Oleh : Arbono Lasmahadi
Jakarta, 24 Mei 2002
Reorganisasi, restrukturisasi,
dan pengurangan karyawan akan menjadi kecenderungan yang akan terus
dihadapi oleh para praktisi SDM. Kondisi tersebut seringkali menimbulkan
dampak yang besar terhadap tenaga kerja, seperti: hilangnya sistim
kerja sepanjang hidup (long life employment), tingginya
pengangguran, berkurangnya keamanan kerja, berkurangnya ketrampilan
kerja yang bersifat tradisional, pengurangan jumlah karyawan dan
sebagainya. Contoh nyata yang mungkin belum hilang dari ingatan kita
adalah penggabungan beberapa bank milik pemerintah menjadi Bank Mandiri
beberapa waktu yang lalu. Penggabungan ini mengakibatkan banyak pegawai
dari bank-bank pemerintah yang bersangkutan kehilangan pekerjaan
Hal yang serupa pernah dihadapi
penulis (walaupun dengan kuantitas yang lebih kecil dibandingkan dengan
kasus penggabungan bank-bank pemerintah di atas), yaitu saat perusahaan
harus menutup salah satu lini produksi yang ada. Penutupan ini terpaksa
harus dilakukan perusahaan untuk menekan biaya yang muncul akibat
produksi yang tidak kompetitif lagi dan untuk meningkatkan daya saing
perusahaan di pasar. Dampak dari penutupan ini, sekitar 30 % dari
karyawan di bagian produksi, yang sudah bekerja rata-rata di atas 15
tahun, harus kehilangan pekerjaannya. Melalui proses yang berlangsung
kurang lebih 3 bulan, pada akhirnya pemutusan hubungan kerja dapat
diselesaikan dengan baik oleh perusahaan.
Faktor Pendorong
Banyak hal yang mendorong munculnya kebutuhan untuk
melakukan perubahan. Pakar Perilaku di Dalam Perusahaan , Robert
Kreitner dan Angelo Kinicki (2001) dalam bukunya Organizational Behavior,
menyatakan bahwa ada 2 kekuatan yang dapat mendorong munculnya
kebutuhan untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan, yaitu:
1. Kekuatan eksternal, yaitu kekuatan yang muncul
dari luar perusahaan, seperti : karakteristik demografis (usia,
pendidikan, tingkat ketrampilan, jenis kelamin, imigrasi, dsbnya),
perkembangan teknologi, perubahan-perubahan di pasar, tekanan-tekanan
sosial dan politik.
2. Kekuatan internal, yaitu kekuatan yang muncul dari
dalam perusahaan, seperti : masalah-masalah/prospek Sumber Daya Manusia
(kebutuhan yang tidak terpenuhi, ketidak-puasan kerja, produktifitas,
motivasi kerja, dsb-nya), perilaku dan keputusan manajemen.
Dalam kasus yang dihadapi penulis, kekuatan eksternal
(persaingan yang ketat di pasar), maupun kekuatan internal (keputusan
manajemen untuk menutup lini produksi yang tidak kompetitif lagi)
mendorong munculnya kebutuhan perusahaan untuk melakukan perubahan.
Tahapan
Menurut Raymond J. Stone seorang konsultan SDM dalam bukunya Human Resources Management (1998), ada sejumlah langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengelola perubahan, yaitu :
1. Menetapkan kebutuhan untuk melakukan perubahan
Langkah ini penting dilakukan untuk memastikan bahwa
perubahan yang akan digulirkan benar–benar sesuai dengan kebutuhan
nyata yang ingin dicapai perusahaan. Kebutuhan akan adanya perubahan
dapat muncul bila ada kesenjangan antara sasaran-sasaran yang ingin
dicapai oleh perusahaan dengan kondisi nyata di lapangan.
