I.
Pendahuluan
Berbicara mengenai praktik outsourcing selalu menjadi topik yang hangat di Indonesia, karena
sampai saat ini tuntutan penghapusan sistem kerja outsourcing tidak
henti-hentinya diteriakkan oleh buruh-buruh di negara kita. Setiap Hari Buruh
tanggal 1 Mei yang dikenal dengan May Day, tuntutan ini selalu dikumandangkan.
Bahkan berbagai usaha secara terus menerus telah dilakukan untuk meninjau
kembali pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang outsourcing ini.
Outsourcing
menjadi suatu sistem yang bersifat dilematis. Di satu sisi implementasinya
dianggap sangat merugikan para buruh dan di sisi lain sistem ini justru sangat
menguntungkan para pengusaha. Bagi para buruh sistem ini adalah sumber
kegelisahan sosial, tidak memberikan jaminan kepastian bekerja dan tidak adanya
perlindungan upah serta jaminan kesejahteraan. Buruh merasa tidak mendapatkan
keadilan dan tidak mendapatkan perlindungan terhadap hak-haknya sebagai
pekerja. Selama ini sistem
outsourcing telah menempatkan buruh pada posisi yang tidak terlindungi
dan bisa dilakukan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon atau kompensasi
setelah berakhirnya masa kontrak. Buruh hanya dianggap sebagai komoditas. Oleh
sebab itu banyak pendapat yang mengatakan bahwa sistem outsourcing ini sebagai suatu bentuk perbudakan modern.(Wijayanti)
Sedangkan dari sudut pandang pengusaha sistem kerja outsourcing ini adalah suatu sistem kerja
yang digunakan untuk mencapai efisiensi guna meningkatkan produktivitas
perusahaan. Outsourcing dianggap
sebagai suatu strategi bisnis yang memiliki keuntungan yang sangat signifikan,
terutama dalam hal penurunan biaya produksi atau biaya operasional perusahaan.
Bagi pemerintah, sistem outsourcing ini adalah merupakan salah satu solusi untuk mengatasi
tingkat pengangguran yang tinggi serta sebagai pemikat bagi investor-investor
untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Banyaknya investasi sering menjadi
ukuran performance ekonomi suatu negara
demikian pula halnya dengan tingkat penyerapan tenaga kerja pada sektor formal.
Selain itu investasi dan penyerapan tenaga kerja sama-sama memiliki aspek
publik yang apabila terjadi ketidakseimbangan dampaknya akan merembet hingga ke
ranah publik dan akhirnya menjadi permasalahan sosial.(Hilman) Kemudian apakah
Pemerintah dan Aparatur Negara yang berwenang untuk menetapkan Undang-Undang
dapat menunjukkan tanggung jawabnya dalam mengawasi solusi yang diberikan tersebut
agar pelaksanaannya tidak menyimpang dari Undang-Undang Dasar 1945 sebagai
sumber hukum tertinggi di Negara kita.
Outsourcing
yang disebut sebagai salah satu solusi bagi pemerintah untuk mengatasi masalah
pengangguran dan pemikat investor telah diatur dalam pasal-pasal UU
Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003. Dan dalam perkembangannya hingga saat ini
telah banyak menuai protes dari pihak buruh karena ternyata pelaksanaannya
penuh dengan penyimpangan yang sangat jauh dari adanya perlindungan hukum dan
keadilan bagi para pekerja. Padahal jelas dalam UUD 45 dituangkan bahwa perlindungan
hukum terhadap pekerja merupakan hak dasar yang melekat dan dilindungi oleh
konstitusi sebagaimana yang diatur didalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang
berbunyi “tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan” dan pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan “. Sehingga
dapat dikatakan bahwa pelanggaran terhadap hak dasar yang dilindungi konstitusi
ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perlindungan terhadap tenaga kerja
adalah dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja dan menjamin kesamaan
serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan
pekerja dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha dan kepentingan pengusaha. (Makalah Usu)
Dari uraian diatas, muncullah permasalahan
bagaimanakah peranan Pemerintah dalam mengantisipasi penyimpangan pada sistem kerja
outsourcing yang telah dituangkan
kedalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut agar tidak
disalahgunakan oleh pengusaha atau oknum-oknum tertentu yang berusaha mengambil
keuntungan dari pasal-pasal yang mengatur tentang sistem kerja outsourcing ini.
