Soal membangun sistem ini kerapkali menjadi topik
utama dalam pembicaraan tentang organisasi. Orang sering membicarakannya
tak hanya di forum resmi, seperti seminar, internal meeting, training, workshop,
dan seterusnya. Tetapi juga di tempat-tempat di mana ada pertemuan atau
perjumpaan bisa dilakukan. Mungkin seperti di pinggir jalan, di tempat
makan, atau di kawasan toilet. Dimanapun dibahas, intinya sama:
membangun sistem ini merupakan persoalan vital dalam organisasi.
Kalau merujuk pada pengertian dasarnya, membangun
sistem berarti membentuk interaksi secara reguler atau mengusahakan
kesaling-bergantungan antargroup atau item supaya menjadi kesatuan yang
menyeluruh untuk bekerja mewujudkan tujuan yang diinginkan. Sistem kerja
di organisasi itu sama seperti sistem yang bekerja pada mesin
kendaraan. Agar kendaraan bisa bekerja sesuai dengan yang kita inginkan,
sistem harus aktif. Jika ada salah satu item atau elemen yang tidak
bekerja-menyatu pada sistem, pasti kendaraan itu jalannya tidak seperti
yang kita inginkan. Pasti akan terasa "there is something less or wrong".
Ketika konteksnya adalah organisasi manusia, maka sistem di sini punya fungsi antara lain:
1. Membentuk perilaku individu dalam organisasi
Perilaku individu tak cukup dibentuk dengan
pengetahuan. Seandainya itu cukup, pasti semua individu dalam perusahaan
akan berperilaku sama. Mengapa? Karena semua orang (kecuali sebagian
kecil) sudah tahu apa yang baik, apa yang benar dan apa yang bermanfaat
untuk dilakukan. Tetapi prakteknya tidak begitu. Artinya, diperlukan
sistem yang bekerja untuk membantu individu menjalankan apa yang sudah
diketahuinya supaya sejalan dengan visi-misi organisasi.
2. Membentuk standar kualitas operasi organisasi
Kita pasti sepakat bahwa pelaku usaha di dunia ini
sudah tahu kalau keuntungan / profit itu dihasilkan dari benefit yang
diberikan kepada pelanggan atau pembeli. Agar benefit yang diberikan itu
berkualitas, tidak asal-asalan apalagi merugikan, dibutuhkan sistem
kerja yang sudah terstandar. Lemahnya sistem kerap membuat suatu usaha
itu tidak sanggup memberikan benefit kepada pelanggan, meski semua orang
di situ sudah tahu kalau profit itu didatangkan dari benefit. Sistem di
sini berfungsi untuk men-stadar-kan benefit yang harus diberikan kepada
pelanggan atau pembeli berdasarkan kualifikasinya masing-masing.
3. Menentukan standar kualitas orang.
Ketika saya masih bekerja di perusahaan pariwisata
dulu, kerap saya mendengar penilaian umum yang diberikan kepada
orang-orang tertentu yang keluar dari perusahaan tertentu. Mereka
menilai, orang-orang yang sudah pernah bekerja di perusahaan A beberapa
tahun dianggap sudah menguasai sekian keahlian. Dengan begitu, harganya
mahal kalau pengalamannya digunakan untuk bekerja di tempat lain.
Artinya, karena perusahaan A ini punya sistem yang sudah lebih bagus
dari yang lain, sehingga orang-orang yang bekerja di situ tak hanya
mendapatkan imbalan uang semata, tetapi juga mendapatkan standar
kualitas tertentu yang berharga. Di sini, organisasi memainkan
sedikitnya dua hal: a) menjadi lahan untuk mencari uang, dan b) menjadi
lahan pendidikan (self-education). Fakta ini juga dapat kita
jumpai pada sekolah atau lembaga tertentu. Yang membuat sekolah itu beda
dalam penilaian orang lain terkadang bukan materi pelajarannya tetapi
sistem yang diterapkan di sekolah itu.
Ketiga hal di atas barulah sebatas sebagian dari
sekian fungsi sistem dalam organisasi. Intinya, memiliki sistem kerja
yang bekerja (the system that works) adalah dambaan bagi semua pemimpin organisasi.
