektif yang diberikan oleh pihak perusahaan harus
secara berkala ditinjau ulang dan dikelola dengan baik. Hal ini untuk
memastikan bahwa program-program yang ada tetap kompetitif dan menarik
bagi para karyawan, khususnya bagi karyawan yang berprestasi. Pemberian
kompensasi yang menarik namun tidak dikelola secara efektif malah akan
menjadi pemicu munculnya ketidak-puasan karyawan, yang pada akhirnya
akan menstimulasi munculnya perselisihan yang dapat mendorong munculnya
upaya-upaya pembentukan serikat pekerja.
f. Lingkungan kerja yang sehat dan aman
Lingkungan kerja, tak pelak lagi menjadi faktor
penting yang tidak dapat diabaikan dalam membangun hubungan industrial
tanpa kehadiran serikat pekerja. Lingkungan kerja yang sehat dan aman
akan menciptakan ketenangan bekerja bagi para karyawan. Lingkungan kerja
yang tidak memberikan perlindungan yang baik bagi karyawan, akan
memberikan ruang bagi terjadinya kecelakaan kerja. Semakin banyak
terjadinya kecelakaan kerja akan mendorong karyawan menuntut pada pihak
perusahaan untuk memenuhi kewajiban normatifnya. Bukan tidak mungkin,
karyawan akan membawa masalah ini kepada pihak luar, bila pihak
perusahaan tidak berupaya menananggapi masalah ini arif. Bila hal ini
terus berkepanjangan, maka ruang bagi munculnya serikat pekerja telah
terbuka dengan luas di perusahaan.
Kesimpulan
Membangun hubungan industrial di perusahaan tanpa
kehadiran serikat pekerja, bukanlah sesuatu hal yang mustahil dan tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di bidang
ketenaga-kerjaan yang ada di Indonesia. Banyak perusahaan yang telah
menerapkan hal ini. Namun demikian dalam melaksanakan hal tersebut di
atas, pihak perusahaan harus berhati-hati dalam merencanakan dan
melaksanakannya. Hal ini penting untuk menghindarkan perusahaan dari
tuntutan hukum karena dianggap menghalangi pembentukan serikat pekerja,
yang merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang no 21 tahun 2000
Tentang Serikat Pekerja/Buruh.
Hubungan industrial tanpa keterlibatan serikat
pekerja, dapat dibangun apabila faktor-faktor yang dapat menahan upaya
pengorganisasian serikat pekerja seperti telah disebutkan dan dijabarkan
di atas, telah dimiliki atau telah dibangun oleh pihak perusahaan.
Namun satu hal yang perlu diingat, bahwa semua
faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lainnya. Tidak adanya salah satu faktor dari
faktor-faktor yang tersebut di atas, dapat mengurangi kemampuan
perusahaan untuk menghindari terjadinya pengorganisasian serikat pekerja
di perusahaan. Ulasan di atas, diharapkan dapat membantu
Anda, mengambil sikap yang tepat, dalam menjawab tantangan-tuntutan-
kebutuhan seputar serikat kerja di perusahaan tempat Anda bekerja.
Semoga bermanfaat. (jr)
**Penulis adalah alumnus Program Pasca Sarjana
Psikologi Jurusan Psikologi SDM – Fakultas Psikologi, Universitas
Indonesia. Saat ini penulis merupakan praktisi SDM di sebuah perusahaan
Multinasional Asing
Adanya keyakinan dari karyawan bahwa atasannya tidak memanfaatkannya.
Para karyawan yang bangga dengan pekerjaannya.
Catatan-catatan mengenai prestasi kerja yang baik
disimpan oleh perusahaan. Para karyawan merasa aman saat mereka
mengetahui bahwa upaya-upaya mereka diakui dan dihargai.
Tidak adanya tuntutan atas perlakuan yang
sewenang-wenang. Para karyawan menghargai disiplin yang tegas tapi adil.
Hal ini sejalan dengan pendapat dari Stone (1998) yang mengemukakan
bahwa Kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan dari manajemen mendorong
pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja
Tidak adanya favoritisme; yang biasanya diperoleh melalui mekanisme diluar prestasi kerja.
Para supervisor yang mempunyai hubungan baik dengan para bawahannya.
1. Manajemen partisipatif
Melalui manajemen partisipatif ini, para karyawan
diberi kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan
atau pembuatan kebijakan tertentu oleh atasannya. Dengan pendekatan ini
demikian para manajer dapat mendengarkan dan memahami gagasan-gagasan,
umpan balik, maupun keberatan dari para karyawan. Dampak utama yang
diharapkan dari pendekatan ini adalah terbentuknya sikap positif dan
keyakinan dari para karyawan bahwa mereka telah diperlakukan dengan baik
dan bahwa atasan mereka merupakan pihak yang tepat untuk menyalurkan
aspirasi mereka, dan bukan serikat pekerja.
2. Manajemen Kinerja (Performance Management)
Salah satu bentuk dari komunikasi yang efektif adalah
apabila para karyawan memahami tugas-tugas yang harus dilakukannya,
diberikan informasi yang diperlukan mereka untuk melakukan pekerjaan
dengan baik, dan diberikan umpan balik atas kinerja yang ditampilkannya.
Semua kondisi tersebut di atas hanya dapat terjadi apabila proses
manajemen kinerja di dalam perusahaan sudah berjalan dengan baik. Dengan
penerapan manajemen kinerja yang baik maka akan menghindarkan munculnya
konflik di tempat kerja yang disebabkan oleh ketidak-jelasan
tugas-tugas yang harus dilakukan oleh para karyawan. Konflik yang tidak
dapat diselesaikan dengan baik dapat menciptakan ruang bagi kemungkinan
munculnya keinginan dari karyawan untuk membentuk serikat pekerja.
Khususnya bila karyawan yang bersangkutan merasa tidak puas dengan
penyelesaian konflik yang dilakukan oleh atasannya atau pihak manajemen
perusahaan.
3. Open door policy
Open door policy adalah kebijakan
perusahaan yang memberikan hak kepada para karyawan untuk membawa
berbagai masalah/keluhan kepada atasan dari atasan langsung, apabila
penyelesaian yang memuaskan tidak dapat diperoleh dari atasannya
langsung. Dengan kebijakan ini, maka para karyawan didorong untuk
mencari penyelesaian masalah yang dihadapinya tetap dalam kerangka
struktur organisasi yang ada. Dengan demikian dapat memastikan bahwa
berbagai masalah yang muncul dapat diselesaikan dengan memuaskan Dengan
demikian memperkecil ruang bagi munculnya keinginan untuk mencari
penyelesaian di luar struktur organisasi.
Agar kebijakan ini berjalan dengan efektif maka para
karyawan tidak boleh merasa takut bahwa dengan melaporkan masalah yang
dihadapinya kepada atasan dari atasan langsungnya, akan menghambat
karirnya. Untuk itulah para pihak yang terlibat dalam proses ini harus
memiliki sikap dewasa, terbuka dan saling percaya satu dengan lainnya.
Kebijakan ini akan menjadi kontra produktif bila karyawan yang
melaporkan keluhannya kemudian dihukum atau dihambat karirnya karena
telah mem"bypass" atasannya langsung.
No comments:
Post a Comment