II.
Pembahasan
Istilah Outsourcing
sebenarnya secara harfiah tidak dicantumkan dalam UU Ketenagakerjaan No.13
Tahun 2003. Hal ini juga menimbulkan pendapat bahwa tuntutan hapuskan outsourcing adalah tidak mendasar karena
tidak dikenal dalam UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Namun dalam UU
tersebut ada ketentuan yang mengatur substansi outsourcing, yaitu mulai dari pasal 64 sampai dengan pasal 66.
Ketentuan-ketentuan pada pasal-pasal tersebut cenderung menimbulkan tafsir yang
digunakan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu yaitu pengusaha dan
pengelola atau penyedia tenaga kerja. Hal ini memunculkan problematik ketika
pihak-pihak lain yang terlibat didalamnya yaitu pekerja itu sendiri menjadi
terabaikan kepentingannya. Tak dapat dipungkiri, seringkali Undang-Undang
tertinggal satu langkah dibandingkan dengan kenyataan dalam masyarakat.
Mengutip sebuah sindiran het recht hinkt
achter de feiten aan yang artinya hukum selalu terpincang-pincang mengikuti
perkembangan masyarakat. (Nurachmad)
II.1.
Pengertian Outsourcing
Outsourcing
berasal dari kata out source yang artinya to
procure (as some goods or services needed by a business or organization) under
contract with an outside supplier.(Merriam-websters dictionary) (untuk
mendapatkan barang atau jasa dibutuhkan bisnis atau organisasi yang mendasarkan
kontrak dengan pemasok luar). Secara harfiah istilah outsourcing diartikan sebagai alih daya atau pendelegasian suatu
proses bisnis kepada pihak ketiga. Namun ada juga orang berpendapat bahwa
istilah outsourcing adalah untuk
pekerjaan yang diborong, sedangkan pekerja kontrak adalah pekerja yang
diborong.(Nurachmad). Melalui pendelegasian maka pengelolaan tidak lagi
dilakukan oleh perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.
Secara umum outsourcing
adalah merupakan suatu sistem kerja untuk menghasilkan barang atau jasa yang
dilakukan oleh pemberi kerja dengan cara mengalihkan sebagian pekerjaannya
kepada pemberi kerja lainnya. Tidak ada batasan mengenai siapa dan kepada siapa
outsoursing dapat dilakukan. Demikian
pula tidak ada batasan mengenai jenis pekerjaan apa yang dapat dialihkan kepada
pihak lain. Asalkan setelah pekerjaan itu diselesaikan akan memberikan
keuntungan baik peningkatan kualitas maupun kuantitas. Dalam hal ini outsourcing
harus bermakna “outsourcing
pekerjaan” bukan “outsourcing
pekerja”. (Wijayanti)
Outsourcing
adalah salah satu bentuk dari hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan
hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang dilakukan oleh subyek hukum
mengenai objek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Syarat subyek hukum yang
melakukan suatu hubungan hukum haruslah orang. Subyek hukum dalam hubungan
kerja adalah majikan dan pekerja. Syarat obyek hukum dari suatu hubungan hukum
adalah benda. Dan dalam hubungan kerja
obyek hukum adalah pekerjaan. Dengan demikian pekerja tidak dapat
digunakan sebagai obyek dari suatu hubungan kerja.(Wijayanti)
II.2.