Empat Prinsip
Ketika saya katakan prinsip berarti ini bukan
strategi yang bisa dipilih antara: dijalankan atau diabaikan. Prinsip
hanya menyediakan satu pilihan yang terangkum dalam Hukum Sebab-Akibat.
Kalau kita memilih menjalankan, akibatnya adalah mendapatkan (hasil,
pahala, dst). Kalau kita memilih mengabaikan, akibatnya adalah tidak
mendapatkan. Cuma itu pilihannya. Tak ada tawar menawar atau pilihan.
Prinsip adalah terjemahan dari hukum-hukum Tuhan yang sudah baku di
dunia ini. Bahasa atau istilah untuk menyebutnya bisa bermacam-macam,
tetapi esensinya tetap itu-itu juga.
Dari sekian seminar atau diskusi yang saya hadiri,
entah dengan para pengamat, pakar SDM atau praktisi SDM, saya ingin
memilih istilah-istilah tertentu untuk sekedar menjelaskan hukum Tuhan
di atas. Pemilihan istilah itu saya maksudkan: a) hanya untuk sekedar
mudah diingat saja, dan b) referensi bagi siapapun yang berkepentingan
untuk menciptakan budaya, menciptakan sisitem dalam sebuah organisasi
apapun. Istilah-istilah yang saya katakan prinsip itu adalah:
1. Komitmen
Komitmen yang saya maksudkan di sini adalah bentuk
nyata dari sebuah kesungguhan, dari mulai level menggagas sampai level
menjalankan, from the world of word to the world of action, dari
konsep ke praktek. Sebagus apapun desain rencana atau strategi yang kita
rumuskan untuk membangun sistem, akan sia-sia kalau komitmen ini
hilang. Anda bisa mengganti istilah yang saya pilih ini menjadi apa
saja, tetapi ketika bicara membangun sistem, tak mungkin Anda bisa
menghilangkan esensi kalimat kesungguhan di sini. Kesungguhan yang
dibuktikan oleh atasan akan menjadi teladan bagi yang lain. Teladan
bukan salah satu cara mendidikan orang tetapi satu-satunya. Kesungguhan
yang dilakukan oleh bawahan akan memperkuat komitmen atasan. Kesungguhan
yang dijalankan oleh atasan dan bawahan akan membentuk sistem.
2. Kelayakan untuk dipercaya (credibility)
Untuk membangun sistem dibutuhkan kehadiran orang
yang kredibel menurut sistem yang dibangunnya. Membangun sistem kerja
dibutuhkan orang yang ahli di bidang itu. Membangun sistem usaha
dibutuhkan orang yang ahli di bidang itu. Membangun sistem keluarga
dibutuhkan orang yang ahli atau tahu banyak dan punya pengalaman banyak
di bidang itu. Sepertinya tidak ada sebuah sistem yang berhasil dibangun
oleh orang yang memang kurang kredibel.
Kredibilitas yang saya maksudkan di sini bukan saja
kredibel dalam hal keahlian profesional saja, tetapi juga kredibel dalam
pengertian kekuatan moral-spiritual, seperti misalnya kejujuran,
ke-amanah-an, ketaatan, dan lain-lain. Abraham Lincoln berkesimpulan,
tak ada yang bisa dibangun di atas pondasi pelanggaran. Bahkan, seperti
yang dibuktikan praktek hidup, kalau pun ada, itu sifatnya hanya
sementara, bagai busa yang cepat menghilang. Meminjam istilah
Ronggowarsito, biarpun kelihatannya bejo (safe), tetapi akan berakhir dengan celoko atau molo (danger and damage).
3. Komunikasi
Membangun sistem juga membutuhkan kemampuan
berkomunikasi. Komunikasi yang saya maksudkan di sini adalah
menyampaikan pesan kepada orang lain (the meaning) tentang ide-ide yang
menyangkut sistem itu. Adapun tehniknya bisa bermacem-macam, tergantung
yang kita pilih, tergantung keadaan, atau tergantung lingkungan. Dalam
organisasi, tak mungkin ada orang yang sanggup membangun sistem
sendirian. Dan lagi, yang namanya sistem itu pasti menyangkut orang
lain. Hubungan kita dengan orang lain menjadi aktif karena komunikasi,
entah dalam bentuk apapun.