Dalam kasus yang dialami perusahaan tempat penulis
bekerja, kebutuhan untuk melakukan perubahan muncul saat terjadi
perubahan strategi perusahaan yang berupaya untuk memusatkan semua unit
produksinya di salah satu negara Asia. Tujuannya agar produk yang
dihasilkan menjadi lebih kompetitif. Akibatnya unit-unit produksi yang
dianggap tidak produktif di negara-negara lain di Asia harus ditutup.
2. Mengenali hal-hal potensial yang dapat menghambat proses perubahan
Seorang praktisi perubahan harus mampu mengenali
hal-hal yang secara potensial dapat menghambat proses perubahan yang
akan digulirkan oleh perusahaan. Dari kasus yang dialami penulis,
hal-hal potensial yang saat itu diramalkan dapat menghambat perubahan
antara lain:
-
Ketidak-bersediaan karyawan untuk di PHK karena sulitnya mencari pekerjaan baru
-
Ketidak-sesuaian antara harapan karyawan tentang besarnya paket yang diinginkan dan besarnya paket yang ditawarkan oleh perusahaan
-
Adanya kemungkinan keterlibatan pihak di luar perusahaan
-
Adanya friksi antar sesama karyawan di bagian produksi.
3. Melaksanakan perubahan
Menurut Stone ( 1998), perubahan dapat diperkenalkan
baik oleh para manajer yang ada di dalam perusahaan itu sendiri atau
dengan menggunakan konsultan. Masing-masing pendekatan mempunyai
kelebihan dan kekurangannya. Bila manajer internal menjadi agen
perubahan, kelebihannya adalah bahwa ia memahami dengan baik operasi
bisnis perusahaan dan orang – orang yang ada di dalamnya. Sedangkan
kelemahannya adalah yang bersangkutan biasanya mempunyai wawasan dan
cara pandang yang terbatas mengenai pengelolaan perubahan, dan tak
jarang terlalu dipengaruhi oleh budaya perusahaan yang ada. Sedangkan
kelebihan dari konsultan adalah yang bersangkutan bersifat netral dan
mempunyai wawasan yang luas terhadap pengelolaan perubahan perusahaan.
Kekurangannya adalah bahwa yang bersangkutan kurang memahami operasi
bisnis perusahaan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya. Melihat
kelebihan dan kekurangan ini, maka banyak perusahaan yang melakukan
kombinasi dari kedua hal tersebut dalam memperkenalkan perubahan.
Yang dilakukan oleh perusahaan tempat penulis bekerja
yang berkaitan dengan fase ini adalah membuat tim perubahan yang
dipimpin oleh Pimpinan Puncak perusahaan, yang anggota-anggotanya
terdiri dari para manajer terkait (termasuk Manajer SDM) dan Konsultan
Hubungan Industrial yang sangat memahami kondisi perusahaan. Tim inilah
yang bertindak sebagai agen-agen perubahan, yang bertugas untuk
memperkenalkan, melaksanakan, dan mengevaluasi perubahan yang dilakukan
kepada seluruh karyawan terkait. Dengan pendekatan ini, proses perubahan
yang dilakukan relatif berjalan lancar
4. Mengevaluasi perubahan
Untuk mengukur efektifitas perubahan, perusahaan
harus membandingkan situasi sebelum dan sesudah dilaksanakannya
perubahan. Beberapa indikator dapat digunakan untuk mengukur pengaruh
dari perubahan tersebut, seperti : produktivitas karyawan, kepuasan
kerja, hasil survey pendapat karyawan, hasil penjualan, pengurangan
biaya produksi, dan sebagainya. Dari evaluasi kualitatif yang dilakukan
oleh penulis terhadap perubahan yang dilakukan perusahaan (melalui
penutupan satu lini produksi), sejauh ini menunjukkan bahwa :
a. Kordinasi kerja menjadi lebih baik karena struktur
perusahaan menjadi lebih ramping sehingga dapat mengurangi birokrasi
kerja yang tidak perlu
b. Kerjasama antar karyawan menjadi lebih baik di bawah kepemimpinan yang baru yang lebih terbuka dan komunikatif.
c. Suasana kerja menjadi kondusif untuk menunjang
bisnis perusahaan, karena mulai terbangun kepercayaan yang lebih baik
diantara manajemen dan karyawan, karena tidak adanya lagi persepsi
terhadap perlakuan yang berbeda antara satu lini produksi dan lini
produksi lainnya.