Manfaat dan Tujuan Outsourcing
Seperti yang telah disinggung diatas bahwa sistem
kerja outsourcing ini memiliki
keuntungan yang signifikan bagi perusahaan. Adanya sistem kerja outsourcing ini
akan memungkinkan sebuah
perusahaan lebih fokus pada bisnis intinya (core business) yang sejalan
dengan tuntutan globalisasi ekonomi yaitu menginginkan efisiensi, kecepatan dan
kehandalan produk. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang yang tidak
berhubungan langsung dengan bisnis inti, diserahkan pada pihak ketiga. Dengan outsourcing,
pengusaha tidak perlu dibebankan dengan urusan administrasi dan perencanaan
pekerjaan di luar bisnis inti mereka, tidak perlu terlibat dalam pemutusan
hubungan kerja (PHK), memberikan pesangon, Tunjangan Hari Raya (THR), dan
hak-hak lain yang harus diterima oleh pekerja.
Suatu
survey yang dilakukan oleh Outsourcing
Institute terhadap lebih dari 1200 perusahaan serta studi yang dilakukan
oleh para ahli manajemen sejak tahun 1991 menyatakan bahwa alasan perusahaan
melakukan outsourcing terhadap
aktivitas-aktivitasnya adalah karena adanya potensi keuntungan. Potensi
keuntungan tersebut diantaranya adalah dapat meningkatkan fokus perusahaan, sumber
daya sendiri dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan lain, memungkinkan
tersedianya dana capital, menciptakan dana segar, mengurangi dan mengendalikan biaya operasional, serta
memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola.(http://hukum.kompasiana.com)
Dari
uraian diatas sangat jelas manfaat yang diperoleh dari adanya sistem kerja
outsourcing ini. Tujuan diadakannya outsourcing
ini adalah efisiensi guna menghasilkan suatu produk yang berkualitas dan
berkuantitas dengan memperkecil resiko. Usaha untuk menghasilkan efisiensi
sebenarnya merupakan hal yang dapat dipahami. Beberapa teori manajemen juga
sangat mendukung dan mengupayakan tercapainya efisiensi tersebut. Jadi
efisiensi merupakan tujuan atau sasaran dari outsourcing. Tujuan akhir dari outsourcing
adalah peningkatan produktivitas. Jelas bahwa manfaat dari outsourcing ini lebih banyak menguntungkan pihak pengusaha daripada
pihak pekerja. Sistem outsourcing ini
banyak merugikan pekerja, tidak terjamin kesejahteraannya dan tidak mendapatkan
perlindungan terhadap hak-haknya sebagai pekerja. Sedangkan pemerintah selalu
melihat bahwa outsourcing ini
bermanfaaat bagi para pekerja karena berarti mengurangi sedikit
permasalahan pengangguran, dimana pemerintah menganggap pernyataan “lebih baik
bekerja daripada menganggur” seolah-olah menjadi mantra penjinak ditengah carut
marut perekonomian dan kultur masyarakat
yang intimidatif. Kita tidak dapat membandingkan sistem kerja outsourcing diluar negeri. Sistem outsourcing di luar negeri diterapkan
bagi skill labor dan bukan unskill labor keadaan ini berbeda dengan di Indonesia.
Selain itu di luar sana pelaksanaannya telah lebih baik yaitu diatur dan dilaksanakan
tanpa adanya penyimpangan yang cenderung
mengarah pada pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia dalam hal ini adalah
hak-hak pekerja.
II.3. Dasar Hukum Outsourcing di Indonesia
Outsourcing bukanlah hal yang baru. Outsourcing
sebagai lembaga hukum telah dikenal keberadaannya sejak zaman kolonial Belanda
dahulu. Terbukti dengan adanya outsourcing
yang diatur dalam pasal 1601b KUH Perdata atau Burgerlijk Wetbook (BW). Namun
lembaga hukum versi BW ini berlaku umum untuk pekerjaan jangka pendek, tanpa
pembatasan seperti dalam UU Ketenagakerjaan. Dikatakan : “ Pemborongan pekerjaan adalah perjanjian, dengan mana pihak yang satu,
si pemborong, mengikatkan diri menyelnggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang
lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.”.(http://hukum.kompasiana.com)
Jadi
sebelum UU Ketenagakerjaan berlaku sebagai hukum positif, UU bidang perburuhan
tidak mengatur mengenai outsourcing.
