Hirarki Maslow
Konon,
sebelum wafat, Abraham Maslow, Bapak Penggagas Hierarki Kebutuhan itu,
sempat menunjukkan penyesalannya. Teori motivasi yang digagasnya itu
mestinya perlu direvisi. Apanya yang perlu direvisi? Menurut yang
ditulis Danah Zohar dan Ian Marshall dalam bukunya Spiritual Capital
(Mizan: 2005), katanya, Hierarki Kebutuhan yang digagasnya mestinya
perlu dibalik.
Seandainya
itu benar-benar kejadian, maka yang paling bawah bukanlah kebutuhan
fisik (fisiologis), melainkan aktualisasi-diri. Maslow menyesal karena
teori yang sebenarnya dimaksud untuk memaparkan problema masyarakat saat
itu, mengilhami orang-orang tertentu untuk menjadi tamak dan
terus-terusan memikirkan kebutuhan fisiknya, kebutuhan ragawinya. Di
sisi lain, seperti yang kerap kita dengar, teori ini juga banyak
"dimanfaatkan" oleh orang-orang malas untuk menjustifikasi kemalasannya
dengan alasan kebutuhan fisik.
Sebagaimana
kita ketahui, Maslow mengeluarkan teori motivasi yang diasaskan pada
kebutuhan manusia dalam bentuk gambar piramida (kebutuhan fisiologis,
rasa aman, sosial, penghargaan, aktualisasi-diri). Tak tahunya, teorinya
ini bisa dibilang termasuk yang paling mashur dan telah dijadikan
pedoman banyak orang.
Kalau membaca buku-buku manajemen yang beredar, ada sedikitnya tiga penjelasan dari teori Maslow itu.
Pertama,
setiap tingkatan atau hierarki, harus dipenuhi lebih dulu sebelum
tingkatan berikutnya diaktifkan. Orang tidak terdorong untuk memperoleh
pemenuhan kebutuhan sosial sebelum kebutuhan fisiknya dapat dipenuhi.
Orang tidak terdorong untuk mengaktualisasikan dirinya sebelum kebutuhan
lain-lain terpenuhi.
Kedua,
setelah satu kebutuhan dipenuhi, kebutuhan tersebut tidak lagi dapat
memotivasi perilaku seseorang. Tingkatan kebutuhan di atas hanya bisa
diibaratkan seperti pintu masuk. Jauh sebelum kita sampai rumah, yang
kita tuju adalah pintu masuk rumah. Begitu kita sudah sampai di depan
rumah, kepentingan kita dengan pintu masuk hanyalah untuk bisa
melewatinya.
Jika
ini dikaitkan dengan usaha memotivasi orang, maka yang diperlukan
adalah mengetahui sudah sampai pada hierarki ke berapa kini orang itu
berada. Seandainya orang itu masih berada pada hierarki fisiologi lantas
dimotivasi untuk melakukan hal-hal yang menjadi sumber pemenuhan
kebutuhan sosial, ini mungkin tidak kena. Paling-paling dia akan jawab: "wong cari makan aja susah, masak diajak yang nggak-nggak. . ."
Ketiga,
Maslow memisahkan kelima kebutuhan itu menjadi dua tingkat, yaitu:
tingkat atas dan tingkat bawah. Kebutuhan fisiologis dan keamanan
digambarkanya sebagai kebutuhan tingkat bawah. Sedangkan kebutuhan
sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri digambarkannya sebagai
kebutuhan tingkat atas. Kebutuhan tingkat bawah mendapatkan pemenuhan
dari faktor eksternal. Sementara kebutuhan tingkat atas mendapatkan
pemenuhan dari faktor internal.
Mengapa Aktualisasi Diri?
Jika kita harus ikut setuju juga dengan keinginan Maslow itu, mungkin kita punya beberapa alasan di bawah ini:
Pertama,
tidak ada teori buatan manusia yang punya kesempurnaan mutlak. Semua
menjadi relatif, tergantung konteks, tergantung metode, tergantung objectives, dan tergantung pada variable. Seperti yang difirmankan kitab suci, kesempurnaan mutlak itu hanya milik Tuhan.
Kedua,
atas nama eksplorasi dan eksperimentasi, apa dosanya juga kalau kita
mau membalik piramida itu. Toh itu hanya untuk diri kita sendiri. Kalau
pun salah, toh tidak ada aparat hukum yang menjebloskan kita ke penjara.
Tidak ada kesalahan yang terlalu fatal di sini.
Ketiga,
kandungan manfaat. Manfaat? Sesungguhnya, yang dituntut oleh kehidupan
dari diri kita ini, adalah menunjukkan siapa diri kita. Di tempat kerja,
kita dituntut untuk menunjukkan siapa diri kita. Di keluarga, kita
dituntut untuk menunjukkan siapa diri kita. Di masyarakat, kita dituntut
untuk menunjukkan siapa diri kita.