Kegagalan Mengelola Perubahan
Banyak kegagalan yang dialami perusahaan saat
melakukan perubahan, yang mengakibatkan kerugian yang dialami oleh
perusahaan. Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan-kesalahan yang dibuat
saat mengelola perubahan, seperti :
1. Mengabaikan aspek manusia dalam mengelola perubahan
Timothy J. Galpin menyatakan dalam bukunya The Human Side of Change
(1996) bahwa selama proses penggabungan perusahaan, penurunan besarnya
ukuran perusahaan, maupun restrukturisasi yang dilakukan perusahaan,
kebanyakan dari mereka lebih memusatkan perhatiannya kepada aspek-aspek
teknis, finansial dan operasional, daripada aspek manusia. Akibatnya
upaya perubahan yang dicanangkan mengalami kegagalan. Hal ini tampak
dalam bentuk terjadinya masalah perburuhan, keluarnya tokoh-tokoh kunci
dan orang-orang berbakat dari perusahaan, dan tidak diperoleh manfaat
atau sangat sedikit manfaat yang diperoleh dari perubahan yang
dilakukan.
2. Perubahan tidak direncanakan dengan baik
Banyak perusahaan yang memperlakukan perubahan
seperti sebuah peristiwa kebetulan atau hal rutin yang akan dapat
diselesaikan dengan baik secara otomatis, tanpa sebuah perencanaan yang
baik. Padahal menurut Pakar Perilaku di Dalam Perusahaan Stephen Robbins
( 2000), perubahan seharusnya merupakan sebuah aktivitas yang
terencana, disengaja dan berorientasi pada tujuan. Tujuan dari sebuah
perubahan menurutnya ada 2, yaitu : (1) Untuk meningkatkan kemampuan
perusahaan dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di dalam
lingkungannya, (2) Untuk merubah tingkah laku dari para karyawan. Akibat
tidak direncanakannya perubahan dengan baik, maka tak jarang perubahan
bergulir tanpa kendali atau berjalan tidak sesuai dengan rencana yang
diharapkan, karena mendapat perlawanan dari para karyawan
3. Praktisi perubahan gagal membangun koalisi yang cukup kuat
Menurut Kotter ( 1996), salah satu penyebab kegagalan
yang dialami oleh perusahaan dalam melakukan perubahan adalah tidak
terbentuknya koalisi yang cukup kuat diantara orang-orang yang mempunyai
wewenang dan kemampuan untuk mendorong perubahan. Upaya perubahan yang
dilakukan tanpa dukungan koalisi yang cukup mungkin akan mengalami
kemajuan untuk sementara waktu. Namun cepat atau lambat, akan muncul
perlawanan-perlawanan yang dapat merusak inisiatif perubahan yang sudah
dilakukan.
Dampak utama dari kesalahan yang dilakukan dalam
mengelola perubahan adalah munculnya resistensi dari para manajer atau
para karyawan yang terkait terhadap perubahan yang dilakukan oleh
perusahaan. Kreitner dan Kinicki (2001) mendefinisikan resistensi
terhadap perubahan sebagai suatu reaksi emosional/tingkah laku yang
muncul sebagai respon terhadap munculnya ancaman, baik nyata atau
imajiner bila terjadi perubahan pada pekerjaan rutin.
Resistensi terhadap perubahan ini dapat muncul dalam
berbagai macam bentuk reaksi. Judson (1991) seperti yang dikutip oleh
Kreitner dan Kinicki (2000) menggolongkan bentuk-bentuk resistensi
terhadap perubahan kedalam 4 kelompok yang semuanya berada dalam sebuah
kontinum, yaitu : resistensi aktif (mis : sabotase, memperlambat kerja), resistensi pasif (mis: bekerja sesedikit mungkin, tidak ingin mempelajari tugas baru), reaksi yang tidak dapat dibedakan (bekerja hanya berdasarkan perintah, kehilangan minat terhadap pekerjaan), dan penerimaan (mis : mau bekerja sama, antusias).