Pengaturan mengenai outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu tertentu (PKWT)
pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri tenaga Kerja (Permenaker) No. 5
Tahun 1995 dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993. Melihat
substansi Bab IX UU Ketenagakerjaan khususnya mengenai PKWT, pembentuk
undang-undang mengadopsi isi dari dua Pemenaker tersebut.(Pangaribuan)
Dalam
pekermbangannya kemudian lahirlah UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. Dengan
demikian dasar hukum pengaturan outsourcing
adalah Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 jo pasal 1 angka 15 jo Pasal 59 UU No.13
Tahun2003. Istila outsourcing disebut
sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya.
Ketentuan Pasal 64 sampai Pasal 66 UU No.13 Tahun2003 dijabarkan lebih lanjut
dalam kepmenaker No. KEP.100/MEN/VI/2004, tentnag PKWT jo Kepmenakertrans No.
KEP-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh jo Kepmenakertrans No. KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.(Wijayanti)
Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa outsourcing
ini memiliki dua macam landasan hukum yaitu Hukum Administrasi Negara
sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan Peraturan Perundangan organik
sebagai pelaksanaannya antara lain Kepmenakertrans No. KEP-101/MEN/VI/2004 dan
Kepmenakertrans No KEP-220/MEN/X/2004 serta dasar hukum outsourcing yang kedua
adalah Hukum Perdata khususnya hukum perjanjian dalam KUH Perdata/BW. .”.(http://hukum.kompasiana.com)
Dasar
hukum ini memang menguatkan bahwa sistem kerja outsourcing di Indonesia telah ada dalam sejarah perburuhan di
Indonesia dan saat ini telah ditetapkan dalam Peraturan Perundangan. Namun yang
menjadi persoalan adalah pelaksanaan outsourcing
dalam beberapa tahun setelah terbitnya UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan masih mengalami berbagai kelemahan terutama disebabkan oleh
kurangnya regulasi yang dikeluarkan Pemerintah maupun sebagai ketidakadilan
dalam pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja. Namun
demikian saat ini praktik outsourcing tidak
dapat dihindari oleh pekerja apalagi bagi pengusaha yang sangat merasakan
manfaatnya hal-hal tersebut mendapatkan
legalitas tanpa mengindahkan hal-hal yang dilarang dalam yaitu Pasal 64 sampai
dengan Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003.
II.4. Penyimpangan Terhadap
Pelaksanaan Outsourcing
Outsourcing telah diketahui memiliki landasan hukum yang kuat di
Indonesia. Sistem kerja outsourcing
pun telah ditetapkan ke dalam Peraturan perundangan tentang tenaga kerja yang
berlaku saat ini. Lalu kemudian apakah benar sistem outsourcing yang telah ada sejak ratusan tahun yang lalu di
Indonesia ini adalah suatu sistem yang salah ? apakah benar pasal-pasal yang
mengatur tentang outsourcing telah melalaikan
hak dan keadilan bagi para pekerja sehingga harus dihapuskan dari peraturan
perundangan yang ada ?
Praktik outsourcing terkait dengan tiga pihak yaitu Pengusaha, Pengelola atau
penyedia tenaga kerja dan pekerja itu sendiri. Kedudukan ketiga pihak tersebut
akan lebih jelas dengan membahas pasal-pasal yang mengaturnya yaitu Pasal 64
sampai Pasal 66 UU No.13 Tahun 2003.
