ads ads ads ads

Monday, June 3, 2013

4 Bias yang Sering Terjadi dalam Wawancara

Test wawancara bisa dikatakan sebagai gerbang utama seorang kandidat masuk ke dalam sebuah perusahaan. Hampir di setiap perusahaan, penerimaan karyawan baru bergantung pada hasil test wawancara. Ironisnya, sebuah studi yang dilakukan Schmidt and Hunter pada tahun 1998 mengungkapkan, interview hanya mampu memprediksi 14 persen dari variabilitas sifat keseluruhan seorang kandidat di tempat kerja. Hal ini cukup mengkhawatirkan karena kita terbiasa bergantung pada wawancara sebagai alat untuk merekrut top talent.
Wawancara yang terjadi antara dua pihak secara personal, memberikan cukup banyak ruang bagi hubungan sosial untuk mempengaruhi hasil keputusan wawancara. Hal-hal yang sifatnya tidak relevan dengan pekerjaan akan membuat bias sehingga memungkinkan penerimaan talent yang sebetulnya tidak berkualifikasi. Manusia juga kerap sekali bersikap subjektif yang membuat hasil wawancara menjadi tidak representatif untuk sebuah jabatan dengan jobdesc di dalamnya.
Recruiter.com mendaftar empat contoh bias yang kerap terjadi pada saat proses interview, sebagai berikut:
1. Confirmation Bias (Melakukan konfirmasi)
Salah satu penyebab melencengnya penilaian interviewer terhadap kandidat yang diwawancara adalah kecenderungan mereka untuk melakukan konfirmasi. Sebelum menginterview, mereka sudah memiliki penilaian atau asumsi tersendiri terhadap si kandidat. Dengan gambaran dangkal yang sudah dimiliki sebelumnya, interviewer menjadi kurang terbuka untuk melihat kemampuan skill yang lain yang dimiliki oleh kandidat.
2. Pengambilan Keputusan secara Afektif
Bias ini terjadi karena pewawancara memberikan penilaian berdasarkan evaluasi singkat, cepat dan superfisial. Misalnya saja kita memberikan penilaian hanya berdasarkan tingkat attractiveness dari kandidat, ras, gender dan hal-hal lain yang sebenarnya tidak substansial untuk skill yang dibutuhkan oleh posisi yang akan dia tempati di perusahaan.
3. Anchoring
Anchoring adalah tendensi seorang pewawancara untuk menetapkan ekspektasi dari seorang kandidat yang akan diwawancara. Hal tersebut kemudian menjadi dasar untuk memberikan penilaian kepada yang diwawancara. Sebagai contoh untuk kasus ini adalah ketika pewawancara mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap seorang calon maka calon tersebut cenderung mendapatkan wawancara yang lebih positif, sebaliknya jika pewawancara tidak merasa sreg dengan seorang kandidat sejak awal, ia akan mewawancara dengan asal-asalan.
4. Intuisi
Salah satu faktor penentu untuk menentukan seorang kandidat diterima atau tidak adalah intuisi. Hal ini biasanya dilakukan ketika pewawancara tidak memiliki data yang cukup untuk menilai kesesuaian kandidat dengan budaya dan nilai yang dianut perusahaan. Juga tidak terlalu  mengetahui secara detail apakah kandidat  mememenuhi kualifikasi dari posisi yang akan diduduki. Masalahnya adalah, intuisi tersebut tidak reliable, subjektif. Emosi, kondisi fisik atau psikis pewawancara sangat berpengaruh dalam mengambil keputusan.
Setelah mengetahui sumber bias tersebut, seorang pewawancara dapat mengurangi dampak negatifnya di antaranya dengan memperpanjang waktu evaluasi. Pewawancara juga perlu menyiapkan sebuah struktur yang jelas tentang kriteria yang diinginkan, diselaraskan dengan job description yang nantinya akan dikerjakan kandidat. Selain itu, observasi yang mendalam juga perlu dilakukan untuk mereduksi bias-bias tersebut. Terakhir, akuntabilitas adalah penting. Jadi, perusahaan harus memiliki suatu culture atau requirement untuk proses interview. Siapa yang menginterview dan proses evaluasi harus didokumentasikan. Sedangkan hasil pilihan interviewer harus dapat dijustifikasi sehingga mereka lebih bertanggungjawab.

No comments:

Post a Comment