![]() |
Presiden Joko Widodo (Jokowi) didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menteri-menteri terkait mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2014). Mulai pukul 00.00 tanggal 18 November 2014 harga BBM bersubsidi mengalami kenaikan sebesar Rp 2.000, jenis premium naik dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 sedangkan solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA) |
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi oleh pemerintahan Jokowi-JK mengundang banyak
kritik. Pasalnya, alasan untuk menaikkan harga BBM dinilai kurang tepat
di tengah tren harga minyak dunia yang sedang turun.
Demikian disampaikan Mahadi Rahman, Peneliti AirMobilization (AirMob), sebuah lembaga monitoring data dan analisa sosial media.
Menurut
dia, pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya bisa mengambil kebijakan populis
terlebih dahulu seperti transportasi murah, dan memberdayakan energi
baru terbarukan sebelum menaikkan harga BBM.
"Meskipun ada
kompensasi pengalihan BBM bersubsidi dengan kebijakan 'Kartu Sakti'-nya,
hal itu belum bisa dirasakan oleh masyarakat secara luas," kata Mahadi
dalam keterangan tertulisnya, Selasa (18/11/2014).
Mahadi
menuturkan, kebijakan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) Jokowi dimana per
keluarga mendapatkan kompensasi sebesar Rp 400 Ribu per dua bulan selama
delapan bulan tidak ada bedanya dengan kebijakan Bantuan Langsung Tunai
(BLT) pemerintahan SBY. Baca Penolakan Megawati Terhadap BLT
"Sudah jelas kebijakan yang memberikan
uang secara tunai itu tidak mendidik dan dapat membuat celah korupsi
baru. Masalahnya adalah apakah daftar orang miskin menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) sudah sesuai sehingga alokasi KKS bisa tepat
sasaran?" tanyanya.
No comments:
Post a Comment