Disebutkan pada Pasal 64, bahwa perusahan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui pejanjian pemborongan
pekerja atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Tidak
terdapat penjelasan resmi mengenai rumusan Pasal 64. Namun ada dua bentuk
perjanjian untuk dapat dilaksanakannya penyerahan sebagian pelaksanaan pekejaan,
yaitu perjanjian pemborongan pekerja dan perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh. Dari ketentuan Pasal 64 dapat diinterpretasikan adanya dua jenis outsourcing yaitu “ outsourcing pekerjaan yang mendasarkan pada
perjanjian pemborongan pekerjaan dan outsourcing
pekerja yang mendasarkan pada adanya perjanjian penyediaan jasa pekerja. Dari
pasal ini dapat dilihat adanya penyimpangan yaitu rumusan tersebut bertentangan
dengan legal concept tentang hubungan kerja. Dimana ada 3 (tiga) unsur yang
harus dipenuhi dalam hubungan kerja yaitu pekerjaan, perintah dan upah (pasal 1
angka 15 UU No.13 tahun 2003). Sebab perintah diberikan oleh pemberi pekejaan
kepada pekerja, yang menikmati hasil pekerjaan adalah pemberi pekerjaan, tetapi
UU merumuskan hubungan hukum yang timbul hanya antara perusahaan penyedia jasa
pekerja dengan pekerja. Seharusnya pemberi perintah adalah yang bertanggung
jawab terhadap diri pekerja termasuk semua hak bedasarkan UU. Jadi seharusnya
dirumuskan hubungan kerja dalam outsourcing adalah antara pemberi pekerjaan dengan
pekerja, bukan antara perusahaan penyediaan jasa pekerja dengan pekerja.
Disinilah
sisi dimana status pekerja menjadi kabur secara yuridis, dan kelemahan UU ini dalam
merumuskan hubungan hukum dalam sistem outsourcing
ini digunakan sebagai celah bagi pengusaha untuk melaksanaan sistem outsourcing yang sarat dengan penyimpangan tanpa mempedulikan nasib para
pekerja.
Dalam hal
pemborongan pekerja seperti yang dirumuskan dalam Pasal 65 UU No.13 Tahun 2003
bahwa syarat-syarat pemborongan
pekerjaan berdasarkan pasal ini adalah tertulis, berbadan hukum, didasarkan
atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT), serta syarat lainnya yaitu : dilakukan secara terpisah dari
kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan
dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Untuk Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) dasar pengaturannya adalah Pasal 59 UU No.13 Tahun 2003.
PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat
atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : pekerjaan
yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak telalu lama dan paling lama 3 (tiga)
tahun, pekerjaan yang besifat musiman, atau pekerjaan yang behubungan dengan
produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam masa pecobaan
atau penjajakan. (UU TK No.13 Tahun 2003)
Menilik
rumusan pada pasal tersebut, dalam implementasinya banyak pengusaha yang tidak
menjalankan atau melakukan penyimpangan dari apa yang telah ditentukan dalam
pasal yang menguraikan aturan tentang pemborongan pekerjaan. Pengusaha bahkan
saat ini banyak yang memborongkan pekerjaan inti atau core bisnisnya bahkan ada
yang menyerahkan seluruh pekerjaannya pada perusahaan lain dengan sistem outsourcing. Rumusan mengenai
pemborongan pekerjaan merupakan sumber konflik dimana selalu memunculkan
penafsiran yang berbeda-beda antara pekerja dan pengusaha.
Dalam hal
obyek hukum outsourcing, penyerahan
sebagian pekerjaan. Disini sebagian pekerjaan atau pekerjaan ini dapat disebut
sebagai obyek hukum. Sedangkan pekerja tidak dapat disebut obyek hukum. pekerja
adalah orang yang seharusnya menjadi subyek hukum. Jadi menurut Pasal ini obyek
hukum adalah pekerjaan bukan orang. Namun dalam implementasinya, obyek hukum
dalam perjanjian antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan penyedia
tenaga kerja adalah orang. Orang disini telah diperjualbelikan dan ini telah
melanggar hak-hak azasi manusia. Kembali celah dan kelemahan UU menjadi bagian
dari penyimpangan pada sistem kerja outsoucing
ini dan dimanfatkan sebaik-baiknya oleh pengusaha untuk menguntungkan
perusahaannya secara sepihak.