Pendeknya,
kehidupan ini menuntut kita untuk melakukan proses aktualisasi diri dan
kehidupan ini tidak mau peduli sudah sampai hierarki mana kini kita
berada. Kenyataan hidup ini "masa-bodoh" dengan hierarki. Ini kalau kita
merujuk pada pengertian bahwa yang dimaksudkan dengan aktulisasi diri
itu adalah:
"to realize fully one potential, to realize one mission, to realize the idea of becoming the best."
Artinya,
dalam keadaan apapun dan dalam situasi apapun, kita tetap dituntut
untuk mengaktualisasikan diri kita. Jika ini dikaitkan dengan motivasi
untuk berprestasi, di tempat kerja atau di manapun, mungkin kepentingan
kita untuk membalik piramida itu bisa dijelaskan antara lain:
1. Aktualisasi potensi
Kalau
berbicara tentang potensi manusia, ini mungkin referensinya sudah
sangat banyak. Profesor anu berbicara ada sekian kecerdasan yang
terpendam dalam diri manusia. Profesor anu lagi berbicara ada sekian
bakat yang terpendam. Profesor lain lagi berbicara ada sekian kompetensi
dasar. Kitab suci berbicara betapa hebatnya manusia itu dan sekaligus
berbicara betapa lemahnya manusia itu. Intinya, seperti kesimpulan
Daniel Goleman, seberapa pun kecerdasan manusia itu bisa diungkap, yang
sanggup diungkap itu hanya sebagian dan sekian.
Meski
terkesan ada perbedaan yang cenderung sulit disepakati tentang
"istilah"nya, tetapi semuanya sepakat untuk satu hal, yaitu: potensi manusia itu selamanya tidak akan berubah menjadi prestasi selama tidak diaktualisasikan. Maslow sempat bicara: "Saat
ini juga Anda sudah berada di dalam posisi yang tepat untuk melakukan
apapun. Di dalam diri Anda sudah terdapat kapasitas, bakat, misi, arah
hidup dan panggilan yang menyadarkan."
Untuk
mengaktualisasikan potensi menjadi prestasi, memang dibutuhkan banyak
hal. Memang dibutuhkan banyak proses. Memang dibutuhkan banyak waktu.
Memang dibutuhkan banyak uang. Memang dibutuhkan banyak fasilitas. Tapi,
ini semua dibutuhkan setelah ada satu hal: munculnya motivasi dari dalam diri seseorang untuk mengaktualisasikan dirinya.
Dipikir-pikir,
katakanlah untuk kasus di Indonesia, ini lebih bermanfaat. Kalau kita
menunda - bahkan menghentikan perjalanan meraih kebutuhan aktualisasi
dengan alasan menunggu terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang ada di
bawahnya dalam Piramida Maslow itu, maka pertanyaannya bukan masalah
benar atau salah, tapi kapan bisa tercapai. . . .?
Barangkali
inilah yang ikut andil atas munculnya fenomena di mana kebanyakan kita
tidak pernah tahu apa potensi dan keunggulan kita, apa kompetensi dan
kecerdasan dasar yang kita miliki - sampai kita meninggal dunia, padahal
katanya potensi yang kita miliki itu banyak sekali. Ini benar-benar
paradoks !!!
2. Bukti diri
Memunculkan
dorongan aktualisasi diri juga kita butuhkan saat menghadapi realitas
yang brutal atau bertentangan dengan keinginan. Realitas semacam itu
sama artinya dengan halang rintang. Meski realitas itu tak berbicara,
tetapi sebetulnya ia menawarkan tiga pilihan: a) apakah Anda akan mundur, b) apakah Anda akan diam, dan c) apakah Anda akan tetap memutuskan untuk melangkah maju dengan mencari jalan lain.
Kita
pilih yang manapun, sebetulnya itu pilihan kita. Tak ada orang lain yang
punya ruang ikut campur di sini. Cuma, pilihan yang kita jatuhkan itu
adalah bukti siapa diri kita. Jika kita memilih mundur, itulah
bukti siapa diri kita. Meski kita sanggup mengungkapkan beribu dalih,
tapi dunia ini akan tetap mencatat itulah bukti siapa diri kita. Itulah
kita yang mundur. Sebaliknya, jika kita memilih maju dengan mencari
jalan lain, itu pulalah bukti siapa diri kita. Meski tidak ada koran
yang menulisnya tetapi dunia ini akan mencatatnya sebagai rapor (report).
Kaitannya
dengan bahasan kita ini adalah, jika kita menjadikan terpenuhinya
kebutuhan fisik, keamanan, sosial dan lain-lain sebagai pra-syarat yang
kita tetapkan untuk memulai langkah maju, dengan berlindung di balik
Piramida Maslow, tentu kasihan sekali konsep itu. Piramida itu
dikeluarkan untuk memotivasi manusia supaya lebih maju, tapi kini
disalahgunakan untuk men-demotivasi.