4. Kecerdasan
Prinsip terakhir adalah kecerdasan. Membangun sistem
membutuhkan kecerdasan. Meminjam pengertian yang dimunculkan oleh Howard
Gardner dalam "Multiple Intelligence", kecerdasan di sini berarti
kemampuan memecahkan masalah di lapangan dengan cara-cara,
tehnik-tehnik, atau strategi-strategi yang selalu lebih baik. Ini
berarti mencakup kreativitas, menambah pengetahuan, menambah keahlian,
kesadaran menghilangkan kebodohan, kesadaran mengurangi kelemahan,
belajar tentang bagaimana belajar, dan lain-lain.
Mengapa kecerdasan juga prinsip? Salah satau
alasannya adalah, tidak ada orang yang langsung punya komitmen kuat,
tidak ada orang yang langsung punya kredibilitas tinggi, tidak ada orang
yang punya kemampuan komunikasi yang canggih, dan juga, tidak ada
sistem yang langsung solid begitu hendak dibangun. Semua itu, menurut
Hukum Tuhannya diperoleh dengan cara mengasah kecerdasan. Kata Ratu
Elizabeth (secara simbolik): "Butuh tetesan keringan (sweat), butuh
tetesan air mata (tears), dan butuh tetesan darah (blood)."
Masalah di lapangan
Berdasarkan keempat prinsip di atas, ada beberapa
masalah yang kerap kita jumpai di lapangan. Masalah inilah yang sering
mengakibatkan usaha kita untuk membangun sistem gagal di tengah jalan.
Masalah itu pasti banyak dan sebagiannya kira-kira bisa kita ambil
contoh seperti berikut ini:
1. Hanya pernyataan belaka.
Semua pemimpin dan anggota organisasi berkepentingan
untuk membangun sistem. Tetapi kepentingan untuk membangun ini baru
diwujudkan ke dalam apa yang saya sebut dengan pernyataan. Misalnya
saja: pernyataan mulut, pernyataan tulisan (konsep, rencana, pokok-pokok
pikiran, dst), penyataan keinginan (harapan, himbauan, hasrat, kritik,
dst).
Semua orang akan sepakat dengan saya bahwa pernyataan
seperti di atas tidak bisa diandalkan untuk membangun sistem. Benar,
bahwa membangun sistem perlu diawali dengan rumusan yang matang tetapi
sejauh apapun rumusan itu dibuat, tetap saja harus diakhir dengan
pembuktian (action) sebagai awal dari proses menuju realisasi.
2. Lemah Karakter
Lemahnya karakter moral dan mental yang kita miliki,
akan menjadi masalah sendiri. Seperti yang sudah kita bahas di muka,
membangun sistem membutuhkan kepercayaan dari orang lain. Agar orang
lain bisa trust, dibutuhkan kredibilitas. Kredibilitas ini tentu tidak
bisa didapatkan dari khayalan. Kredibilitas moral didapatkan dari usaha
kita untuk memperkuat karakter moral. Kredibilitas profesional
didapatkan dari usaha kita untuk memperkuat karakter mental (kemauan
menambah pengetahuan, pengalaman, dan keahlian).
Dari dua karakter inilah yang kemudian menyebar ke power,
posisi, kepemilikan, reward, dan lain-lain. Bahkan kalau dilihat dari
praktek hidup, keduanya tidak bisa dipisahkan. Jika seseorang hanya ahli
saja tetapi moralnya rusak atau minus, kepercayaan orang lain masih
kurang. Sebaliknya, jika seseorang hanya bermoral saja, soleh saja, atau
baik saja, tetapi keahliannya minus atau rendah, kepercayaan orang lain
juga masih kurang.
3. Me-mekanis-kan hubungan
Seperti yang sudah kita bahas di muka, membangun
sistem butuh komunikasi dengan manusia lain dalam pengertian yang luas.