Bagian lain dari UU ini yaitu Pasal 66
disebutkan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa
pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi. Meskipun dalam salah satu ayatnya
telah disebutkan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi
hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan pemberi kerja. Sebenarnya jelas sekali ketentuan tersebut telah
menentukn bahwa perusahaan hanya dapat memborongkan pekerjaan yang bersifat
sebagai kegiatan penunjang saja dan apabila melanggar persyaratan tersebut
makan hubungan kerja yang ada harus dialihkan. Namun implementasi yang terjadi
pada kenyataannya tidaklah demikian.
Banyak
perusahaan pemberi kerja yang tidak memenuhi ketentuan pada pasal-pasal yang
mengatur tentang outsourcing. Pasal
64 sampai dengan Pasal 66 UU No.13 tahun 2003 dengan segala kelemahannya selalu
dicari celah-celahnya oleh Perusahaan pemberi kerja ataupun Perusahaan Penyedia
jasa pekerja untuk menguntungkan perusahaan mereka sendiri tanpa mempedulikan
nasib pekerja yang dianggap sebagai obyek layaknya barang yang tidak perlu
diperhatikan hak-haknya.
Penyimpangan-penyimpangan
ini akan terus menerus terjadi apabila pemerintah tidak bertindak secara tegas
untuk me-review ulang pasal-pasal
yang mengatur tentang outsourcing yang
ada pada UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003 ini. Pemerintah hendaknya segera
melakukan revisi terhadap kelemahan-kelemahan pada pasal-pasal yang ada serta
menutup celah-celah yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu demi keuntungannya
sendiri. Pemerintah juga seharusnya bertindak tegas memberikan sanksi hukum
kepada pengusaha atau pihak-pihak yang ditemukan melakukan penyimpangan dalam
pelaksanaan sistem outsourcing ini.
II.5.
Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK
Kenyataan
bahwa banyak penyimpangan yang terjadi dalam sistem kerja otsourcing ini membuat para pekerja tak berhenti untuk terus
memperjuangkan penghapusan outsourcing
dari UU tenaga kerja. Mulai dari melakukan demonstrasi dari berbagai serikat
pekerja dan aliansi buruh hingga mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Konstitusi tentang pasal-pasal yang mengatur mengenai outsourcing. Pekerja
berharap pasal-pasal tersebut dihapuskan atau ditinjau kembali sehingga
mampu mengadopsi kepentingan para pekerja yaitu mendapatkan keadilan, perlindungan
upah, jaminan kesejahteraan serta diberikannya hak-hak yang harus diperoleh
pekerja.
Dalam
perkembangannya tak lama setelah UU ketenagakerjaan diberlakukan, sebanyak 37 serikat
pekerja/buruh mengajukan perlawanan atas
legalisasi sistem outsourcing dan PKWT. Mereka mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi
(MK). Pasal-pasal yang diajukan untuk diuji adalah Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal
66 yang terdapt dalam UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003. Namun saat itu MK
menolak permohonan atas uji materi terhadap ketiga pasal tersebut. Upaya
pekerja/buruh tidak berhenti hingga disana. Tuntutan untuk menghapuskan sistem outsourcing ini terus dilakukan.
Pada tahun
2011 kembali dilakukan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. AP2MLI
tercatat dalam register permohonan No.27/PUU-IX/2011 telah mengajukan judicial review terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal
66. Hasilnya MK hanya dapat menerima uji material untuk sebagian dari pengajuan
yaitu Pasal 65 dan Pasal 66, sedangkan untuk Pasal 59 dan Pasal 64 dianggap telah sesuai dan tidak bertentangan
dengan UUD 1945.