Hal
lain yang lebih krusial adalah sikap dunia. Dunia ini tidak punya
kebijakan yang berbasiskan perasaan, seperti iba atau kasihan atas dalih
yang kita kemukakan. Ketika kita mengambil keputusan mundur, dunia ini
membalasnya dengan kemunduran. Ketika kita mengambil keputusan diam,
dunia ini membalasnya dengan stagnasi. Ketika kita mengambil keputusan
maju, dunia ini membalasnya dengan progresivitas. Ini diberikan dengan
tanpa memandang hierarki kebutuhan.
Jadi,
kita kedepankan atau kita "simpan" masalah aktualisasi diri itu, pada
akhirnya dunia ini tetap menuntut untuk diawalkan, di kedepankan, di
utamakan. Suka atau tidak, siap atau tidak, memang sudah begitu
garisnya. Ini kalau kita bicara minimalnya untuk dua konteks di atas.
Adapun untuk konteks lain, bisa jadi akan lebih bermanfaat kalau
Piramida itu diikuti, misalnya untuk memotivasi anak buah atau karyawan.
Penggoda Bernama Desakan "Kebutuhan"
Menurut
petuah klasik orang-orang bijak, jika Tuhan harus lebih banyak
mengingatkan manusia tentang kehidupan dunia yang membahayakan dan
kehidupan akhirat yang lebih menjanjikan, itu bukan berarti kehidupan
dunia ini tidak penting. Dunia ini tetap penting, terlepas kita
menganggapnya penting atau tidak.
Peringatan terhadap dunia itu dikeluarkan berkaitan dengan "the nature"
manusia. Secara insting, manusia lebih tertarik dengan kehidupan dunia,
target jangka pendek, dan hasil yang langsung kelihatan dan bisa
dilihat orang lain, sekaligus bisa dinikmati sekarang juga. Manusia, by nature, kurang tertarik dengan kehidupan akhirat, yang nanti, yang tidak kelihatan langsung, dan yang tidak bisa dinikmati sekarang.
Jika
Tuhan lebih banyak mengingatkan keutamaan intelektual, emosional dan
spiritual (kualitas manusia), dan lebih banyak mengingatkan bahayanya
kekayaan, perhiasan atau penampilan, itu bukan berarti semuanya itu
tidak penting bagi manusia. Tapi, ini karena, secara nafsu, manusia
lebih tertarik untuk mengejar kemewahan dengan harta ketimbang mengasah
intelektualnya atau emosionalnya. Manusia lebih tertarik menunjukkan
kekayaannya (show-off) ketimbang tertarik untuk meng-amal-kan (sebagian) kekayaannya kepada orang lain.
Jika
itu semua kita jelaskan dengan bahasa manajemen, mungkin kebutuhan dunia
(jangka pendek, kelihatan langsung) atau kebutuhan fisik manusia itu
selalu berada pada level "urgent" dalam diri manusia. Sementara,
kebutuhan yang berjangka panjang, kebutuhan yang mengarah pada
terbentuknya kualitas manusia, dan semisalnya selalu ditempatkan pada
level "important".
Sayangnya, seperti pesan Covey, kebanyakan manusia lebih sering merasa terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan urgent-nya dan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang important.
Covey menyebutnya dengan istilah keracunan desakan. Sebagai contohnya
misalnya, adakah orang yang merasa terdesak untuk membaca buku, beramal,
mengasah potensinya, dan semisalnya? Kalau pun ada, itu jumlahnya
sedikit. Tapi, jika kita bertanya adakah orang yang terdesak untuk
membeli teve terbaru, handphone terbaru, atau mobil keluaran baru, tentu ini jumlahnya terlalu banyak.
Kaitannya
dengan motivasi berprestasi adalah, jika kita selalu menjadikan
pemenuhan kebutuhan fisik (dalam pengertian yang luas), sebagai syarat
mutlak untuk berprestasi, berkarya, berkreasi atau berbuat baik bagi
manusia, kerapkali ini akan dikalahkan oleh dorongan kebutuhan yang
tidak ada habisnya itu. Bahkan seringkali hanya berupa tipuan. Desakan
kebutuhan fisik itu seperti air laut. Semakin banyak kita minum, semakin
haus kita.
Karenanya,
kepentingan kita untuk membalik piramida itu bukan untuk sebagai bahan
menulis puisi bahwa Maslow telah gagal. Bukan untuk itu. Maslow telah
"berijtihad" dengan kemampuannya dan untuk konteks tertentu masih tetap
perlu dijadikan rujukan, misalnya untuk pimpinan organisasi. Kepentingan
kita untuk membaliknya itu adalah agar kita tidak terjebak dalam upaya
memenuhi kebutuhan fisik dan mengabaikan kebutuhan aktualisasi dengan
berlindung di balik teori Piramida.
Dan
lagi, kalau kita mau hitung-hitungkan sederhana, jika kita sudah
mengaktualisasikan potensi yang kita miliki menjadi kumpulan prestasi
yang terus bertambah dan mengaktualisaikan "siapa diri kita" dalam
menghadapi realitas, masak sih kebutuhan fisik, kebutuhan sosial, dan lain-lain tidak terpenuhi sama sekali?
No comments:
Post a Comment