Adapun hal-hal yang menyebabkan terjadinya resistensi
terhadap perubahan, menurut Robbins (2000) dan Kreitner & Kinicki
(2001), adalah sebagai berikut:
a. Kebiasaan
Pada dasarnya, manusia adalah mahluk yang hidup dari
kebiasaan yang dibangunnya. Kebiasaan ini akan lebih mempermudah manusia
untuk menjalankan kehidupannya yang sudah cukup kompleks. Saat
dihadapkan pada perubahan, maka manusia akan cenderung enggan melakukan
merubah kebiasaan yang selama ini telah ia lakukan. Contoh sederhana:
seseorang akan cenderung memilih rute perjalanan menuju kantor yang
biasa dilaluinya setiap hari meski jarak tempuhnya lebih panjang,
dibandingkan melalui jalur baru yang belum ia kenal yang jarak tempuhnya
lebih pendek.
b. Ketakutan terhadap munculnya dampak yang tidak diinginkan
Perubahan tak jarang menimbulkan ketidak-pastian,
karena perubahan membuat seseorang bergerak dari suatu situasi yang ia
ketahui menuju pada situasi yang tidak diketahuinya. Akibatnya orang
yang bersangkutan akan merasa takut bahwa dampak perubahan akan
merugikan dirinya.
c. Faktor-faktor ekonomi
Berkurangnya penghasilan, kenaikan gaji yang tidak
sesuai harapan, meningkatnya ongkos angkutan, merupakan faktor-faktor
ekonomi yang dapat menjadi penyebab munculnya resistensi terhadap
perubahan. Bila perubahan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar
terhadap seseorang, maka dapat diramalkan bahwa resistensi dari orang
yang bersangkutan terhadap perubahan akan semakin kuat.
d. Tidak adanya kepercayaan dalam situasi kerja
Seorang manajer yang membangun hubungan kerja dengan
bawahannya atas dasar ketidakpercayaan, akan lebih mungkin menghadapi
resistensi dari bawahannya bila ia menggulirkan perubahan. Sementara
seorang manajer yang mempercayai bawahannya akan memperlakukan perubahan
sebagai hal yang sifatnya terbuka, jujur dan partisipatif. Di sisi
lain, bawahan yang dipercaya oleh atasannya akan melakukan upaya yang
lebih baik dalam menghadapi perubahan dan melihat perubahan sebagai
sebuah kesempatan. Hal ini terjadi karena tumbuhnya
kepercayaan/ketidak-percayaan dalam hubungan kerja bersifat timbal
balik.
e. Takut mengalami kegagalan
Proses perubahan pada pekerjaan yang bersifat menekan
karyawan, akan dapat memunculkan keraguan pada karyawan akan
kemampuannya untuk melakukan pekerjaan dengan baik. Keraguan ini lambat
laun akan mengkikis kepercayaan dirinya dan melumpuhkan pertumbuhan dan
perkembangan dirinya.
f. Hilangnya status atau keamanan kerja
Pemanfaatan teknologi atau sistim administrasi yang
baru di dalam dunia kerja, pada satu sisi dapat mempercepat proses
kerja. Namun pada sisi lainnya akan dapat mengakibatkan berkurangnya
jumlah pekerjaan. Dampak inilah yang dikhawatirkan oleh para karyawan
bila terjadi perubahan. Buat sebagian besar karyawan hilangnya pekerjaan
dapat diartikan sebagai hilangnya status dan juga hilangnya
penghasilan. Untuk alasan inilah maka para karyawan cenderung untuk
resisten terhadap perubahan
g. Tidak ada manfaat yang diperoleh dari perubahan
Seseorang akan melakukan resistensi terhadap
perubahan bila yang bersangkutan memperkirakan atau melihat bahwa
dirinya tidak akan mendapatkan manfaat bila melakukan perubahan.