MK menyatakan Pasal 59, Pasal 64,
Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) UU No. 13
tahun 2003 tidak bertentangan dengan UUD 1945. Artinya, ketentuan selain ayat
(7) pada Pasal 65 dan ayat (2) huruf (b) pada Pasal 66 tetap
berlaku sebagai hukum positif.
Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan : “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.” Amar keputusan ini mengandung interpretasi atau tafsir yang dinyatakan dalam Surat Edaran Kemenakertrans No. B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 januari 2012 yaitu “Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh maka harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).” (Pedoman baru,Yustisia)
Bagian utama dari amar putusan MK menyatakan : “frasa perjanjian kerja waktu tertentu dalam Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf (b) UU No. 13 tahun 2003 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.” Amar keputusan ini mengandung interpretasi atau tafsir yang dinyatakan dalam Surat Edaran Kemenakertrans No. B.31/PHIJSK/I/2012 tanggal 20 januari 2012 yaitu “Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh maka harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).” (Pedoman baru,Yustisia)
Dan apabila dalam perjanjian kerja
antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap
ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan
penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Amar putusan MK tidak secara
implisit menyatakan perjanjian kerja pekerja/buruh dalam lingkungan perusahaan outsourcing
harus dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Di dalam
pertimbangan hukumnya MK menawarkan PKWTT sebagai salah satu model outsourcing.
Sesuai uraian di atas, MK tidak mengharuskan perusahaan menerapkan PKWTT.
Status PKWTT dalam perusahaan hanya terjadi bila: (a) PKWT tidak mensyaratkan
pengalihan perlindungan hak pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada; atau
(b) perusahaan sejak awal menerapkan PKWTT
Pengusaha tetap boleh menyerahkan
atau memborongkan pekerjaannya kepada perusahaan lain sehingga sistem outsourcing
tetap bisa dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan pertimbangan MK yang menyatakan “...penyerahan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan secara tertulis atau melalui perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh (perusahaan outsourcing) adalah kebijakan usaha yang wajar dari
suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha.”
Sehingga dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa MK tidak menyatakan outsourcing sebagai sistem yang terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.
Sehingga dalam hal ini dapat diinterpretasikan bahwa MK tidak menyatakan outsourcing sebagai sistem yang terlarang dalam relasi bisnis dan hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam posisi itu, Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tetap sah sebagai dasar hukum bagi perusahaan untuk melaksanakan outsourcing dan Pasal 65 kecuali ayat (7) dan Pasal 66 kecuali ayat (2) huruf (b) sebagai teknis hubungan kerja dalam perusahaan outsourcing.
Meskipun
hasil uji materi terhadap kedua pasal tersebut belum dapat memuaskan seluruh
pekerja namun uji materi ini dapat membuka peluang untuk dilakukannya
peninjauan kembali terhadap pasal-pasal tersebut sehingga dapat meminimalisir
penyimpangan-penyimpangan yang ada. Selain itu peluang ini akan membantu para
pekerja dapat segera memperoleh kepastian hukum, karena ini adalah momen yang
dapat digunakan oleh pemerintah dan DPR untuk membahas perubahan UU ketenagakerjaan dan mengadopsi keseluruhan
norma yang terdapat dalam beberapa putusan MK menjadi hukum positif.