Atau bisa dipendekkan dengan istilah menjalin hubungan. Ketika
konteksnya adalah membangun sistem, hubungan manusia ini tidak bisa
di-mekanis-kan seperti kita menjalin hubungan dengan mesin. Mesin itu,
apapun namanya, hanya punya dua kendali prinsip: on dan off
(diaktifkan atau dimatikan). Artinya tidak ada mesin yang punya
inisiatif sendiri untuk mengaktifkan dirinya atau mematikan dirinya.
Ini akan berbeda dua ratus derajat dengan manusia. Manusia bisa di-on-kan oleh perintah dan bisa di-off-kan
dengan larangan tetapi juga punya inisitif, kepentingan dan punya
keadaan spesifik yang sifatnya "sendiri". Karena itu, tidak bisa kita
mengajak orang lain untuk terlibat dalam usaha membangun sistem dengan
menggunakan pendekatan seperti kita memperlakukan mesin. Artinya,
dibutuhkan berbagai macam strategi, tehnis, cara atau metode untuk
berkomunikasi dengan orang lain. Tidak hanya one-off atau one on-off.
4. Salah memahami problem
What is the problem? Menurut definisi yang sudah
dibakukan oleh teori manajemen, problem adalah penyimpangan yang muncul
(deviasi). Dalam teori, pasti tidak ada orang yang tidak tahu atau tidak
ada orang yang tidak bisa memehamai definisi itu. Semua orang akan tahu
dan bisa dipahamkan tentang what is the problem.
Tetapi akan lain ketika kita bicara bagaimana problem
itu dipahami dalam praktek. Gagalnya proses membangun sistem karena
kurang bisa memahami definisi problem dalam praktek. Seperti apakah
problem itu harus dipahami dalam praktek? Problem adalah penyimpangan
dan penyimpangan yang muncul adalah akibat dari usaha, melakukan sesuatu
atau menjalani proses pembuktian. Begitu penyimpangan muncul, timbullah
tanda tanya. Tanda tanya inilah yang mendorong kita untuk menemukan
solusi. Solusi yang kita temukan berdasarkan problem inilah yang
menghasilkan perbaikan demi perbaikan.
Belajar dari pengalaman para pengusaha yang pernah
diwawancarai oeh Harvard Business School, problem dalam pengertian
seperti di atas akan sangat berguna dalam proses pengambilan keputusan
usaha atau bisnis. Dengan mengacu pada problem ini, maka keputusan dan
solusi menjadi tepat sasaran atau sesuai dengan kebutuhan keadaan. Di
sinilah kecerdasan kita akan terasah berdasarkan keadaan kita, bukan
keadaan orang lain atau organisasi lain.
Kebanyakan kita belum melakukan sesuatu secara
optimal, tiba-tiba merasa punya problem. Itupun terkesan "didramatisir"
seolah-olah problem itu sebesar gunung akan meletus atau sepanjang
Tembok Cina yang tak mungkin ditembus. Berdasarkan praduga perasaan ini,
kita lantas mendatangkan solusi dengan cara: menambah fasilitas,
menciptakan kondisi, menciptakan lingkungan (environment-ing), membuat peraturan yang aneh-aneh (en-ruling),
dan lain-lain. Akhirnya, banyak fasilitas yang tidak terpakai, banyak
peraturan yang berubah menjadi dokumen lusuh, dan kecerdasan kita tidak
terlatih secara bertahap.
Saya yakin bahwa hukum bermain musik yang sudah
dibuktikan para musisi besar di dunia ini juga berlaku untuk semua hal,
termasuk dalam hal membangun sistem usaha. Hukum itu mengatakan, the best technique is always not in the book. Not in the book
maksudnya adalah akan ditemukan oleh Anda dari usaha Anda dalam
melakukan sesuatu untuk mengatasi problem atau melakukan sesuatu untuk
berkreasi (to create something). Selama tidak ada yang kita lakukan, problem itu bukan problem tetapi merasa punya problem atau kita yang ber-problem.
No comments:
Post a Comment