Beberapa Saran
Agar proses perubahan yang digulirkan di dalam
perusahaan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka
kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam melakukan perubahan harus
dihindari. Menurut hemat penulis ada sejumlah alternatif langkah yang
dapat dilakukan oleh praktisi SDM atau perubahan, sebagai berikut:
Rencanakan perubahan dengan baik
Sebelum perubahan digulirkan, maka pihak-pihak yang
terkait dengan perubahan (misalnya : manajemen puncak, para manajer dan
agen perubahan) perlu merencanakannya dengan matang. Langkah-langkah
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Melakukan analisa yang mendalam tentang ada tidaknya kebutuhan untuk melakukan perubahan di dalam perusahaan.
b. Merumuskan tujuan yang ingin dicapai dari perubahan dan dampak yag mungkin muncul dengan adanya perubahan.
c. Mengenali faktor-faktor yang dapat menghambat terjadinya perubahan dan cara mengatasinya.
d. Menyusun strategi yang tepat untuk menggulirkan perubahan.
e. Mempersiapkan parameter-parameter dan pendekatan-pendekatan yang akan digunakan untuk mengevaluasi perubahan.
Tunjuk praktisi perubahan yang mempunyai kemampuan dalam mengelola perubahan
Agar perubahan dapat berjalan sesuai dengan yang
diharapkan, maka orang yang ditunjuk sebagai ujung tombak dalam
pelaksanaan perubahan, haruslah seseorang yang mempunyai pengalaman,
ketrampilan dan pengetahuan yang baik dalam aspek-aspek yang berkaitan
dengan pengelolaan perubahan. Orang yang bersangkutan sebaiknya
melengkapi dirinya dengan ilmu perilaku , pengembangan perusahaan,
teori-teori belajar, teori motivasi dan kepemimpinan.
Bekali manajemen puncak di perusahaan dengan pengetahuan dan ketrampilan mengenai pengelolaan perubahan
Agar rencana perubahan dapat disusun dengan baik,
maka manajemen puncak di perusahaan perlu dibekali dengan pengetahuan
mengenai pengelolaan perubahan. Mengundang pakar perubahan untuk
mendiskusikan mengenai pengelolaan perubahan yang tepat, dapat menjadi
salah satu alternatif . Alternatif lainnya adalah dengan mengadakan
studi banding ke perusahaan-perusahaan yang telah berhasil mengelola
perubahan.
Bangun koalisi yang solid diantara pihak-pihak yang terkait dengan perubahan
Para pimpinan, baik di tingkat direktur, divisi atau
departemen dan para pelaksana perubahan lainnya harus bekerja sama dalam
sebuah tim yang solid dalam melaksanakan perubahan ini. Dengan demikian
akan dapat meningkatkan dukungan terhadap perubahan yang digulirkan dan
mencegah terjadinya resistensi terhadap perubahan.
Atasi resistensi terhadap perubahan dengan pendekatan-pendekatan yang sesuai
Untuk memastikan bahwa proses perubahan dapat berlagsung sesuai
dengan rencana, maka resistensi yang muncul harus dapat diatasi. Berikut
ini adalah langkah-langkah yang disarankan oleh Kreitner & Kinicki (
2001) untuk mengatasi terjadinya resistensi terhadap perubahan yang
mungkin dapat diaplikasikan dalam perusahaan anda: |
6 Strategi Untuk Mengatasi Resistensi Terhadap Perubahan
|
||||
|
|
Pendekatan
|
Situasi Umum yang dihadapi
|
Keuntungan
|
Kerugiannya
|
|
Pendidikan & Komunikasi
|
Informasi dan analisa yang akurat tentang perubahan, kurang atau sangat terbatas
|
Bila karyawan telah berhasil dipersuasi, maka kemungkinan besar mereka akan membantu melaksanakan perubahan
|
Dapat memakan waktu yang cukup lama, bila banyak karyawan yang terlibat
| |
|
Partisipasi dan Pelibatan
|
Para
inisiator perubahan tidak mempunyai informasi yang dibutuhkan untuk
merancang perubahan. Pada saat yang bersamaan ada pihak lain yang
mempunyai kekuasaan yang cukup besar.