III. Penutup
Berdasarkan
uraian diatas bahwa sesungguhnya sistem kerja outsourcing sudah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu di
Indonesia. Outsourcing sesungguhnya
memungkinkan untuk bermanfaat baik bagi
pihak pengusaha demikian juga bagi pihak pekerja. Hanya saja dalam praktiknya,
pengaturan UU Ketenagakerjaan mengenai sistem kerja outsourcing ini sering menimbulkan multi tafsir yang akhirnya
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu atau sengaja ditafsirkan secara salah untuk
mencari celah-celah dari kelemahan pasal-pasal yang mengaturnya. Seolah-olah
setiap pekerjaan bisa dialihdayakan, bahkan pekerjaan inti sekalipun. Selain
itu perlindungan terhadap pekerja menjadi minim karena pekerja diikat dengan
PKWT, sehingga ketika kontrak berakhir maka berakhir pula hubungan kerja dengan
perusahaan dan perusahaan tidak ada kewajiban memberikan kompensasi terhadap pekerja yang mendapatkan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Hal-hal seperti ini harus diakui sebagai kelemahan
elementer dari konsep norma outsourcing
yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Jika
menilik kepada kerangka hukum, sesungguhnya sistem outsourcing ini tidak
seharusnya mengabaikan perlindungan terhadap hak-hak pekerja/buruh. Banyaknya
penyimpangan praktik outsourcing dari
konsep hukum positif serta teori hukum asalnya seolah-olah lebih banyak
berpihak pada kepentingan pengusaha dan selalu merugikan pekerja/buruh sehingga
menimbulkan pro kontra untuk menghapus sistem outsourcing ini.
Perbedaan
kepentingan yang ada antara pengusaha dan pekerja hendaknya dapat segera
diselesaikan oleh Pemerintah dengan mengadopsi seluruh tuntutan pekerja,
melindungi hak-hak pekerja sehingga tidak hanya menguntungkan satu pihak saja. Dalam
teori ekonomi disebutkan bahwa modal dan tenaga kerja sama-sama merupakan alat
ekonomi dimana keduanya memiliki pengaruh yang signifikan dan merupakan faktor
utama dalam perekonomian suatu negara, oleh karena itu sedapat mungkin keduanya
harus diatur oleh Negara sehingga sinergi keduanya dapat terkelola dengan baik.
(Hilman)
Norma
baru yang telah dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi, hendaknya digunakan
sebagai peluang dalam meluruskan praktik-praktik outsourcing di Indonesia agar
dapat bermanfaat baik bagi pekerja/buruh dan juga bagi pengusaha. Dengan adanya
norma-norma baru yang dihasilkan oleh Mahkamah Konstitusi diharapkan adanya
penegakan terhadap ketentuan-ketentuan yang seharusnya dilaksanakan,
menjelaskan rumusan-rumusan yang multitafsir sehingga tidak ada lagi
penyimpangan praktik outsourcing yang
berlindung dibalik UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003.
-------xxx-------
DAFTAR
PUSTAKA
Citra Umbara,
Penerbit, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2001 Tentang
Ketenagakerjaan beserta penjelasannya, Penerbit : Citra Umbara, Bandung, 2003
Damanik, Sehat,
Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, Penerbit : DSS Publising, Jakarta, 2006
Hilman, Anjaz,
Artikel : Menimbang Kepentingan Pekerja Outsourcing dan Pengusaha dalam
Hubungan Industrial di
Indonesia,http://sites.google.com/site/anjazhilman/hukum-ketenagakerjaan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20936/5/chapter%201.pdf
(Universitas Sumatera Utara)
http://www.merriam-erbstre.com/dictionary/outsource
Kompasiana,Opini:MeluruskanPraktekOutsourcing,http://hukum.kompasiana.com/2012/04/29/,meluruskan-praktik-outsourcing
Nurachmad, Nur,
Tanya Jawab Seputar Hal-hal Tenaga Kerja Kontrak (Outsourcing), Penerbit : Visi
Media, Jakarta, 2009
Pangaribuan,
Juanda, Artikel : Legalitas outsourcing pasca putusan MK, http://www.hukumonline.com/berita/baca
Wijayanti, Asri,
Artikel : Outsourcing : Teori, Aturan & Praktiknya di Indonesia, http://masyarakthubunganindustrial.wordpress.com/2012/01/11/outsource-teori-aturan-dan-praktinya-di-indonesia
Yustisia, Tim
redaksi, Pedoman Terbaru Outsource & Kontrak Kerja, Penerbit : Pustaka
Yustisia, Jakarta, 2012
No comments:
Post a Comment