|
Bila
karyawan ikut berpartisipasi, maka mereka akan terlibat aktif untuk
ikut melaksanakan perubahan, dan informasi relevan yang mereka miliki
akan diintegrasikan ke dalam rencana perubahan
|
Dapat memakan waktu yang cukup lama, bila para karyawan yang terlibat, merancang perubahan yang tidak tepat
| |
|
Fasilitasi dan Dukungan
|
Bila resistensi dari karyawan muncul karena masalah penyesuaian diri
|
Tidak ada pendekatan lain yang lebih baik untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyesuaian diri
|
Dapat memakan waktu yang cukup lama, mahal, dan tidak ada jaminan untuk berhasil
| |
|
Negosiasi dan Persetujuan
|
Bila
seorang karyawan atau sekelompok karyawan secara pasti akan terkena
dampak dari perubahan, dan pada sisi lain, karyawan/kelompok karyawan
tersebut mempunyai kekuasaan yang cukup untuk melakukan resistensi
|
Untuk menghindari resistensi yang besar, kadang-kadang pendekatan ini adalah yang relatif mudah untuk dilakukan
|
Pada banyak kasus terlalu mahal , karena dapat mengundang pihak lain untuk meminta peralkuan yang sama
| |
|
Manipulasi & Kooptasi
|
Bila pendekatan lain tidak dapat digunakan atau terlalu mahal
|
Penyelesaiannya relatif cepat dan tidak mahal untuk masalah resistensi
|
Dapat menimbulkan masalah di masa yang akan datang, bila para karyawan tahu bahwa mereka telah dimanipulasi
| |
|
Penekanan (nyata/terselubung)
|
Bila dibutuhkan waktu yang cepat untuk melakukan perubahan, dan para inisiator perubahan mempunyai kekuasaan yang cukup besar.
|
Cukup cepat dan dapat mengatasi segala macam resistensi
|
Beresiko, khususnya bila penekanan tersebut menciptakan kemarahan para karyawan kepada para inisiator
| |
Perubahan dalam berbagai bentuknya pada dasarnya
ditujukan untuk memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan dan
perkembangan perusahaan. Para pakar meramalkan bahwa kebutuhan untuk
melakukan perubahan-perubahan, baik yang didorong oleh faktor eksternal,
maupun internal, akan terus-menerus muncul dalam perusahaan dalam
beberapa dekade kedepan. Hal ini diperkirakan akan memberikan dampak
terhadap kelangsungan hubungan kerja di dalam perusahaan. Bagi para
praktisi SDM atau praktisi perubahan, kecenderungan ini akan menjadi
tantangan yang menarik bila mereka dapat memberikan respon terhadap
langkah perubahan yang terjadi dan mengelolanya dengan baik. Sebaliknya
akan menjadi ancaman terhadap karir bila mereka tidak mampu memberikan
respon yang baik terhadap tuntutan perubahan. Untuk itulah, agar tidak
menjadi pihak yang gagal, maka seorang praktisi SDM atau perubahan
dituntut untuk memiliki pemahaman dan penguasaan terhadap aspek-aspek
yang berkaitan dengan pengelolaan perubahan di dalam perusahaan,
khususnya yang berkaitan dengan aspek sumber daya manusia. Dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya dalam mengelola perubahan,
maka seorang praktisi SDM atau perubahan akan dapat melaksanakan
perubahan secara efektif, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.(jp)
** Penulis adalah mahasiswa Program Pasca Sarjana Psikologi - Program Studi Sumber Daya Manusia - dan praktisi SDM di sebuah perusahaan multinasional.



No comments:
Post a Comment